Menuju konten utama
Edusains

Mitos dan Stereotipe Kepribadian Berdasarkan Golongan Darah

Teori yang mengaitkan golongan darah dengan kepribadian seseorang merupakan pseudosains. Dampak negatifnya memengaruhi kehidupan sosial dan psikologis.

Mitos dan Stereotipe Kepribadian Berdasarkan Golongan Darah
Golongan darah pada anak-anak. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada 11 Maret 2011, gempa dan tsunami menerjang wilayah Tohoku, Jepang Timur. Gempa berkekuatan 9,0 skala Richter ini disebut-sebut sebagai gempa terbesar sepanjang sejarah Jepang yang menyebabkan tsunami dengan ketinggian air mencapai 40,5 meter dan menelan korban sekitar 20 ribu jiwa.

Pada bulan Juli di tahun yang sama, Menteri Rekonstruksi Jepang, Ryo Matsumoto, mengundurkan diri usai melontarkan pernyataan yang menyinggung para korban.

“Darah saya tipe B, yang berarti saya bisa mudah tersinggung dan terburu-buru, dan niat saya tidak selalu terlihat,” ujarnya usai mengundurkan diri, dikutip dari Reuters.

Matsumoto mengutip kepercayaan populer di Jepang bahwa golongan darah berhubungan dengan sifat kepribadian. Kepercayaan ini mirip dengan astrologi, tersebar luas di Jepang dan sering digunakan untuk menjelaskan perilaku atau memprediksi kecocokan.

Di negara-negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan, terdapat kepercayaan luas bahwa golongan darah ABO dapat menggambarkan karakter dan kepribadian seseorang.

Kepercayaan ini mengakar kuat dalam budaya populer. Buku-buku, acara televisi, dan aplikasi kencan sering kali merujuk pada “teori golongan darah” untuk menentukan kecocokan pasangan, rekomendasi karier, atau gaya hidup.

Teori ini merupakan pseudosains, tidak didukung oleh bukti empiris atau penelitian yang solid.

Asal-usul dan Popularitas Teori Golongan Darah

Ahli biologi Austria, Karl Landsteiner, pertama kali mengidentifikasi golongan darah pada awal tahun 1900-an. Penemuan ini mengubah paradigma dunia medis dan membuka jalan bagi kemajuan dalam transfusi darah serta ilmu kedokteran secara keseluruhan.

Lahir pada 14 Juni 1868 di Wina, Landsteiner adalah ilmuwan yang tekun dan berbakat. Karyanya tidak hanya soal penggolongan darah, tetapi mencakup penelitian di bidang imunologi dan virologi. Namun, penemuannya tentang sistem golongan darah ABO pada tahun 1901 dianggap sebagai salah satu kontribusi terbesar dalam sejarah ilmu kedokteran.

Sebelum penemuan Landsteiner, transfusi darah sering kali berakhir dengan kegagalan yang fatal. Pasien yang menerima darah dari donor yang tidak sesuai mengalami reaksi yang parah, seperti penggumpalan darah atau bahkan kematian.

Landsteiner menyadari hal ini terjadi karena perbedaan jenis antigen yang terdapat pada permukaan sel darah merah. Melalui serangkaian eksperimen, ia mengidentifikasi tiga golongan darah utama--A, B, dan O-- dan beberapa tahun kemudian, golongan darah AB ditemukan oleh muridnya, Alfred von Decastello dan Adriano Sturli.

Temuan tersebut membawa pemahaman bahwa darah dari donor dan penerima harus kompatibel untuk menghindari reaksi yang berbahaya. Sistem golongan darah ABO juga menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang imunologi, genetika, dan antropologi.

Ilustrasi Golongan Darah

Ilustrasi Golongan Darah. foto/IStockphoto

Golongan darah bahkan digunakan dalam studi untuk memahami migrasi manusia purba dan hubungan antar populasi.

Warsa 1916, Kimata Hara, seorang dokter Jepang, menulis sebuah jurnal yang membahas hubungan antara golongan darah dan karakter. Catatannya itu dianggap sebagai salah satu karya awal bahwa golongan darah dapat dikaitkan dengan kepribadian seseorang.

Teori kepribadian lantas mengemuka pertama kali pada awal abad ke-20 oleh seorang ilmuwan Jepang bernama Takeji Furukawa pada tahun 1927 dalam artikel berjudul “The Study of Temperament Through Blood Type”.

Individu dengan golongan darah A sering kali digambarkan sebagai orang yang rajin, ramah, baik hati, dan bertanggung jawab. Sedangkan golongan darah B dikaitkan dengan sifat kreatif dan mandiri. Golongan darah O dianggap sebagai pemimpin yang kuat dan optimis, sementara golongan darah AB digambarkan sebagai sosok yang rumit dan memiliki kepribadian ganda.

Anggapan ini dengan cepat menjadi populer di Jepang dan menyebar ke negara-negara lain di Asia, meskipun akhirnya dikritisi karena penggunaan sampel dalam skala kecil dan statistik yang tidak tepat untuk menyimpulkan.

Pada tahun 1970-an, buku berjudul Ketsueki-gata de Wakaru Aishō (Mengetahui Kecocokan Berdasarkan Golongan Darah) karya Masahiko Nomi memperkuat kepercayaan bahwa golongan darah dapat memprediksi kecocokan romantis, dinamika hubungan, dan perilaku individu di lingkungan kerja.

Ketiadaan Dasar Ilmiah

Perlu ditekankan sekali lagi, meskipun teori ini telah menjadi bagian dari budaya populer, tetapi tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya.

Golongan darah ABO ditentukan oleh keberadaan antigen tertentu pada sel darah merah, yang dikendalikan oleh gen yang terletak pada kromosom 9. Namun, tidak ada hubungan biologis antara antigen golongan darah dan fungsi otak atau kepribadian.

Kepribadian manusia adalah hasil dari interaksi kompleks antara genetik, lingkungan, dan pengalaman hidup. Faktor-faktor seperti pola asuh, pendidikan, dan kondisi sosial-ekonomi memiliki pengaruh yang jauh lebih signifikan dalam pembentukan karakter seseorang daripada golongan darah.

Selain ketiadaan dasar ilmiah, teori golongan darah juga memiliki sejarah yang kelam. Pada tahun 1930-an, Pemerintah Jepang pernah menggunakan teori ini untuk melatih para prajuritnya, termasuk saat Perang Dunia II, di mana Tentara Kekaisaran membentuk pasukan tempur menurut golongan darah.

Seturut jurnal di National Library of Medicine, teori tersebut diadaptasi dari ideologi rasialis yang digunakan oleh Nazi Jerman. Mereka mengeklaim bahwa golongan darah tertentu lebih unggul daripada yang lain.

Pada masa itu, golongan darah A dianggap sebagai simbol kemurnian ras dan keunggulan moral. Sementara golongan darah B dikaitkan dengan sifat-sifat negatif yang umumnya kerap ditemukan pada orang Asia dan Yahudi.

Ilustrasi Golongan Darah

Ilustrasi Golongan Darah. foto/Istockphoto

Meski tujuan propaganda ini telah lama berlalu, residunya masih tersisa. Sebagai contoh, orang dengan golongan darah B sering kali dipandang sebagai individu yang tidak dapat dipercaya atau egois. Sedangkan golongan darah O dikaitkan dengan sifat kepemimpinan yang kuat. Stereotipe ini tidak berdasar dan menyebabkan diskriminasi dan prasangka sosial.

Studi lain yang diterbitkan dalam jurnal ScienceDirect pada tahun 2002 meneliti hubungan antara golongan darah dan kepribadian berdasarkan model Lima Besar (Big Five Personality Traits), yang meliputi kecenderungan terhadap keterbukaan, kesadaran diri, ekstraversi, keramahan, dan neurotisisme. Hasil penelitian ini tidak menemukan korelasi yang signifikan antara golongan darah dengan kepribadian.

Selain itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Jepang dan Korea Selatan juga gagal membuktikan klaim teori golongan darah. Studi yang dilakukan oleh Kengo Nawata, misalnya, menunjukkan bahwa hubungan antara golongan darah dengan kepribadian sangat lemah.

Dengan hanya 0,3 persen variasi dalam kepribadian yang dapat dijelaskan oleh golongan darah, temuan ini mengindikasikan bahwa pengaruh golongan darah terhadap kepribadian nyaris tidak signifikan. Angka sebesar 0,3 persen bahkan bisa saja muncul akibat kesalahan statistik atau variabilitas acak dalam data.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap teori ini lebih terkait dengan pengaruh budaya dan sosial daripada fakta ilmiah. Para ahli psikologi dan ilmuwan medis secara konsisten menolak validitas teori ini, menganggapnya sebagai mitos yang telah diromantisasi oleh media dan budaya populer.

Dampak Sosial dan Psikologis

Meski tampak tidak berbahaya, pseudosains tentang golongan darah dapat berdampak negatif secara luas. Ia dapat membatasi ekspresi diri dan mengarah pada tekanan sosial untuk memenuhi harapan yang tidak realistis.

Dalam konteks hubungan interpersonal, teori ini juga dapat menyebabkan ketidakcocokan yang tidak perlu. Pasangan yang merasa tidak cocok berdasarkan golongan darah mungkin memutuskan untuk mengakhiri hubungan meskipun tidak ada masalah nyata.

Di tempat kerja, stereotipe golongan darah dapat memengaruhi keputusan rekrutmen dan promosi, yang pada akhirnya merugikan individu yang berbakat dan kompeten. Perusahaan-perusahaan di Jepang diketahui menggunakan golongan darah dalam perekrutan pegawai, yang mendorong terbitnya aturan pemerintah untuk menentang praktik tersebut.

Bahkan ada istilah khusus untuk menyebut pelecehan akibat golongan darah yang disebut bura-hara. Beberapa orang terpaksa berbohong tentang golongan darah mereka agar terhindar dari stereotipe ini.

Kepribadian manusia jauh lebih kompleks daripada yang dapat dijelaskan oleh golongan darah. Setiap individu layak dinilai berdasarkan karakter, tindakan, dan prestasi mereka-- bukan berdasarkan label yang tidak ilmiah dan tak adil.

Baca juga artikel terkait GOLONGAN DARAH atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mild report
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi