tirto.id - Sri Lanka mengalami kebangkrutan. Negara berpenduduk 22 juta orang gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai 51 miliar dolar AS atau Rp754,8 triliun dengan asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS.
Akibat gagal bayar, negara tersebut kekurangan komoditas bahan bakar. Karena tidak mampu untuk melakukan impor. Pemerintah Sri Lanka bahkan memutuskan untuk menutup sekolah dan menghentikan layanan pemerintahan. Tujuannya untuk menghemat cadangan bahan bakar yang hampir habis.
Kebangkrutan yang dialami Sri Lanka menjadi alarm bagi negara-negara lain termasuk Indonesia. Terlebih laporan berbagai lembaga keuangan dunia seperti World Bank dan IMF memperkirakan bahwa 60 negara akan terancam runtuh. Dalam laporan ada beberapa negara yang diramal akan mengalami resesi.
Salah satunya Rusia pada tahun ini diperkirakan -8,9 persen. Negara lainnya adalah Ukraina dengan -45,1 persen, Kirgistan -2 persen dan Moldova -0,4 persen. Amerika Latin juga alami kejatuhan ekonomi dibandingkan dengan tahun lalu. Kemudian, Meksiko, Chili, Argentina, Kolombia, El Salvador, Paraguay, hingga Perú. Sementara itu untuk kawasan Timur Tengah ada Lebanon dan Suriah yang alami kontraksi, di mana masing-masing -6,5 persen dan -2,6 persen. Nasib buruk juga diperkirakan menimpa Maroko.
Terkait kondisi ekonomi Sri Lanka semakin memburuk, pengamat ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani menilai hal itu tidak akan berdampak besar bagi Tanah Air. Dia optimistis Indonesia relatif memiliki pondasi ekonomi yang kuat.
"Dengan jumlah penduduk sebesar 271 juta orang, nomor empat besar dunia, merupakan sebuah local domestik demand dalam sebuah siklus ekonomi," kata Ajib kepada Tirto, Kamis (23/6/2022).
Terlihat dari Indonesia saat ini sedang fokus dengan program transformasi ekonomi yang membuat nilai tambah. Hal itu bisa mendongkrak potensi ekonomi yang ada sampai dengan akhir tahun
"Indonesia sedang dalam momentum positif untuk terus bisa tumbuh ekonominya," ungkapnya.
Ajib menuturkan saat ini pemerintah bisa mendorong keunggulan komparatif yang dimiliki dalam sumber daya ekonominya, sehingga pertumbuhan ekonomi dalam negeri bisa terjaga di atas 5 persen tahun ini.
Senada dengan Ajib, Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah menuturkan Indonesia tidak memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Sri Lanka. Baik di sektor keuangan maupun sektor perdagangan, sehingga krisis kebangkrutan di Sri Lanka tidak akan banyak berdampak.
"Tidak akan mengurangi ekspor Indonesia yang artinya tidak berdampak ke neraca perdagangan Indonesia," ungkapnya.
Mengutip data ditjenpi.kemendag.go.id, perdagangan Indonesia-Sri Lanka tahun 2021 mencapai 433,2 juta dolar AS. Ekspor sebesar 379,9 juta dolar AS, impor sebesar 53,3 juta dolar AS dan surplus sebesar 326,5 juta dolar AS.
Produk ekspor utama Indonesia ke Sri Lanka 2021 diantaranya yaitu minyak kelapa (coconut (copra) oil) 70,6 juta dolar AS, karet (natural rubber) 32,7 juta dolar AS, produk setengah jadi dari besi atau baja (semi-finished products of iron or non-alloy Steel) 30,1 juta dolar AS, semen (portland cement) 22,3 juta dolar AS, dan tembakau (unmanufactured tobacco) 16,9 juta dolar AS.
Sementara itu, impor utama Indonesia dari Sri Lanka 2021 yaitu rajutan (knitted or crocheted fabrics) 5,1 juta dolar AS, kain rajut (warp knit fabrics) 4,6 juta dolar AS, dan berbagai macam jenis kain lainnya 4,6 juta dolar AS, crustaceans, molluscs 2,7 juta dolar AS, brassieres girdles, corsets 2,6 juta dolar AS.
Sedangkan investasi Sri Lanka di Indonesia pada tahun lalu terdiri dari lima proyek, nilainya hanya di bawah 1 juta dolar AS. Sementara dari sisi utang, lanjut Piter, kondisi Indonesia berbeda jauh dengan Sri Lanka. Pengelolaan utang Indonesia dinilai cukup baik. Bahkan hal ini diakui oleh lembaga-lembaga internasional.
"Disiplin fiskal kita sangat terjaga. Indonesia tidak pernah bermasalah memenuhi kewajiban pembayaran cicilan bunga dan pokok utang," bebernya.
Secara jumlah, utang Indonesia masih relatif aman. Risiko utang sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Hingga April 2022, posisi utang pemerintah mencapai Rp7.040,32 triliun. Itu setara dengan 39,09 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Kemudian utang pemerintah pada April 2022, tercatat turun sekitar Rp12 triliun. Di mana pada bulan sebelumnya atau Maret 2022 utang pemerintah sempat menyentuh Rp7.050 triliun.
Lalu posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal I-2022 mencapai 411,5 miliar dolar AS. Posisi utang ini turun jika dibandingkan pada kuartal IV-2021 sebelumnya sebesar 415,7 miliar dolar AS. Sementara secara tahunan, posisi ULN Q1 2022 mengalami kontraksi sebesar 1,1 persen year on year (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada Q4 sebelumnya yang sebesar 0,3 persen (yoy).
Pembiayaan Utang RI Turun
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengklaim, Indonesia menjadi salah satu negara dengan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang cukup baik. Hal ini terbukti dengan pembiayaan utang di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 turun hingga 55,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga akhir Maret 2022, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp149,6 triliun. Angka itu jauh lebih kecil dibandingkan realisasi pada periode sama tahun lalu yang mencapai Rp336,9 triliun.
"Tahun ini kita menstabilkan ekonomi dan menyehatkan APBN, ini terlihat trennya," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (20/4/2022).
Pembiayaan utang itu terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) (netto) sebesar Rp133,6 triliun atau turun 60,4 persen dari periode sama tahun lalu. Selain itu, pemerintah juga mendapatkan pinjaman (netto) sebesar Rp16 triliun.
"Jadi saat kondisi pasar SBN dan pasar keuangan menghadapi tekanan, kami sudah menciptakan ketahanan APBN dengan kondisi kas cukup saat pasar keuangan volatile. Ini strategi yang sangat pas dan sesuai, dengan demikian APBN mendapat reputasi kredibilitas yang baik," ungkapnya.
Di samping itu, pemerintah juga masih memiliki kerja sama dengan Bank Indonesia (BI) untuk pembelian SBN. Hingga saat ini, BI telah melakukan pembelian SBN melalui skema SKB I sebesar Rp15,3 triliun baik untuk SUN maupun SBSN.
"BI juga memberikan dukungan melalui SKB III yaitu untuk mendukung belanja di bidang kesehatan dan bansos yang memang tujuannya untuk memulihkan masyarakat kita. Ini masih belum terealisasi dan kita nanti akan lakukan pada semester II," pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin