Menuju konten utama

Soal Saracen, Polisi Dinilai Cari-Cari Kesalahan Asma Dewi

Polisi tidak seharusnya mencari-cari kesalahan jika tuduhan kepada Asma Dewi soal sindikat Saracen tidak bisa dibuktikan.

Soal Saracen, Polisi Dinilai Cari-Cari Kesalahan Asma Dewi
Asma Dewi Ali Hasjim. Facebook/@Asma Dewi Ali Hasjim

tirto.id - Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir, mengatakan bahwa polisi tidak seharusnya mencari-cari kesalahan jika tuduhan mereka kepada Asma Dewi soal sindikat ujaran kebencian Saracen tidak bisa dibuktikan.

Polisi menuding Asma Dewi terlibat Saracen. Ia dinilai melanggar Pasal 28 ayat (2) UU 11/2008 tentang ITE, Pasal 16 juncto Pasal 40 b UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Pasal 207 KUHP, dan Pasal 208 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa.

Dalam pengembangan, polisi menduga Asma Dewi pernah mentransfer uang kepada Saracen sebanyak Rp75 juta.

Namun dalam pembacaan surat dakwaan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Kamis (30/11) lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya mendakwakan Asma Dewi dengan empat "pasal alternatif". Asma Dewi hanya dipersalahkan karena membuat konten ujaran kebencian—yang bisa saja terjadi dan dilakukan pada siapa pun, bukan karena ia tergabung dalam struktur kepengurusan kelompok tertentu. Tidak ada satu pun yang menyebutkan kata "Saracen" atau "Rp 75 juta".

Singkatnya, apa yang didakwa dalam penyidikan sama sekali tidak terbukti di persidangan.

Menurut Muzakir, dakwaan polisi harusnya didasarkan dari hasil penyidikan yang sah. Jika di penyidikan Asma Dewi diduga terkait Saracen, maka dakwaan harusnya disebut dalam persidangan. Sepanjang tidak dilakukan dan malah mendakwa melalui pasal lain, maka Muzakir menganggap polisi "mencari-cari kesalahan".

"Kalau awalnya [diduga] tergabung dalam Saracen ternyata tidak terbukti, ya dikeluarkanlah dari pidana. Kalau tidak terbukti, ya, jangan ditahan," katanya kepada Tirto, Selasa (5/12/2017).

Polisi tidak seharusnya cepat menahan orang atas bukti yang "mentah". Ketika penyidik hanya menuduh dengan bukti yang lemah atau bahkan tanpa bukti sama sekali, maka lisensi penyidikannya harus dicabut.

"Kalau dia masuk Saracen, artinya turut serta melakukan tindak pidana. Dia ditahan karena itu. Kalau memang tidak terbukti, ya, dibebaskan semuanya. Kalau dia terbukti, ya, ada alasan menahan, tapi jangan dicari-cari kejahatan lain yang mereka lakukan," ujar Muzakir.

Dakwaan "alternatif" soal membuat konten ujaran kebencian juga dinilai lemah. Sebab dari sekian banyak warganet yang mengkritik pemerintah dan berpotensi memuat ujaran kebencian, hanya Asma Dewi, Jasriadi, dan kawan-kawannya yang dipidana, bahkan dituduh tergabung dalam sindikat yang tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Bagi Muzakir, polisi melakukan tindak diskriminasi.

"Itu sudah jelas bahwa polisi belum objektif," kata Muzakir.

Ketika ditanya soal berubahnya pasal dakwaan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian enggan menjawab dengan dalil "bukan kapasitasnya".

"Itu soal teknis. Kamu tanya ke Direktur [Tindak Pidana Siber Bareskrim] saja. Saya tidak mau bicara teknis," katanya, hari ini.

Baca juga artikel terkait KASUS UJARAN KEBENCIAN atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino