tirto.id - Pernahkan ketika sedang berada di swalayan, Anda menjatuhkan barang-barang dari rak yang membuat pengunjung toko sontak menengok ke arah Anda?
Atau, pernahkah Anda merasa tidak enak hati ketika bertemu orang atau lingkungan baru, dan bingung cara membuka obrolan, yang akhirnya Anda memilih untuk diam?
Perasaan tidak enak hati saat orang-orang di swalayan memperhatikan Anda seolah “menghakimi”, atau rasa sungkan membuka obrolan karena takut salah bicara, pada dasarnya merupakan gejala socially awkward atau rasa kecanggungan sosial.
Peneliti Joshua Clegg menjelaskan, kecanggungan sosial adalah perasaan yang dialami ketika kita percaya bahwa keinginan untuk diterima oleh orang atau lingkungan lain, terancam karena situasi tertentu.
Dalam “kasus swalayan”, penerimaan sosial itu terancam karena kita menjatuhkan barang-barang dari rak, yang memicu asumsi akan munculnya komentar-komentar miring setelahnya.
Atau, kita takut membuka obrolan dengan seseorang karena sebelumnya pernah menyinggung perasaannya yang berakibat pada kemarahan, kekecewaan, atau rasa tidak mengenakan lainnya.
Psikolog Heidi McKenzie, sebagaimana dilansir laman Healthline mencatat, kecanggungan sosial kebanyakan berangkat dari pengalaman tidak menyenangkan di masa sebelumnya, dan berakibat pada kesulitan mengarahkan pembicaraan, atau kemuculan rasa tidak diterima oleh orang lain.
Pada dasarnya, perasaan ini bukanlah sesuatu yang buruk. Namun, bisa menimbulkan masalah di kemudian hari, seperti kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan; merasa ditolak orang lain; munculnya komentar negatif; hingga, yang paling ekstrim adalah cap “aneh” dari orang lain.
Meskipun demikian, kecanggungan sosial juga memiliki sisi positif. Salah satunya dapat menjadi sistem peringatan internal bagi seseorang.
Sebuah studi yang dirilis pada tahun 2012, menunjukkan bahwa perasaan canggung atau socially awkward dapat membantu seseorang dengan bekerja sebagai semacam sistem peringatan.
Perasaan ini mungkin membantu seseorang menyadari bahwa ia telah melewati batas sosial. Pada akhirnya, perasaan canggung justru membuat ia semakin berhati-hati dalam mengambil tindakan.
Selain itu, seseorang dengan perasaan canggung, justru mempunyai potensi bakat yang besar. Hal tersebut diungkapkan oleh psikolog sekaligus penulis buku Awkward: The Science of Why We're Socially Awkward & Why That's Awesome, Ty Tashiro.
Dalam bukunya tersebut, Tashiro menjelaskan bahwa seseorang yang dicap aneh atau canggung justru memiliki perspektif yang tidak biasa.
Mereka akan mengabaikan tuntutan sosial, yang membuat mereka dilabeli “aneh”, nakal, bahkan kadang-kadang gila, yang akan membuat mereka berjuang untuk bertahan dalam situasi sosial yang biasa-biasa saja itu.
Akan tetapi, kata Tashiro, dari perbedaan perspektif ini, mereka menunjukkan sisi lain yang tidak dapat dibayangkan oleh orang-orang yang tidak canggung. Hal ini membuat socially awkward tak seburuk yang digambarkan.
Profesor Developmental Psychopathology dari University of Cambridge, Simon Baron-Cohen dan para koleganya di Oxford University mencatat, orang dengan kecenderungan sering mengalami socially awkward biasanya memiliki fokus yang luar biasa kuat. Fokus ini berkaitan dengan sesuatu yang teratur seperti logika dan matematika, demikan sebagaimana dikutip dari Time.
Orang-orang aneh atau canggung biasanya senang mempelajari hal-hal yang lebih detail. Seperti memisah-misahkan satu komponen, dan mempelajarinya, lalu secara sistematis menempatkan bagian-bagian itu dengan cara yang baru.
Itulah sebabnya, mereka mampu mahir dalam hal teknologi, teknis mesin atau matematika, yang kemudian diwujudkan dalam kesukaannya pada gim, atau mengumpulkan statistik olah raga.
Hasil studi tersebut diperkuat dengan temuan dari psikolog University of Bolton, Pedro Vital, yang menemukan hubungan antara kecanggungan dengan bakat khusus.
Menurut Pedro, yang menentukan bakat mencolok dari seorang anak bukanlah dari IQ-nya, tetapi dari intensitas fokusnya pada suatu hal, yang merupakan karakteristik orang-orang canggung.
Tentu saja, tidak semua orang canggung akan menunjukkan bakat mencolok. Namun, ketajaman fokus, ketertarikan luar biasa dan perspektif yang berbeda, serta dikombinasikan dengan sedikit bakat alami, berpotensi menciptakan bakat yang positif.
Jadi, bisa saja ketajaman fokus dan cara berpikir yang sistematis ini akan mengakibatkan mereka tidak cocok dengan lingkungan sosial.
Namun, bisa dianalogikan, menjadi orang canggung secara sosial sama seperti menjadi pendatang di suatu negara asing yang tak memahami bahasa warga setempat. Pendatang itu memang akan menemukan kesulitan untuk berkomunikasi, bahkan untuk hal-hal sepele seperti membeli makan.
Imbasnya, ia akan berusaha sebisa mungkin agar dapat dipahami dan bisa memesan makanan yang ia inginkan, misalnya dengan menggambarkan sebuah burger dan segelas soda.
Orang-orang yang canggung tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang lain. Mereka cuma melihat dunia dengan cara yang berbeda, dan harus berusaha lebih keras menyesuaikan diri agar dapat diterima secara sosial.
Jadi, merasa sebagai orang yang aneh dan canggung bukanlah hal yang memalukan. Terima saja perspektif yang liyan itu, serta jalani hal-hal yang tidak biasa guna menyadari potensi di dalamnya.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Addi M Idhom