tirto.id - Sejak Maret lalu, Komisi IX DPR RI mendesak BPOM untuk segera merilis izin Persetujuan Penelitian Uji Klinis (PPUK) fase 2 bagi Vaksin Nusantara. BPOM menolak desakan tersebut mengingat terdapat catatan buruk dalam uji klinis fase 1 kandidat vaksin tersebut. BPOM juga dibingungkan dengan simpang siur data yang dilaporkan oleh tim peneliti. Singkatnya, BPOM menilai prosedur penelitian vaksin nusantara yang sudah dijalankan tergolong cacat dan menyimpang dari kaidah ilmiah, seperti asal mencatut institusi, minim transparansi, hingga data yang inkonsisten.
Panen kejanggalan dan kecacatan prosedur yang ada membuat BPOM tegas menolak izin untuk uji klinik fase 2. Menariknya, alih-alih menyanggah BPOM dengan argumen-argumen ilmiah, para pembela vaksin nusantara justru melawan dengan aksi-aksi politik. Anggota dewan yang mendukung vaksin ini menuding standar ilmiah yang diterapkan BPOM terlalu tinggi dan “merepotkan Vaksin Nusantara”.
Ketiadaan izin tidak membuat para pendukung Vaksin Nusantara mengendurkan sikap. Pada Rabu 14 April, sejumlah politikus ramai-ramai memberikan sampel darah untuk uji coba kandidat vaksin ini. Selain itu, para politikus juga kukuh mempromosikan Vaksin Nusantara dengan jargon-jargon nasionalisme. Terawan sendiri, selaku Ketua Tim Pembuatan Vaksin Nusantara, sejak awal mengklaim bahwa Vaksin Nusantara merupakan “karya anak bangsa”, sehingga dapat menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara lain. Sialnya, klaim itu diamini dan dipromosikan ulang oleh para politisi. Dukungan terhadap kandidat vaksin ini datang dari politisi, bukan dari komunitas saintifik.
Sikap terhadap pengembangan vaksin sebagai produk ilmiah ini justru tidak didasarkan pada cara berpikir yang ilmiah, melainkan klaim-klaim politis dengan retorika nasionalisme tadi. Masalahnya, penelitian dan pengembangan Vaksin Nusantara sendiri lebih banyak dilakukan oleh AIVITA Biomedica Inc. dari Amerika Serikat, bukan Indonesia.
Fakta bahwa politik dan sains duduk di satu meja bukan satu hal yang aneh. Bagaimanapun, sains sangat dibutuhkan untuk membantu perumusan berbagai kebijakan publik. Namun, bagaimana jika kepentingan politik malah mendominasi—jika bukan mendikte—sains?
Belajardari Sejarah
Politisasi sains telah terjadi sejak lama. Pada abad ke-20, peringatan bagi bahaya perkawinan sains dan politik datang Uni Soviet pada 1930-an hingga 1960-an: skandal Lysenko.
Waktu itu, ilmu biologi dan agrikultur dikendalikan oleh ahli agronomi bernama Trofim Denisovich Lysenko yang disokong Partai Komunis Uni Soviet. Lysenko menolak kebenaran ilmu genetika yang sedang berkembang di dunia untuk mempromosikan perkembangan “Biologi Soviet”.
Menurut Svetlana A. Borinskaya, dkk. dari Russian Academy of Sciences dalam studi berjudul “Lysenkoism Against Genetics: The Meeting of the Lenin All-Union Academy of Agricultural Sciences of August 1948, Its Background, Causes, and Aftermath” (Genetics, Vol. 212, 2019) alih-alih menyelidiki dan mengembangkan genetika Mendel dan Darwinisme yang saat itu menguat di komunitas ilmuwan internasional, Lysenko malah menganggap genetika sebagai “sains borjuis” yang harus dilawan. Bisa dilihat dalam kutipan suratnya kepada Stalin pada 1947 berikut:
“Mendelisme-Morganisme, Weissmanisme, dan Neo-Darwinisme tidak dikembangkan di negara-negara kapitalis Barat untuk keperluan pertanian, melainkan melayani tujuan reaksioner seperti eugenika, rasisme, dll. Tidak ada hubungan antara praktik pertanian dan teori genetika borjuis,” dikutip dari artikel Bornskaya, dkk.
Sebagai gantinya, Lysenko kemudian mempromosikan “karya anak bangsa” Rusia Ivan Michurin yang mengembangkan teori evolusi Lamarckian. Gagasan-gagasan Michurin disalahgunakan oleh Lysenko yang menetapkannya dengan istilah Michurinisme sebagai ‘doktrin resmi’ di Uni Soviet. Setelah mengganti genetika Mendel dan Darwinisme dengan Michurinisme, Lysenko mengaku bisa mengembangkan metode pertanian baru yang dapat memberikan hasil panen berlimpah dalam periode yang lebih singkat. Idenya menarik perhatian Partai.
Pertemuan Lenin All-Union Academy of Agricultural Science yang diselenggarakan Lysenko atas persetujuan Stalin pada 1948 mengukuhkan posisi hegemonik Lysenko dalam perkembangan sains di Uni Soviet. Lysenko menyampaikan temuan-temuannya dalam sesi itu. Riset dan praktik agrikultur yang dijalankan Lysenko pada tahun-tahun sebelumnya dinilai sesuai dengan cita-cita negara.
Soal produksi kentang, misalnya. Sejak Uni Soviet menggalakkan kolektivisasi pertanian pada 1920-an, ilmuwan dituntut untuk menawarkan temuan praktis yang mendukung kebijakan tersebut. Menurut David Joravsky, dalam “The Lysenko Affair” (Scientific American, Vol. 207, 1962), pada 1931 ilmuwan diminta untuk mengembangkan varietas kentang yang mampu memberikan panen lebih banyak dalam waktu 4-5 tahun—dari yang biasanya 10-12 tahun—terutama di bagian Selatan. Nahas, muncul masalah: penyakit degeneratif pada kentang.
Waktu itu, ilmuwan menyelidiki virus sebagai dalang kegagalan. Tetapi, pada 1935 Lysenko menawarkan solusi ajaib. Menurutnya, virus tidaklah nyata, dan tidak membuat kentang sakit. Lysenko berargumen penyakit pada kentang disebabkan oleh persoalan temperatur, bukan virus.
Lysenko memperkenalkan metode summer planting: penanaman di musim panas. Asumsinya, ini akan membuat kentang lebih sehat. Lysenko mengajukan usulan itu tanpa eksperimen atau uji statistik ketat yang menurutnya akan membutuhkan waktu terlalu lama di tengah kebutuhan pangan yang mendesak. Lysenko langsung loncat ke kesimpulan: dalam dua tahun, wilayah Selatan akan segera mendapati swasembada sebagai hasil summer planting. Janji itu dianggap sesuai dengan keinginan negara, dan metode Lysenko diterima.
Metode Lysenko kemudian diterapkan dalam sistem agrikultur di Uni Soviet secara besar-besaran. Laporan Lysenko menunjukkan metodenya menghasilkan panen berlimpah. Joravsky mengatakan kegagalan tidak terlihat dalam data resmi. Sebab, misalnya, pada 1936 dari 17.000-18.000 hektare wilayah yang ditanam, hasil yang dilaporkan hanya 407 hektare. Satu tahun sebelumnya, dari 500 hingga 600 lahan pertanian yang disurvei, hanya 50 yang dilaporkan. Lysenko sendiri menyadari sejumlah kegagalan, namun ia menilai kesalahan terletak pada proses kultivasi yang dilakukan para petani.
“Penanaman musim panas berjalan sangat baik, tetapi karena kultivasi yang buruk, kami memperoleh panen rendah,” kata Lysenko dalam laporan 1935 yang dikutip oleh Joravsky.
Menurut Borinskaya, dkk, rangkaian pertemuan 1948 menjadi penanda bahwa pemikiran Lysenko dalam biologi dan agrikultur telah menjadi doktrin resmi Uni Soviet.
Partai membuat posisi Lysenko tak tergoyahkan Dukungan terhadap sains ala Lysenko tidak bersumber dari perdebatan sehat dalam komunitas ilmiah, tapi dari para politikus.
Berdasarkan keterangan Borinskaya, dkk., setelah pertemuan 1948 ilmuwan genetika yang mengkritisi Lysenko dicap sebagai pengusung “sains yang anti-rakyat” atau “sains borjuis”. Buku-buku pendidikan yang mengajarkan Darwinisme dan genetika Mendel diganti dengan buku biologi Michurinisme. Banyak pengajar biologi yang sebelumnya mendalami Darwinisme juga dipecat.
Tentu tidak semua eksperimen sains di Uni Soviet berakhir seperti “sains anak bangsa” ala Lysenko—jika itu yang terjadi, tentu mereka sudah bubar sebelum Perang Dunia II. Namun, di sinilah ironinya: mengapa di sebuah negara yang mempelopori eksperimen jantung buatan (1937) hingga perjalanan ruang angkasa (1961), orang seperti Lysenko bisa muncul?
Memperkuat Rasisme
Jika Lysenko mengecam eugenika. Jerman, negara rival Soviet dalam Perang Dunia II, justru sebaliknya. Di sinilah politisasi sains dalam bentuknya yang paling sadis bisa dilihat. Jerman, negeri yang melahirkan Beethoven, Immanuel Kant, Zeppelin, Hertz, dan Einstein adalah juga bangsa yang melahirkan Josef Mengele, seorang monster yang terkenal karena eksperimen-eksperimen yang dilakukannya terhadap tahanan di kamp konsentrasi Auschwitz.
Dalam studi berjudul “German Eugenics between Science and Politics” (Osiris, Vol. 5, 1989), Peter Weingart menyebut bahwa sains di Jerman—khususnya di bidang biologi, genetika dan antropologi—pernah dikendalikan oleh gagasan politik tentang kemurnian ras.
Sejak awal abad ke-20 minat terhadap kemurnian ras telah hadir di banyak kalangan ilmuwan Jerman. Beberapa dari mereka mendirikan The German Society for Racial Hygiene pada 1905. Namun, berdasarkan keterangan Weingart, pada masa itu ilmuwan seperti Eugene Fischer mengklaim bahwa penyelidikan terhadap ras harus “murni ilmiah tanpa melibatkan tendensi politik.”
Posisi Fischer berubah seiring berkuasanya Nazi pada 1933. Ia menjadi seorang fasis. Pengaruh politik lantas bercokol kuat dalam proyek-proyek sains kala itu. Untuk menunjukkannya, Weingart mengutip catatan dari seorang ahli eugenika Ernst Rudin pada 1934:
“Pentingnya kemurnian ras telah menjadi jelas bagi semua orang Jerman melalui tindakan politik Adolf Hitler, dan hanya melalui dialah mimpi yang kami miliki selama lebih dari tiga puluh tahun menjadi kenyataan: untuk dapat mewujudkan kemurnian ras.”
Ide politik tentang kemurnian raslah yang menjiwai berbagai riset dan eksperimen yang dilakukan Mengele di Auschwitz. Menurut Weingart, sejak Mei 1943 Mengele rutin mengirimkan hasil risetnya (sampel darah, bola mata) ke lembaga riset eugenika Kaiser Wilhelm Institute di Berlin. Di Auschwitz sendiri, Mengele melakukan eksperimen kepada para tahanan, anak-anak kembar dari etnis Roma, Yahudi, dan kaum homoseksual.
Mengele, sebagaimana dicatat Edwin Black dalam War Against the Weak: Eugenics and America's Campaign to Create a Master Race (2004), misalnya, menyuntikkan tinta ke mata bocah-bocah Gipsi atau menjahit dua anak kembar agar menjadi kembar siam. Nantinya, temuan Mengele dijadikan bukti-bukti pembenaran kemurnian ras superior yang harus dijaga. Konsepsi tentang keberadaan ras yang superior seolah menjadi konsensus ‘ilmiah’ yang berlaku.
Kekejaman Mengele memang akhirnya dikutuk setelah Perang Dunia II berakhir. Namun, Mengele tak hanya menjadi wajah ilmu biologi Jerman era Nazi, namun juga praktik eugenika yang pada zamannya sangat terinspirasi ideologi pemurnian ras. Aspirasi itu, sebagaimana ditulis Black dalam War Against the Weak, juga sampai ke Amerika Serikat dan banyak negara lainnya. Jika politisasi sains dalam skandal Lysenko adalah kasus penundukan ilmuwan di bawah senjata, kebrutalan Mengele justru mengekspos ideologi rasis yang bersemayam dalam diri banyak ilmuwan Eropa. Dalam kasus Mengele, politik sekadar memberi ruang bagi eksperimen-eksperimen biadab ini untuk dilaksanakan dalam skala masif dan industrial.
Sialnya, menghentikan kekejaman Mengele tak semudah menyetop Lysenko yang perlahan kehilangan pamor setelah kematian Stalin pada 1953. Eksperimen Mengele beserta pengaruhnya baru bisa dihentikan lewat cara-cara kekerasan tanpa ampun: habisnya fasis Jerman di tangan Tentara Merah Soviet pada Mei 1945 dan proses denazifikasi bertahun-tahun setelahnya.
Politisasi dan Komersialisasi
Beberapa tahun belakangan, politisasi sains dilakukan dengan lebih halus. Sponsornya juga lebih beragam, bukan cuma negara. Kali ini tidak hanya tujuan politis, para aktornya juga memiliki kepentingan ekonomi dalam produksi pengetahuan ilmiah. Jaringan aktor terbesar dalam produksi sains yang politis dan penuh skandal pada abad ini adalah perusahaan-perusahaan raksasa. Isu-isu yang diangkat biasanya terkait dengan lingkungan dan kesehatan.
Dalam sektor lingkungan, beberapa perusahaan kedapatan memiliki andil dalam proses penelitian yang berkaitan dengan perubahan iklim. Mereka terbukti mendanai riset-riset yang bertujuan untuk menyangkal bukti ilmiah bahwa perubahan iklim nyata dan diakibatkan oleh aktivitas manusia. Koch Industries, misalnya. Robert J. Brulle, ahli sosiologi lingkungan dari Drexel University, dalam artikelnya yang berjudul “Institutionalizing delay: foundation funding and the creation of U.S. climate change counter-movement organizations” (Climate Change, Vol. 122, 2014) mengungkap suburnya gerakan untuk menolak konsensus ilmiah perubahan iklim ternyata didanai oleh perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil seperti Exxon atau bisnis milik Koch bersaudara.
Hasil analisis Brulle menunjukkan bahwa sejak 2003 sampai 2010, ada dana mengalir sebanyak USD 558 juta untuk organisasi-organisasi dan riset penyangkal perubahan iklim. Salah satu penyumbang terbesarnya adalah Koch Affiliated Foundations dengan angka pendanaan sebesar USD 26,3 juta.
Laporan khusus dari Greenpeace menunjukkan hal serupa. Dalam laporan berjudul Koch Industries Secretly Funding The Climate Denial Machine, Greenpeace mengungkap intervensi Koch Industries dalam riset-riset terkait perubahan iklim yang dilakukan oleh puluhan lembaga riset di Amerika Serikat.
Salah satu contoh studi yang dihasilkan dari intervensi ini adalah studi tentang beruang kutub Arktik pada 2007. Studi itu mengatakan bahwa pemanasan global tidak mengancam eksistensi beruang kutub di Arktik. Berdasarkan laporan Greenpeace, diketahui bahwa para peneliti yang terlibat disokong oleh Koch Industries, American Petroleum Institute dan Exxon-Mobil Corporation. Studi ini segera dihujani kritik dari para peneliti Arktik karena isu orisinalitas dan kurangnya data dalam proses pengambilan kesimpulan. Greenpeace juga mendapati para peneliti dalam studi ini memiliki rekam jejak dalam pembuatan penelitian-penelitian anti-perubahan iklim yang didanai perusahaan bahan bakar fosil.
Dalam sektor kesehatan, industri tembakau telah sejak lama mengintervensi riset-riset seputar kesehatan, terutama kanker. Studi berjudul “Tobacco industry manipulation of research” yang ditulis oleh Lisa A. Bero dalam jurnal Public Health Reports (2005) menunjukkan bahwa perusahaan di bidang industri tembakau terlibat dalam berbagai strategi penelitian untuk membantah temuan-temuan ilmiah yang dianggap merugikan perusahaan. Phillip Morris, misalnya. Pada 1988, perusahaan itu membentuk lembaga risetnya sendiri, yaitu Center for Indoor Air Research (CIAR) dengan misi utama membantah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perokok pasif berpotensi terkena kanker.
Dalam studi berjudul “The Crisis of Politicization Within and Beyond Science” (Nature Human Behaviour, Vol. 1, 2017) James N. Druckman menjelaskan bahwa politisasi sains adalah hal lumrah mengingat sains selalu berdiri di atas ketidakpastian. Menurutnya, ilmuwan memang selalu dilatih untuk fokus terhadap ketidakpastian. Sayangnya, ketidakpastian itulah yang menjadi ladang eksploitasi dan manipulasi beberapa pihak. Meski lumrah, dampaknya bisa serius jika tidak diperhatikan.
Druckman menyebutkan contoh studi yang dilakukannya tentang energi nuklir. Druckman menyebar kuesioner kepada dua kelompok responden. Salah satu kelompok responden diberikan konsensus ilmiah tentang penggunaan energi nuklir. Hasilnya kelompok tersebut menunjukkan sikap positif terhadap nuklir. Kelompok lain diberikan informasi tentang konsensus ilmiah yang dipolitisasi. Mereka cenderung tidak percaya dengan konsensus ilmiah, dan lebih memercayai bagian yang sudah dipolitisasi. Artinya, upaya politisasi bisa mengeksploitasi sifat ketidakpastian dalam sains dan mengarahkan kepada informasi yang keliru.
Begitu juga yang terjadi pada para penyangkal perubahan iklim. Sebagaimana disampaikan oleh Brulle sebelumnya, riset-riset soal iklim yang direcoki oleh perusahaan energi fosil berperan dalam merebaknya kelompok penyangkal perubahan iklim. Juga pada kasus Lysenko. Kembali kepada keterangan Borinskaya, dkk., puluhan tahun setelah Lysenkoisme didiskreditkan, masih ada kelompok yang membela gagasannya.
Dalam kasus Vaksin Nusantara, skala politisasinya mungkin tidak sebesar Lysenko atau Koch Industries. Namun, pola yang sama muncul: upaya untuk melawan konsensus ilmiah dengan kekuatan politik.
Penulis: Mochammad Naufal
Editor: Windu Jusuf