tirto.id - Uang pecahan seratus dolar Amerika itu dibungkus dalam kantong plastik. Fulus sebanyak Rp398,5 juta itu dimasukkan ke dalam sepuluh kantong plastik warna hitam. Dalam gelar perkara di Pulau Rote pada Juni tahun lalu, para ABK “Andika” pembawa 65 imigran asal Bangladesh, Myanmar, dan Sri Lanka itu, mengaku jika uang diberikan petugas Australia agar mereka kembali membawa para imigran menuju perairan Indonesia.
Pada dokumen persidangan kapten kapal Andika, Yohanis Humiang, dijelaskan secara detail kronologi penyuapan yang dilakukan oleh petugas Australia. Perjalanan penyelundupan dengan kapal Andika dilakukan pada 30 April 2015 melalui Pelabuhan Tegal, Jawa Tengah.
Yohanis Humiang, Marthen Karaeng, Medi Ampow, Yapi Aponno, Indra Reza Rumambi, dan Steven Ivan Janny Worotitjan direkrut oleh Yohanis Mansur alias Arman Johanis untuk membawa 65 imigran asal Bangladesh, Sri Lanka, dan Myanmar. Mereka berniat menuju Selandia Baru dengan menggunakan kapal dari Pelabuhan Tegal, Jawa Tengah.
Dalam berkas persidangan, tersangka perekrut ke-65 imigran adalah Vishvanathan Thinesh Kumar alias Kugan. Sedangkan Arman Johanis ialah salah satu komplotan jaringan penyelundup manusia bersama Abraham Louhenapessy alias Kapten Bram.
Arman Johanis bertugas mencari calon Anak Buah Kapal (ABK) yang dipergunakan menyelundupkan para imigran itu ke Selandia Baru. Sementara Kapten Bram bertugas mencari kapal buat mengangkut para imigran menuju Selandia Baru.
Dalam dokumen persidangan itu dijelaskan, Abdul, Suresh, dan Kugan adalah orang yang merekrut para imigran untuk diselundupkan ke Selandia Baru.
Berdasarkan keterangan saksi di persidangan, masing-masing imigran membayar $6.000 atau setara Rp75 juta sebagai ongkos untuk diberangkatkan menuju Selandia Baru. Uang kemudian diberikan Abdul dan Suresh kepada Kugan. Oleh Kugan, para imigran kemudian ditampung di daerah Cisarua, Kabupaten Bogor, sebelum diberangkatkan menuju Selandia Baru melalui Pantai Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Selanjutnya pada 30 April 2015, kapal yang dibeli oleh Kapten Bram telah siap buat berlabuh menuju Selandia Baru. Arman Johanis, sang perekrut ABK kapal berlambung Andika, memberangkatkan kapal melalui Pelabuhan Perikanan, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Kapal bercat merah putih sepanjang 20 meter dan lebar 6 meter itu pun dikomandoi Yohanis Humiang menuju Pantai Cidaun.
Kapal sempat mengapung berhari-hari di Cidaun sambil menunggu para imigran tiba di Cianjur. Pada 5 Mei, kapal pun besiap melakukan perjalanan ke Selandia Baru. Sekitar pukul empat pagi, 65 imigran asal Bangladesh, Myanmar, dan Sri Lanka itu satu persatu menaiki kapal Andika. Arman Johanes lah orang yang mengkoordinir para imigran itu untuk naik kapal. Dia juga mempersiapkan logistik untuk perjalanan menuju Selandia Baru.
Menjelang matahari terbit, kapal berlayar menuju Selandia Baru. Yohanis sebagai kapten kapal Andika mengambil rute perairan Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, untuk selanjutnya saat sampai di perairan Rote bagian selatan.
Pada 17 Mei, kapal pembawa imigran gelap memasuki perairan Timor Leste. Kapal dicegat oleh custom speadboad Australia. Petugas pun memberikan peringatan kepada kapal Andika.
“Anda tidak bisa memasuki atau tiba di Australia jika Anda tidak memiliki visa atau dokumen yang lengkap,” demikian peringatan otoritas Australia seperti dikutip Tirto dari dokumen persidangan terdakwa kapten kapal Yohanes Humiang. Otoritas Australia pun meninggalkan kapal yang memuat imigran itu tanpa melakukan tindakan.
Peringatan itu membuat kapal Andika bertolak ke arah timur menuju Selandia Baru. Selama dua hari usai pertemuan kapal pembawa imigran dengan otoritas Australia, kapal itu memasuki perairan Laut Aru dan meninggalkan perairan Indonesia.
Nahas, kapal pembawa imigran itu dipergoki Angkatan Laut dan Bea Cukai Australia dan kemudian digiring menuju Pulau Darwin, Australia. Para imigran dan awak kapal pun diinterogasi otoritas Australia. Dalam interogasi itu, para awak kapal Andika diminta membawa kembali para imigran ke perairan Indonesia.
Setelah interogasi sehari di Darwin, Australia, ke-65 imigran itu disuruh menumpang dua kapal yang disediakan oleh otoritas Australia untuk kembali ke perairan Indonesia. Kedua kapal itu bernama Jasmine dan Kanak. Ukuran kedua kapal sepanjang 15 meter dan lebar 4 meter. Para imigran berikut ABK Kapal Andika itu pun bertolak ke Indonesia. Mereka diberi bahan bakar terbatas untuk sampai ke perairan Indonesia.
Selama sehari di perjalanan, kapal Jasmine kehabisan bahan bakar. Para pencari suaka pindah ke kapal Kanak. Hingga akhirnya kapal terdampar di perairan Pulau Landu, Kabupaten Rote Ndau, Nusa Tenggara Timur.
Dalam dokumen persidangan, terungkap bahwa sebelum bertolak ke Indonesia, otoritas Australia memberikan uang kepada awak kapal masing-masing $5.000.
“Bea Custom Australia memberikan uang sejumlah US$ 5000 per orang ABK,” tulis dokumen persidangan.
Terdamparnya kapal penyelundup imigran itu pun membongkar skandal suap serta aktor di balik penyelundupan manusia, yakni otoritas Bea Cukai Australia dan Kapten Bram.
Sejak saat itu, Kapten Bram kembali menjadi buruan Kepolisian. Setelah mengejar selama setahun, pada Jumat, 23 September lalu, Kapten Bram dibekuk di kediamannya di kawasan perumahan Taman Semanan, Jakarta Barat. Ketika ditangkap, Kapten Bram baru saja singgah di Indonesia.
Tarik Urat Jakarta - Canberra
Gara-gara penyuapan yang dilakukan Bea Cukai Australia, hubungan Jakarta dan Canberra memanas. Kasus penyuapan itu pun sampai ke telinga Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Kala itu, Retno mengkritik sikap pemerintah Australia yang enggan memberikan pernyataan terkait dugaan suap yang dilakukan otoritas Australia.
Pada 20 Juni 2015, Duta Besar Australia untuk Indonesia, Paul Grigson, melakukan pertemuan dengan Menlu Retno. Kepada Retno, Paul mengatakan tindakan menghentikan kapal memuat imigran itu dibenarkan secara hukum. Namun dia enggan berbicara mengenai dugaan suap oleh otoritas Australia kepada para ABK pembawa imigran.
Tidak hanya Paul Grigson. Perdana Menteri Australia Tony Abbott enggan menanggapi skandal suap melibatkan Bea Cukai negaranya. Namun secara tersirat, Abbott mendukung apa yang dilakukan pejabatnya atas tindakan yang dilakukan kepada para manusia perahu. Reaksi itu pun menuai kritik dunia internasional. Australia dianggap menyalahi aturan konvensi pengungsi PBB tahun 1951 yang telah diratifikasi negeri Kanguru itu.
Dugaan skandal suap oleh otoritas Australia diperkuat hasil penyelidikan Badan Pengungsi PBB, UNHCR. Dalam laporannya, UNHCR menemukan ada penyuapan oleh otoritas Australia kepada para ABK pembawa 65 imigran asal Bangladesh, Sri Lanka, dan Myanmar. Laporan diperoleh setelah mereka mewawancarai 65 imigran.
Tanggapan paling menyakitkan terkait skandal suap otoritas Australia itu justru datang dari Mantan Menteri Imigrasi Philip Murdoc. Kepada Sidney Morning Herald, Murdoc mengatakan negaranya justru menghemat jika benar otoritas Australia menyuap para ABK.
“Jumlah uang yang diduga dibayarkan sangat kecil jika dibandingkan dengan biaya pengelolaan ribuan imigran gelap yang diselundupkan ke Australia,” ujar Murdoc.
Kini, isu dugaan suap otoritas Australia itu kembali menyeruak. Sejak penangkapan Kapten Bram, pemerintah Australia mengirim polisi untuk menyelidiki kasus skandal suap ini.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti