Menuju konten utama

Terhentinya Jejak Kapten Bram, Gembong Penyelundup Manusia

Abraham Louhenapessy ditangkap pihak Kepolisian Indonesia. Sudah tiga kali ia menyelundupkan manusia ke daratan Australia. Pada 2015 ia gagal menjalankan misi saat 65 pencari suaka terdampar di Pulau Rote.

Terhentinya Jejak Kapten Bram, Gembong Penyelundup Manusia
Kapal asing yang mengangkut imigran Sri Lanka diterjang gelombang besar saat lego jangkar di perairan pantai Lhoknga, Aceh Besar, Aceh, Minggu (12/6). Akibat kondisi cuaca buruk dan gelombang besar, dua kapal nelayan yang digunakan aparat keamanan gagal menggiring kapal asing yang mengangkut sebanyak 40 imigran tersebut dari peraian Aceh Besar ke perairan bebas menuju Australia. Antara foto/ampelsa

tirto.id - Kapten Bram, sapaan Abraham Louhenapessy, baru saja tiba di Indonesia setelah bepergian ke beberapa negara. Sudah setahun lebih lelaki berkulit gelap itu dicari aparat berwajib karena menjadi otak penyelundupan para pencari suaka ke Australia dan Selandia Baru.

Baru sehari tinggal di kediamannya di Perumahan Taman Semanan Indah, Jakarta Barat, Kapten Bram dibekuk Tim Gabungan Subdit III Direktorat Tindak Pidana Umum (Ditipidum) Markas Besar Polri. Bram diboyong ke Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan untuk kemudian diterbangkan ke Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.

“Kasusnya di Polres Rote Ndao,” ujar Brigadir Kepala Subarkah, anggota kepolisian yang menangkap Bram, saat berbincang dengan Tirto di kantornya, Selasa, 4 Oktober lalu.

Jejak Kapten Bram sebagai penyelundup para pencari suaka memang sudah tersohor. Kapten Bram merupakan gembong sindikat penyelundup manusia internasional. Sudah tiga kali ia dijerat kasus yang sama. Pada 2007, Kapten Bram pernah ditangkap atas pelanggaran keimigrasian. Dua tahun setelahnya, ia kembali berurusan dengan kepolisian karena membawa 255 imigran asal Sri Lanka dan Bangladesh di Pelabuhan Merak.

Ia hanya menjalani hukuman 18 bulan penjara. Setelah itu Kapten Bram kembali beraksi. Ia menyelundupkan 65 pencari suaka melalui kapal dari Tegal, Jawa Tengah, menuju Selandia Baru. Namun, kapal yang memuat manusia perahu itu terdampar di Pulau Rote setelah dipukul mundur otoritas perairan Australia.

“Dia memang yang mengendalikan,” ujar Subarkah.

Jejak kejahatan Kapten Bram menyelundupkan pencari suaka, termasuk pengungsi, melalui perairan Indonesia untuk menuju Australia dan Selandia Baru sudah berlangsung lama. Menurut data Kepolisian, Kapten Bram sudah menyelundupkan sekitar 1.000 pencari suaka sejak 1999. Dalam menjalankan aksi, Kapten Bram berkoordinasi dengan sindikat penyelundup manusia di Sri Lanka. Dia kemudian membawa pencari suaka dan imigran itu masuk ke perairan Indonesia melalui Malaysia, lantas singgah di Sumatera.

Di Indonesia, para pencari suaka itu ditampung sambil menunggu kapal yang dipersiapkan menuju Australia dan Selandia Baru. Dalam kasus penyelundupan tahun 2015, Kapten Bram membawa para imigran dan pencari suaka melalui pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Ongkos masuk ke Indonesia dan menuju negara tujuan ditentukan oleh Kapten Bram. Setiap imigran diminta membayar $4.000 (Rp52 juta) sampai $6.000 (Rp78 juta).

“Mereka menunggu dan kemudian dibawa menggunakan kapal menuju Selandia Baru,” tutur Subarkah.

Makelar di Balik Layar

Direktur Tindak Pidana Umum Markas Besar Polri, Komisaris Besar Sulistiyono, mengatakan Kapten Bram bukanlah orang baru dalam penyelundupan manusia ke Australia dan Selandia Baru.

Kapten Bram, kata Sulistiyono, merupakan gembong sindikat penyelundupan manusia yang bekerja mengatur dan mencari para pencari suaka yang ingin masuk ke Australia dan Selandia Baru dengan cara ilegal. Bram mengatur lokasi penampungan hingga menentukan rute perairan yang bisa dilintasi untuk singgah ke Australia, termasuk Selandia Baru.

Menurut Sulistiyono, Bram mendapat order untuk menyelundupkan para pencari suaka dari Suresh, seorang warga negara Sri Lanka yang menjadi rekanan Kapten Bram dalam menyelundupkan manusia.

“Orang ini (Kapten Bram) begitu licin. Ketika kita tahu dia ada di Indonesia, kita langsung bergerak,” ujar Sulistiyono ketika ditemui di ruang kerjanya, Rabu, 5 Oktober lalu.

Masih menurut Sulistiyono, Kapten Bram menentukan titik suplai bahan bakar kapal, termasuk logistik yang diperlukan para pencari suaka.

Pada 2015, Kapten Bram memberangkatkan 65 pencari suaka asal Myanmar dan Bangladesh untuk bertolak ke Selandia Baru. Kapal itu diberangkatkan dari Pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Namun, ketika melintas di perairan Selandia Baru, kapal diusir aparat setempat untuk kembali ke Indonesia.

Di tengah perjalanan, kapal yang dibeli Rp600 juta itu pun tenggelam. Para pencari suaka yang menyelamatkan diri dengan sekoci kemudian ditolong oleh warga di Pulau Rote. Terdamparnya para pencari suaka itu mengungkap nama Kapten Bram sebagai otak di balik penyelundupan.

Dari hasil penyelidikan, dalam sekali operasi penyelundupan para imigran dan pencari suaka, Kapten Bram memperoleh untung Rp1,6 miliar. Uang dibayarkan oleh Suresh, otak penyelundupan di Myanmar. Dalam menjalankan aksinya, Kapten Bram berkoordinasi dengan sindikat yang telah lebih dulu dibekuk. Mereka adalah Vishvanathan Thineshkumar alias Kugan (warga negara Sri Lanka) yang bertugas sebagai koordinator pendanaan, serta Abadul (warga negara Bangladesh) sebagai koordinator imigran Bangladesh.

Pada Juli 2015, Thines Kumar ditangkap Bareskrim kemudian diserahkan ke Polres Rote Ndao. Sedangkan Abadul berhasil ditangkap pada Juli 2016 di daerah Ciomas, Bogor. “Dia dapat Rp1,6 miliar,” kata Sulistiyono.

Buruan Australia

Penangkapan Kapten Bram membuat Pemerintah Australia mengapresiasi kinerja Kepolisian Republik Indonesia di bawah Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Kepada kantor berita Reuters, Menteri Imigrasi Australia Peter Dutton mengatakan, Kapten Bram ialah pemain utama dalam sindikat penyelundupan manusia di Indonesia.

"Kami tahu bahwa Kapten Bram merupakan pemain utama dalam jaringan penyelundupan manusia di seluruh Indonesia dan kami mengucapkan selamat kepada Polisi Nasional RI atas tekad mereka untuk menghentikan penjahat ini membahayakan nyawa orang-orang rentan lainnya," ujar Dutton.

Belakangan, penangkapan Kapten Bram membuka skandal penyuapan yang dilakukan oleh bea cukai Australia kepada awak kapal. Sejak Bram ditangkap, Kepolisian Federal Australia bertemu dengan pihak berwenang Indonesia untuk membicarakan kasus ini.

“Kita butuh satu tahun menangkap Kapten Bram dan Australia pun mengapresiasi kami,” ujar Sulistiyono.

Kasus penyuapan terungkap ketika anak buah kapal Kapten Bram ditangkap Kepolisian Resort Rote Ndao, pada akhir Mei 2015. Dari hasil pemeriksaan itu, diketahui jika Pemerintah Australia membayar ribuan dolar kepada kapten kapal bernama Yohanes. Ketika itu, Yohanes membawa kapal bermuatan penuh 65 orang pencari suaka asal Bangladesh, Sri Lanka, dan Myanmar menuju Selandia Baru. Ketika mereka melintas di perairan Australia, kapal pencari suaka itu dicegat Angkatan Laut dan Bea Cukai Australia.

Kapal dipukul mundur setelah kapten beserta anak buahnya diberi uang senilai Rp398,5 juta. Uang itu diberikan penjaga pantai Australia yang mencegat kapal imigran. Akibat kasus ini, sempat terjadi ketegangan antara Pemerintah Indonesia dan Australia yang membuat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi harus turun tangan.

Baca juga artikel terkait PENYELUNDUPAN MANUSIA atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho