tirto.id - Tahun lalu, Fajar Nugros sukses mencuri perhatian khalayak penonton Indonesia melalui film bergenre horor-thrillerInang (The Womb). Sebelum didistribusikan melalui bioskop, ia lebih dulu tayang di Festival Film Fantasi Internasional Bucheon pada Juli 2022. Ia cukup memancing pembicaraan hangat, meski tak terlalu maksimal menjaring penonton.
Tak berlama-lama, Fajar Nugros melanjutkan lagi “petualangan” naratifnya. Kali ini, dia menghadirkan sebuah thriller psikologis berjudul Sleep Call. Bagi saya, film ini mengingatkan pada nuansa-nuansa tertentu yang diusung film-film Korean New Wave ala Park Chan-wook atau Bong Joon-ho.
Dalam Sleep Call,sutradara Balada si Roy ini menghadirkan kombinasi antara tren sosial, isu kesehatan mental, dan tema klasik tentang divided personality.
Masalah Berlapis
Melalui Inang,Fajar Nugros menunjukkan sisinya yang lain sebagai sutradara. Selain genre dan naratif, dia menyuguhkan pula visual yang amat eklektik dan berbeda dari film-film yang dia besut sebelumnya. Kini, dia mencoba lebih banyak bereksperimen secara visual dan naratif.
Kita diajakmengikuti kisah seorang mantan pramugari bernama Dina (Laura Basuki) yang bekerja di sebuah perusahaan pinjaman daring ilegal. Ironisnya, Dina pun tengah dikejar-kejar utang.
Tak hanya berhadapan dengan kehidupan dan dunia kerja yang keras, Dina juga dirundung kesepian. Melalui perkataan salah satu temannya, penonton diberi petunjuk bahwa Dina mengalami kesepian lantara enggan membuka diri usai patah hati.
Dina sendiri berada di titik sudah muak dengan hubungan di dunia nyata yang dirasanya penuh kebohongan. Dina pun menyerah untuk jatuh cinta di dunia nyata. Hingga kemudian, Dina berkenalan dengan Rama (Juan Bio One) melalui sebuah aplikasi kencan.
Dan begitulah, momen-momen sleep call dengan Rama kemudian menjadi pengobat lara bagi Dina. Baginya, Rama adalah sosok memesona sekaligus misterius.
Mereka selalu melakukan sleep call saat malam hari, selepas Dina usai bekerja. Dina dan Rama bisa melakukan sleep call hingga dini hari dan mengurangi jam tidurnya.
Singkat cerita, Dina jadi amat bergantung dan tak bisa lepas dari sleep call. Dan seiring dengan hubungannya yang lebih intens dengan Rama, Dina sadar telah terbawa ke dalam situasi rumit. Situasi kemudian jadi makin tak terkendali, bahkan hingga mengancam nyawa Dina.
Alur kisah Sleep Call sendiri tidaklah rumit, tapi memancing multiinterpretasi. Banyak adegannya digunakan untuk mendedah kondisi batiniah si karakter utama seraya menunjukkan betapa luas kemungkinan-kemungkinan imajinasi yang muncul dalam relung batin seseorang.
Sejak sekuens pembukanya, Fajar Nugros telah menyiapkan penontonnya untuk mengantisipasi sekuens demi sekuens selanjutnya. Maka kita mesti berpegang pada konstruksi logika yang dia bangun di awal durasi selama menyelami dunia tempat Dina menjalani hari-harinya.
Beberapa adegan tidak bisa begitu saja diasumsikan berangsung secara empiris. Boleh jadi itu memang riil, tapi bisa juga terjadi di dunia imajinasi sang tokoh protagonis alias dream sequence. Demikian juga dengan identitas Rama dan interaksi yang terjalin dengannya.
Meski begitu, Fajar Nugros masih menempatkan beberapa petunjuk yang disebar di beberapa subplot (legenda pewayangan di rumah sakit jiwa, flashback kehidupan karakter utama, repetisi lampu yang korslet, kebiasaan menuang makanan kucing, dll).
Dengan begitu, penonton punya “peta” atau “tengara” untuk mengikuti kisah thriller ini. Penonton pun sesungguhnya bisa menengarai sendiri adegan mana yang tergolong nyata dan imajinatif. Namun, perlahan tapi pasti, penonton juga bakal dikecoh oleh imajinasi yang menerobos batas-batas realitas.
Penonton juga nantinya diseret untuk mencari seorang manipulator di balik interaksi Rama dan Dina. Juga mencari jawab atas pertanyaan mengapa situasi jadi begini dan bagaimana bisa begitu. Ketika sleep call di antara Dina dan Rama terputus, satu persatu misteri pun dikuak.
Lalu, penonton dihadapkan pada pertanyaan: siapakah manipulator sebenarnya? Sebenarnya, siapa yang terjebak dan siapa yang menjebak?
Sentilan Sarkas
Meski bergenre thriller psikologis, Sleep Call tak melulu menghadirkan nuansa tegang dan muram. Fajar Nugros masih menyisipkan momen-momen komedik yang memorable dalam film terbarunya ini. Bahkan, beberapa momen komedik itu juga punya dampak serius hingga derajat tertentu.
Contoh paling gamblangnya adalah adegan senam wajah yang mesti dilakukan oleh segenap karyawan di perusahaan pinjol tempat Dina bekerja. Ada sensasi oksimoron di situ, manakala mereka mesti menghadirkan senyum tatkala sedang dihinggapi emosi marah sekalipun.
Lain itu, Nugros juga konsisten menyisipkan komentar-komentar sosial di sepanjang durasi. Ini seperti jadi semacam ciri khas penyutradaraan Nugros. Misalnya, film ini mencoba mengomentari isu pinjol yang meresahkan dengan cara komikal atau menyentil tren sleep call yang marak di kalangan Gen Z.
Sang sineas turut pula mengobservasi relasi gender dalam kehidupan rumah tangga dalam bingkai paradoksikal yang sebenarnya cukup umum kita jumpai: suami yang ketergantungan kepada istri.
Dengan menggunakan konteks rumah tangga pula, Fajar Nugros menempatkan adegan yang begitu menohok untuk mengail empati penonton. Itu adalah adegan menagih utang di sela-sela acara berkabung.
Tak berhenti di situ, Sleep Callpun berani menampilkan metafora pertentangan antarkelas secara telanjang, ketika kelompok elitis menertawai kaum buruh yang basah kuyup di pesta perayaan ulang tahun bos Dina.
Parade komentar sosial itu kemudian ditutup dengan sentilan soal isu keamanan data pribadi. Fajar Nugros mengetengahkan bagaimana seseorang bisa begitu mudahnya membuka diri di ekosistem digital bahkan sampai ke ruang-ruang yang paling intim. Juga bagaimana seseorang bisa bersembunyi dibalik identitas orang lain di dunia maya. Implikasinya adalah apa yang kini disebut kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Alur dan nuansa tegang yang disuguhkan Fajar Nugros dalam Sleep Call sebenarnya tidaklah baru. Namun, ia tetaplah tontonan "segar" di tengah minimnya rilisan thriller psikologis di Indonesia.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi