tirto.id - Presiden Joko Widodo memberikan tanggapan terkait penolakan Ketua DPR Setya Novanto untuk memenuhi panggilan pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh penyidik KPK. Presiden menegaskan sepenuhnya persoalan hukum pada peraturan perundangan yang berlaku.
Pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, bersikukuh bahwa kliennya tidak bisa hadir dalam pemeriksaan KPK harus seizin dari presiden.
"Buka undang-undangnya semua. Buka undang-undangnya. Aturan mainnya seperti apa, di situlah diikuti?" kata Jokowi, usai membuka kongres ke-20 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), di Manado, Rabu (15/11/2017), sebagaimana disampaikan tertulis oleh Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, dikutip dari setkab.go.id.
Jokowi selama ini memang memiliki prinsip menyerahkan semua persoalan hukum kepada peraturan yang berlaku.
Terkait mangkirnya Setnov dari pemeriksaan KPK, menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, KPK sudah menerima tujuh lembar surat dari pihak pengacara Setya Novanto.
"Pagi ini surat dari pengacara SN kami terima di bagian persuratan (surat-menyurat) KPK. Yang bersangkutan tidak dapat hadir hari ini," kata Febri saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (15/11/2017).
Saat ini, internal KPK tengah menelaah alasan-alasan yang disampaikan dalam surat tersebut.
Meskipun menyatakan tidak hadir dengan alasan judicial review, Febri mengingatkan, KPK sebagai lembaga hukum mengacu kepada KUHAP, UU Tipikor dan UU KPK. KPK menilai tetap ada wewenang untuk memproses perkara KTP elektronik.
"Jadi sekalipun ada bagian dari UU tersebut yang diuji di MK, hal tersebut tidak akan menghentikan proses hukum yang berjalan," kata Febri.
Febri mengingatkan, langkah penegakan hukum diperkuat dalam Pasal 58 UU MK. Pasal 58 UU MK menyatakan Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Sehingga dalam penanganan kasus KTP Elektronik ini, kami akan berjalan terus," kata Febri.
KPK juga menilai alasan hak imunitas yang dijadikan alasan oleh pengacara Setya Novanto tidak berlaku. Walaupun disebut di UUD 1945 tentang kewenangan imunitas, KPK mengklaim uraian pasal 80 dan pasal 224 UU MD3 menyatakan pengaturan hak imunitas terbatas untuk melindungi anggota DPR yang menjalankan tugas.
Hal itu dinilai tidak berlaku dalam hal ada dugaan tindak pidana korupsi karena melakukan korupsi pasti bukan bagian dari tugas DPR. Oleh karena itu, KPK mengklaim tugas mereka sebagai upaya menegakkan hukum meskipun DPR mempunyai hak imunitas.
"Dalam penegakan hukum kita punya tanggungjawab dan tugas untuk menegakkan hukum secara adil dan berlaku sama terhadap semua orang. Jangan sampai ada kesan hukum tidak bisa menyentuh orang-orang tertentu," kata Febri.
Selain itu, Febri menegaskan, perlakuan antara KPK kepada Setya Novanto tidak bisa disamakan dengan perlakuan KPK yang tidak hadir dalam pansus hak angket. Ia mengingatkan, pansus hak angket merupakan proses politik.
"Itu dua hal berbeda. Angket itu proses politik. Sejak awal KPK sudah sampaikan bahwa proses hukum dan proses politik harus dipisahkan," kata Febri.
Komisi Pemberantasan Korupsi direncanakan memanggil Ketua DPR Setya Novanto untuk dimintai keterangan sebagai tersangka, Rabu (14/11/2017). Meskipun pihak Setya Novanto sudah mengonfirmasi tidak akan hadir, KPK tetap berharap Novanto memenuhi panggilan penyidik tanpa menggunakan alasan.
Pengacara Ketua DPR Setya Novanto Fredrich Yunadi menegaskan kliennya tidak akan memenuhi panggilan penyidik KPK, Rabu (15/11/2017). Fredrich pun mengklaim sudah mengirimkan alasan kepada KPK terkait ketidakhadiran tersebut.
"Kita kan sudah bikin surat resmi, saya yang bikin surat resmi. Jadi tentu tidak hadir," kata Fredrich saat dihubungi Tirto, Rabu (15/11/2017).
Dalam surat tersebut, Fredrich menjelaskan kalau Setya Novanto tidak akan hadir memenuhi panggilan dengan alasan tengah menggugat kewenangan KPK yang bisa memanggil dan memeriksa anggota DPR yang dilindungi UUD 45. Kedua, pihak Novanto menguji apakah KPK melakukan pencegahan.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri