tirto.id - Wasekjen Demokrat, Andi Arief menyebut Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno membayar PKS, PAN dan Gerindra sebesar Rp500 miliar untuk mendapatkan jatah cawapres pendamping Prabowo Subianto.
"Di luar dugaan kami ternyata Prabowo mementingkan uang ketimbang jalan perjuangan yang benar. Sandiaga Uno yang sanggup membayar PAN dan PKS masing-masing 500 miliar menjadi pilihannya untuk cawapres," kata Andi saat dihubungi, Rabu (8/8/2018) malam.
Atas hal itu, Andi menyebut Prabowo sebagai "jenderal kardus" dan menyatakan Demokrat tidak lagi bersedia berkoalisi dengan PKS, PAN dan Gerindra di Pilpres 2019.
"Baru tadi malam Prabowo datang dengan semangat perjuangan. Hanya hitungan jam dia berubah sikap karena uang. Besar kemungkinan kami akan tinggalkan koalisi kardus ini. Lebih baik kami konsentrasi pada pencalegan ketimbang masuk lumpur politik PAN, PKS dan Gerindra," kata Andi.
Tak cuma itu, Andi juga menuduh Prabowo dan Sandiaga terlibat dalam "pengaturan skor dalam pertarungan melawan Jokowi ini." Mengenai hal ini, Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani membantah kabar Sandiaga membayar Rp500 miliar untuk posisi cawapres. "Enggak ada. Itu kata Andi Arief saja," kata Muzani, di Rumah Prabowo, Kertanegara, Jakarta Selatan, Rabu (8/8/2018) malam.
Muzani juga menyatakan koalisi Gerindra dengan Demokrat masih mungkin terjalin. "Itu kan bukan Pak SBY yang bilang," kata dia.
Meskipun begitu, Muzani mengakui jika nama Sandiaga masuk dalam bursa cawapres Prabowo. "Sampai tadi pagi ada dua nama. Sandiaga dan AHY. Malam ini kami putuskan," kata Muzani.
Menanggapi ihwal "uang mahar" tersebut, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengungkapkan bakal menunggu perkembangan lebih lanjut. "Enggak bisa langsung menyimpulkan. Karena ini sifatnya, kan, baru rumor. Harus hati-hati," kata Komisioner Bawaslu, Rahmat Bagja, kepada Tirto. Ia menambahkan, pihaknya sudah membicarakan hal tersebut secara internal dan "bersiap melakukan penyelidikan jika memang memenuhi kualifikasi pelanggaran." "Pelan-pelan. Langkah yang ditempuh harus sesuai kondisi. Kami terus memantau perkembangan kabar ini," tegasnya. Transaksi politik, yang dilakukan baik individu maupun partai, dalam proses pencalonan presiden dan wakilnya dilarang keras oleh UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 228, misalnya, dengan jelas mengatur bahwa "Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden." Sementara di Pasal 228 ayat (4) disebutkan, "Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada Partai Politik dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden." Apabila aturan ini dilanggar, maka masih mengutip Pasal 228, "parpol bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya." tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Maya Saputri