tirto.id - Manusia seringkali dinilai berdasarkan klasifikasi ciri fisik: warna kulit, warna mata, atau rambut. Pembagian itu dikenal sebagai klasifikasi berdasarkan ras. Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-20 para ilmuwan telah bersepakat bahwa ras bukanlah satu konsep yang bisa diterima apa adanya. Ilmuwan sepakat ras tidak bersifat biologis, tidak alamiah, melainkan diciptakan oleh manusia dalam konteks sosial dan kepentingan politik. Tapi, kenapa rasisme masih kerap muncul meski ia terbukti tak ilmiah?
Sebuah buku berjudul RACE: Are We So Different? (2019)yang ditulis oleh Alan H. Goodman dkk dari American Anthropological Asociation menjelaskan bahwa konsep ras tidak seperti yang selama ini umum diterima: alamiah, primordial dan permanen. Menurut para peneliti dalam buku ini, ras adalah konsep yang terlalu lama diciptakan orang Eropa, yakni ketika mereka melakukan penjelajahan dan penjajahan sejak abad ke-16.
Menurut Audrey Smedley, seorang profesor antropologi yang menjadi salah satu penulis dalam buku itu, konsep ras belum diciptakan pada awal era kolonialisme. Ketika membangun koloni di Amerika pada 1607, Inggris tidak memisahkan masyarakat setempat berdasarkan ciri-ciri fisik atau ras, tetapi berdasarkan agama dan kekayaan.
Pada masa itu, memang sudah ada orang kulit hitam asal Afrika yang menjadi budak, tetapi mereka bisa merdeka dengan bayaran tertentu. Mereka tidak menjadi budak permanen hanya karena warna kulit. Pemerintah kolonial Inggris bahkan mencampurbaurkan pekerja dari Afrika, Eropa dan pribumi Amerika di wilayah jajahan.
“Pekerja kulit hitam dan kulit putih melayani majikan yang sama,” kata sejarawan Edmund Morgan sebagaimana dikutip Smedley. “Mereka makan bersama, tidur bersama, bahkan umum bagi mereka untuk mencuri ternak majikannya bersama-sama, mabuk-mabukan bersama.”
Klasifikasi rasial muncul ketika wilayah koloni Inggris di Amerika dilanda krisis, tepatnya pada kurun 1675-1676. Para pekerja yang terdiri dari orang kulit hitam Afrika, orang kulit putih Eropa dan pribumi Amerika merasa tidak puas dengan sistem kolonial yang menindas. Pada 1676, mereka menyatukan kekuatan dan memberontak di Virginia.
Walaupun tentara Inggris berhasil menumpas pemberontakan, sejak saat itu pemerintah kolonial menilai pembauran orang kulit putih Eropa dengan orang kulit hitam sebagai ancaman bagi kestabilan politik dan ekonomi kolonial. Kerajaan Inggris menyiasati ancaman ini dengan memisahkan orang kulit hitam Afrika dengan orang kulit putih Eropa. Para pekerja kulit hitam kemudian dipisahkan dan ditempatkan dalam hierarki paling bawah.
Warna kulit kemudian menjadi pembeda dan penentu posisi seseorang di dalam masyarakat kolonial. Menurut keterangan Smedley, beberapa pejabat kolonial mulai berargumen bahwa orang kulit hitam tidak memiliki hak di bawah hukum Inggris, sehingga mereka bisa diperbudak secara permanen.
Pada akhir abad ke-17, pejabat kolonial mulai menyeragamkan orang Eropa dengan penyebutan istilah “whites” (kulit putih), padahal sebelumnya orang Eropa selalu dirujuk berdasarkan agama (Christians), bukan warna kulit. Untuk pertama kalinya, orang Eropa diklasifikasikan berdasarkan warna kulit dalam sebuah dokumen publik yang terbit pada 1691 tentang larangan pernikahan orang Eropa (“whites”) dengan orang kulit hitam.
Goodman dkk. menyebutkan konsep ras mulai digunakan untuk menjustifikasi penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Para penjajah mengaitkan warna kulit dengan perilaku dan tingkat kecerdasan. Dengan mendudukkan orang kulit hitam sebagai “ras” inferior, tidak beradab, bahkan setengah manusia, para penjajah membangun landasan moral untuk melakukan penjajahan dan perbudakan. Dengan kata lain, konsep ras dan rasisme awalnya diciptakan guna menopang keberlangsungan penjajahan. Orang Eropa lantas mencari justifikasi lain, salah satunya melalui sains.
Kemunculan Rasisme Ilmiah
“Sejarah sains mencakup banyak sekali upaya untuk membenarkan ras dan hierarki ras,” kata Goodman dkk. dalam bukunya.
Pada 1735, naturalis asal Swedia Carolus Linnaeus mengembangkan sistem klasifikasi makhluk hidup dalam magnum opus-nya yang berjudul Systema Naturae. Karya ini menjadi fondasi utama dari ilmu taksonomi. Tetapi, di samping itu Goldman dkk. menganggap karya ini juga menjadi fondasi bagi pengukuhan konsep ras dan rasisme dalam dunia akademik.
Dalam karya ini, Linnaeus mengklasifikasikan manusia menjadi lima jenis berdasarkan karakternya. Tidak hanya ciri fisik, karakter ini juga melibatkan perilaku dan kebiasaan yang sifatnya stereotipikal.
Empat jenis manusia itu adalah orang pribumi Amerika, orang Eropa, orang Asia dan orang Afrika. Linnaeus menggambarkan orang pribumi Amerika sebagai kelompok manusia berkulit kemerahan dengan sifat keras kepala, mudah tersinggung dan terikat adat. Orang Eropa digambarkan sebagai manusia berkulit putih yang gagah, lemah lembut, berdaya cipta dan taat hukum. Orang Asia dideskripsikan sebagai kelompok manusia berkulit pucat yang sayu, kaku, angkuh dan dikendalikan oleh opini. Sedang orang Afrika digambarkan sebagai manusia berkulit hitam yang apatis, licik, malas dan plin-plan.
Di samping berkontribusi besar terhadap perkembangan biologi, karya Linnaeus menunjukkan usaha orang Eropa untuk secara “saintifik” mempromosikan hierarki sosial berdasarkan ras, misalnya melalui pelekatan sifat negatif pada ras tertentu.
Setelah Linnaeus, para ilmuwan mengembangkan berbagai metode “saintifik” untuk membuktikan kebenaran konsep ras, sekaligus membuktikan superioritas ras tertentu. Goldman dkk. mencatat menjelang abad ke-19, banyak ilmuwan berusaha mencari pembenaran klasifikasi rasial secara “objektif” melalui pengamatan ciri anatomi dan fisiologi manusia. Metode yang umum digunakan adalah pengukuran tengkorak.
Salah satu ilmuwan terkenal yang menggunakan metode ini adalah Samuel Morton. Pada 1839, Morton memperbandingkan ukuran tengkorak dari empat klasifikasi rasial: “Kaukasia”, “Mongolia”, “Amerika”, dan “Ethiopia”. Dari perbandingan itu, Morton membangun hierarki rasial dengan asumsi semakin besar ukuran tengkorak suatu ras, semakin besar tingkat kecerdasan ras tersebut. Ia menempatkan “Kaukasia” sebagai kelompok ras yang paling cerdas. Ilmuwan seperti Morton percaya bahwa ras adalah sesuatu yang sifatnya alamiah, stabil, dan permanen. Sederhananya, jika satu individu terlahir sebagai kelompok rasial tertentu dengan kecerdasan rendah, maka ia akan selamanya begitu.
Pada 1911, bapak antropologi modern Franz Boas berhasil membantah klasifikasi rasial yang waktu itu mendominasi sains lewat esainya yang dipresentasikan dalam The First Universal Races Congress di University of London. Boas meneliti ukuran tengkorak beberapa generasi orang Yahudi dan Sisilia di Amerika. Hasilnya, ia menemukan bahwa ukuran tengkorak dapat bervariasi dan berubah-ubah bergantung kepada faktor eksternal seperti lingkungan atau nutrisi. Artinya klasifikasi rasial tidaklah stabil. Boas secara tegas menolak klasifikasi rasial yang sebelumnya ramai dipercaya ilmuwan di Eropa.
“Gagasan lama tentang stabilitas mutlak tipe-tipe manusia jelas harus ditinggalkan,” tulis Boas dalam studinya, “begitu pula keyakinan akan unggulnya keturunan dari jenis-jenis tertentu daripada yang lain.”
Meski demikian, ras tetap diimani banyak orang di Eropa. Menurut Goodman dkk. konsep ras yang hierarkis menguat ketika pada awal abad ke-20 terjadi kebangkitan paham dan praktik eugenika (eugenics)di kalangan ilmuwan. Para pegiat eugenika percaya bahwa kualitas genetik perlu dijaga dengan cara memisahkan ras unggul dengan ras yang inferior. Konsep ras dan eugenika nantinya menjadi bahan bakar lahirnya fasisme yang membunuh jutaan orang Yahudi dalam kurun 1941-1945.
Berdasarkan keterangan Goodman dkk. beberapa dekade sebelum tragedi itu, tepatnya pada 1916, Adolf Hitler mengirim surat kepada Maddison Grant seorang ilmuwan eugenika Amerika. Hitler mengaku bahwa buku Grant yang berjudul The Passing of the Great Race adalah “injil” baginya.
Ras Hanyalah Mitos?
Pascaperang dunia dan tragedi rasial yang menyertainya, para ilmuwan bersepakat untuk memikirkan ulang konsep ras. Pada 1949, UNESCO bersama dengan para ilmuwan, antropolog, diplomat, dan ahli kebijakan internasional berkumpul di Paris untuk memeriksa kembali konsep ras. Hasilnya, pada 1950 UNESCO mengeluarkan pernyataan bahwa ras adalah konsep yang cacat dan tidak ilmiah.
“Para ilmuwan telah mencapai kesepakatan umum dalam memahami bahwa umat manusia itu satu: seluruh manusia termasuk dalam spesies yang sama, Homo sapiens,” demikianpembuka laporan itu.
Meski demikian, kesepakatan itu tetap mempertahankan klasifikasi tipe manusia yang ada pada masa itu (Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid). Pada saat bersamaan, klasifikasi tersebut tidak didasarkan pada pemahaman rasial yang stabil dan permanen, melainkan pada proses evolusi biologis yang panjang, sehingga klasifikasi dapat terus berubah. Para ilmuwan juga menolak gagasan bahwa karakteristik fisik suatu populasi berhubungan dengan tingkat kecerdasan, kemampuan kognitif, dan kapasitas mental.
Temuan signifikan mencuat puluhan tahun kemudian. Pada 1972, seorang pakar genetika bernama Richard Lewontin membuktikan betapa cacatnya konsep ras. Lewontin mengumpulkan sampel data genetis dari berbagai penjuru dunia dengan tujuan melihat hubungan antara variasi genetik dan klasifikasi ras yang umum dipercaya. Studi itu menemukan fakta bahwa hanya 6% keragaman genetik yang berkaitan dengan ras. Alih-alih menemukan variasi antar kelompok “ras”, variasi justru ditemukan lebih banyak di dalam satu kelompok “ras”. Artinya, klasifikasi ras tidak bisa dijadikan model untuk menjelaskan keragaman manusia.
Dalam laporan studinya “The Apportionment of Human Diversity” (1972) yang diterbitkan dalam jurnal Evolutionary Biology, Lewontin menyimpulkan bahwa ras adalah konsep yang menyusup dari praktik sosial dan politik ke dalam alam “sains”, bukan sebaliknya. Lewontin menyimpulkan secara tegas bahwa ras tidak memiliki landasan ilmiah dan perlu ditinggalkan.
“Klasifikasi rasial manusia tidak memiliki nilai sosial dan secara nyata berdampak destruktif bagi hubungan sosial,” tulis Lewontin menutup laporannya, “Karena klasifikasi rasial hampir tidak memiliki signifikansi baik dalam genetika maupun taksonomi, maka tidak ada pembenaran yang diperlukan untuk keberlanjutannya.”
Persoalannya, setelah puluhan tahun konsep ras ditolak, beberapa ilmuwan masih kukuh mempertahankan ras sebagai sesuatu yang alamiah.
Langgengnya Rasisme dalam Sains
Alan Goodman dalam tulisan lainnya yang dimuat Sapiens menyebut masih banyak para ilmuwan dan dokter yang meyakini konsep ras. Dalam dunia medis, Goodman mencatat seringkali para dokter di Amerika mendiagnosis pasiennya berdasarkan ras. Padahal, secara biologis konsep ras sudah tidak diakui.
Salah satu contohnya, menurut Goodman, adalah anggapan di kalangan dokter dan petugas kesehatan bahwa orang kulit hitam tidak akan mendapatkan penyakit tulang, sehingga mereka tidak memerlukan uji kepadatan tulang. Goodman mengutip sebuah survei yang dilakukan oleh sekelompok peneliti dari East Carolina University. Studi itu menunjukkan data dari 531 pasien perempuan yang melakukan uji kepadatan mineral tulang, hanya 75 orang (15%) yang merupakan perempuan kulit hitam. Menariknya, studi ini menemukan fakta bahwa akses terhadap layanan kesehatan tidak menjadi persoalan, karena perempuan kulit hitam tercatat lebih sering mengunjungi klinik. Peneliti berpendapat ketimpangan yang muncul lebih mungkin disebabkan oleh sektor pelayanan kesehatan yang sejak awal memiliki bias rasial.
Setelah banyak ilmuwan membongkar mitos terkait ras puluhan tahun lalu, nyatanya pemahaman mengenai ras sebagai sesuatu yang alamiah masih bercokol hingga sekarang di komunitas ilmiah itu sendiri. Angela Saini, seorang jurnalis sains asal Inggris, dalam bukunya Superior: The Return of Race Science (2019) menunjukkan kenyataan bahwa selama hampir satu abad sejak komunitas ilmiah berhasil membongkar mitos tentang ras, beberapa ilmuwan justru masih mengimaninya.
Menurut Saini, bahkan saat ini konsep ras dan rasisme dalam dunia akademik tampak menguat. Pasca-Perang Dunia II, para ilmuwan pendukung konsep ras terus berjejaring dan menerbitkan berbagai publikasi. Salah satu publikasi yang paling kontroversial adalah jurnal Mankind Quarterly yang hadir sejak 1960 dan bertahan hingga sekarang.
Dari pengamatan Saini, jurnal ini memuat tema-tema seputar pembuktian ras secara biologis dan ketimpangan akibat perbedaan genetik antarras. Kini jurnal Mankind Quarterlybanyak bicara soal isu-isu segregasi dan anti-imigrasi.
Banyak kontributornya yang dikenal oleh publik sebagai pendukung supremasi kulit putih. Salah satunya Jared Taylor yang juga merupakan seorang pendiri majalah ekstrem kanan American Renaissance. Taylor mendukung segregasi rasial dan menganggap ras sebagai sub-spesies. Menurutnya, dua sub-spesies tidak seharusnya hidup dalam satu area geografis yang sama.
Menariknya, beberapa ilmuwan yang terlibat dalam persekongkolan rasis ini juga menyusup ke dalam tubuh penerbit ilmiah arus utama. Dua ilmuwan yang terlibat dalam Mankind Quarterly, Richard Lynn dan Gerhard Meisenberg, pernah menjadi editor jurnal Intelligence di bawah penerbit ternama Elsevier.
Menurut Saini, masalah dari rasisme ilmiah ini tidak terletak hanya pada gagasan-gagasan kontroversialnya saja. Rasisme ilmiah juga bermasalah dalam urusan metode. Komunitas ilmiah secara luas telah melayangkan berbagai kritik terhadap metode dan analisis yang digunakan oleh kelompok ini, bahkan sejak satu abad yang lalu.
Kendati banyak mendapat serangan dan dilabeli sebagai pseudosains. Rasisme ilmiah tetap bertahan. Profesor antropologi dari University of North Carolina Jonathan Marks, dalam wawancaranya dengan Saini menyebut konsep ras dan rasisme bertahan dalam dunia akademik karena sokongan dari kelompok sayap kanan yang mendanai riset-riset untuk menemukan perbedaan ras di antara manusia. Temuan perbedaan ini digunakan sebagai basis atas klaim bahwa manusia terbagi dalam ras-ras yang tidak setara secara alamiah dan permanen.
“Akhirnya, politik selalu merupakan fitur yang melekat pada sains, sudah sejak dahulu,” tulis Saini. “Jika dulu latar belakangnya adalah perbudakan dan kolonialisme, maka sekarang adalah imigrasi dan segregasi. Ini merupakan agenda sayap kanan zaman sekarang.”
Penulis: Mochammad Naufal
Editor: Windu Jusuf