tirto.id - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan penyelesaian 9 dari 13 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia sebelum keberadaan Undang-Undang tentang Peradilan HAM, butuh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurutnya bukan presiden yang dapat menindaklanjuti perkara.
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur mengenai pengadilan HAM Ad Hoc. Pelanggaran HAM berat sebelum UU tersebut, diperiksa dan diputus pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari merespons pernyataan Mahfud. “Tindak lanjut hasil penyelidikan Komnas HAM atas pelanggaran HAM berat masa lalu tidak perlu menunggu keputusan DPR. Kejaksaan Agung dapat menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut sesuai dengan ketentuan UU Pengadilan HAM dan hukum acara yang berlaku,” kata Taufik, Senin (29/11/2021).
Keputusan DPR untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc diterapkan setelah penyidikan oleh Kejaksaan Agung dilakukan. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 43 UU Pengadilan HAM yang menyebutkan: (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang- undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Kemudian, lanjut Taufik, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2007, kata “dugaan” dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan dinyatakan batal serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lantaran menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Namun, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk hal tersebut.
Maka DPR tidak akan menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Pengadilan HAM. Kata “dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena penafsiran kata “dugaan” berbeda dengan mekanisme.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007, dalam hal DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu.
“Sebelum DPR mengusulkan pembentukan pengadilan, terlebih dahulu harus ada dasar penyidikan yang dilakukan. Bukan DPR yang menduga sendiri terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat, melainkan proses pro justitia yang mendasari keputusannya,” terang Taufik.
Kewenangan DPR perihal mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, bukan menentukan hasil penyelidikan Komnas HAM dapat ditingkatkan menjadi penyidikan atau tidak. “Menindaklanjuti hasil penyidikan Komnas HAM menjadi penyidikan adalah kewenangan Jaksa Agung,” kata dia.
Taufik mendukung Jaksa Agung Muda Pidana Khusus menyusun upaya strategis dan membuat terobosan progresif guna perampungan pelanggaran HAM masa lalu dan mengingatkan presiden agar komitmen penuntasan perkara HAM masa lalu terus dilanjutkan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz