tirto.id - Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benni Wijaya menyatakan, pembangunan proyek strategis nasional (PSN) secara masif memperburuk keadaan masyarakat. Hal ini merespons konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepri, imbas rencana pembangunan PSN Rempang Eco-City.
“Proyek-proyek pembangunan infrsatruktur justru banyak melahirkan dampak negatif bagi masyarakat di sekitar proyek pembangunan termasuk mereka yang digusur. Catatan KPA sebenarnya telah membuktikan bahwa PSN semakin memperburuk situasi masyarakat,” kata Benni dihubungi reporter Tirto, Senin (11/9/2023).
Tak hanya di Pulau Rempang, kata Benni, konflik imbas pembangunan PSN juga terjadi di tempat lain seperti PSN Bandara Kertajati di Jawa Barat, sirkuit Mandalika, Pulau Komodo di Labuan Bajo dan di banyak tempat lainnya.
”Alih-alih mendapatkan manfaat, mereka justru tersingkir lebih dulu dari tanah mereka dan lokasi pembangunan,” terang Benni.
Menurut catatan akhir tahun KPA selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, setidaknya ada 477 letusan konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur yang terjadi selama periode 2015-2022 yang sebagian besarnya didominasi oleh PSN.
Bahkan pada 2021, KPA mencatat dari 52 letusan konflik akibat pembangunan infrastruktur, 32 letusan konflik merupakan konflik akibat percepatan PSN.
Menurut Benni, tingginya angka letusan konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur terutama PSN, akibat dari proses pembangunan yang dilakukan secara sepihak dan tergesa tanpa melibatkan partisipiasi masyarakat secara bermakna.
Ditambah, situasi faktual di lapangan di mana banyak lokasi-lokasi yang dijadikan proyek berada di atas tanah-tanah masyarakat.
“Situasi tersebut berbanding lurus dengan penanganan pemerintah dalam merespon penolakan warga, represif dengan selalu menurunkan apparat sehingga seringkali menimbulkan korban,” kata Benni.
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum sebenarnya telah menyatakan bahwa dalam konteks pengadaan tanah bagi kepentingan umum, pemerintah terlebih dahulu harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terdampak.
“Dan masyarakat berhak menolak rencana pembangunan tersebut mereka menilai pembangunan tidak memberikan dampak positif bagi mereka,” tegas Benni.
Dalam UU tersebut juga dinyatakan, bagi masyarakat yang setuju dengan rencana pembangunan, akan ada beberapa opsi ganti kerugian, seperti ganti kerugian dalam bentuk uang, relokasi, pernyertaan saham, dan lain-lain.
“Namun hal tersebut tidak pernah dijalankan. Warga hanya diberi opsi ganti kerugian berupa uang yang seringkali dimanipulasi dan tidak terbuka,” tukas Benni.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang