Menuju konten utama

Sjahrir, Malari, dan Sang Pusaran Air

Saat ditahan sejak 17 Januari 1974, Sjahrir sebenarnya tengah menunggu keberangkatan ke Amerika Serikat. 

Sjahrir, Malari, dan Sang Pusaran Air
Peristiwa Malari. FOTO/Information Ministry, Republic of Indonesia/wikipedia

tirto.id - Saat ditahan sejak 17 Januari 1974, Sjahrir sebenarnya tengah menunggu keberangkatan ke Amerika Serikat. Ia diterima kuliah pasca-sarjana di Kennedy School of Government di Harvard University.

Peristiwa Malari meletus dua hari sebelumnya. Ratusan tokoh seperti Mochtar Lubis, Soedjatmoko, Rahman Tolleng, Marsillam Simanjuntak, Adnan Buyung Nasution, dan Prof Sarbini Sumawinata hanya ditahan beberapa bulan atau menjalani interogasi beberapa kali.

Berbeda dengan mereka, bersama Ketua Dewan Mahasiswa UI Hariman Siregar dan aktivis mahasiswa UGM Aini Chalid, Sjahrir diadili.

“Saya dikatakan bersalah karena membangkitkan atau menyulut mahasiswa untuk bergerak. Ceramah-ceramah itu dilakukan pada masa-masa sebelum Peristiwa Malari. Isinya ya kritik terhadap strategi pembangunan pemerintah,” kata Sjahrir dalam buku Menyambut Indonesia: Lima Puluh Tahun dengan Ford Foundation 1953-2003.

Ia sudah lulus dari Fakultas Ekonomi UI. Masih sering beredar di kampus karena menjadi asisten Prof Sarbini. Juga menjadi pemimpin Grup Diskusi UI (GDUI). Usianya menjelang 30. Saat mahasiswa Sjahrir pernah menjadi Sekjen Senat Mahasiswa FE UI dan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Jakarta.

Rumor yang kuat berembus adalah GDUI menjadi “dapur” yang memasok isu-isu strategis untuk Dewan Mahasiswa UI yang dipimpin Hariman. Di lapangan, Hariman yang paling depan. Di garis belakang, ada Sjahrir dan teman-teman.

Demo mahasiswa pada 15 Januari 1974 itu mengusung isu penolakan pada dominasi modal asing. Isu ini jelas sangat dikuasai Sjahrir yang belajar ekonomi – bandingkan dengan Hariman yang kuliah kedokteran. Aksi digelar ketika PM Jepang, Kakuei Tanaka, mendarat di Jakarta.

Unjuk rasa berakhir dengan kerusuhan – kuat dugaan ada para preman yang dikerahkan untuk mendiskreditkan mahasiswa. Belasan orang meregang nyawa. Ratusan mobil dan bangunan, temasuk Pasar Senen, terbakar. Orde Baru menganggap sejumlah orang harus bertanggung jawab. Termasuk Sjahrir.

“Saya tidak tahu siapa yang punya ide menangkap saya tapi peranan dua jenderal, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, saat itu sangat besar terhadap penahanan kawan-kawan dan saya,” ujar Sjahrir yang akrab disapa Ciil ini.

Dalam pleidoi yang dibacakan pada 7 April 1975 di PN Jakarta Pusat, Sjahrir menegaskan tidak paham mengapa dirinya harus menjalani proses hukum. Ia menyatakan, kegiatan-kegiatan di GDUI adalah bagian dari kehidupan akademis untuk selalu berpikir, mencari jalan keluar dari aneka persoalan masyarakat. Namun, jaksa penuntut umum malah memosisikannya sebagai pelaku subversi.

Pada bagian lain pleidoi, Sjahrir membentangkan pengamatannya pada situasi terkini. Orde Baru berkuasa dan pembangunan ekonomi dilaksanakan namun sejumlah masalah dasar tidak terlihat solusinya. Yaitu, penyediaan lapangan kerja, distribusi pendapatan yang lebih merata, praktik korupsi yang merajalela.

“Sebagai warga negara yang menggunakan posisi ketidakterbungkamannya, saya telah berusaha memberikan peringatan-peringatan, berusaha meyakinkan semua pihak, bahwa masalah-masalah korupsi, pengangguran, dan pemerataan kekayaan bukan masalah yang bisa dinomorduakan,” tulis Sjahrir.

Seharusnya, kebijakan ekonomi membuka jalan bagi para pengusaha dan pedagang kecil untuk berkembang. Diperlukan jatah kredit yang lebih besar untuk mereka dari yang dialokasikan saat itu. Para petani juga harus dibimbing dan didorong meraih kesejahteraan.

Ia pun melontarkan kritik keras pada praktik otoritarianisme penguasa yang alergi kepada kritik, penuh curiga kepada rakyat dan kaum muda, menuduh kampus-kampus telah menjadi sarang pengkhianat, dan menyamakan penyampaian pendapat dengan kegiatan subversi.

“Tetapi betapa pun tebalnya awan mendung, betapa pun beratnya tugas, arus besar sejarah tidak akan bisa dibalikkan, pada akhirnya pasti menuju pada pembebasan manusia seutuhnya,” tulis Sjahrir pada bagian akhir pleidoi yang dimuat ulang dalam Pikiran Politik Sjahrir (1994).

Dia Akan Menang Suatu Waktu

Pada Juni 1975, majelis hakim menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara buat Sjahrir. Aini Chalid divonis 2 tahun 2 bulan. Pada akhir 1974, vonis untuk Hariman lebih dulu jatuh dan sama dengan Sjahrir, yaitu 6 tahun 6 bulan.

Mereka bertiga ditahan di rumah tahanan Nirbaya, Jakarta Timur. Di sana ada juga para tahanan G30S seperti Soebandrio, Omar Dhani, Oei Tjoe Tat, dan Pranoto Reksosamodra.

Sjahrir akrab dengan para orang tua tersebut. Menurut Hariman, dia pandai dan luwes bergaul. Para tahanan G30S itu menjadikan Sjahrir sebagai tempat bertanya sejumlah persoalan.

Kepandaiannya dalam bahasa Inggris juga dipakai untuk mengajar anak-anak pegawai Nirbaya. Waktu-waktu lain digunakan Sjahrir untuk berolah raga atau mengaji.

“Dia tahu, dia benar. Dia tahu, dia akan menang suatu waktu. Jadi, tidak ada perasaan kecil hati. Dia selalu berbesar hati,” kenang Hariman saat diwawancara tim penyunting untuk buku Ciil (2010).

Saat di penjara itu juga Sjahrir melamar Nurmala Kartini Pandjaitan atau biasa disapa Ker, mahasiswa Antropologi UI angkatan 1968. Ker sebelumnya jauh lebih dekat dengan tokoh mahasiswa lain, yaitu Soe-Hok Gie. Lebih muda tiga tahun, Sjahrir bersahabat dengan Gie. Keduanya sama-sama aktif di GDUI.

Sikap Ker berbeda kepada keduanya. Akrab dengan Gie, Ker sebal dengan Sjahrir yang saat itu sudah terlihat naksir. Sebal karena gaya ngomong yang ceplas-ceplos, sinis, dan emosional.

“Saya heran kenapa kamu (baca: Soe Hok Gie) suka memuji-muji Ciil sebagai orang baik, pintar, dan jago diskusi. Baiknya di mana ya? Di kampus FS-UI, dia hanya sibuk diskusi melulu sama orang-orang,” tulis Ker dalam Surat Terbuka Ker untuk Gie (2009).

Meski sebal, Ker dan Sjahrir tetap berteman. Sjahrir yang jago statistik mengajari Ker di Perpustakaan FS-UI. Akhirnya, nilai memuaskan untuk mata kuliah statistik diraih adik Luhut Binsar Pandjaitan tersebut.

Pas Sjahrir ditangkap, Ker sedang berupaya menyelesaikan skripsi. Ketika Ker lulus, Daniel Dhakidae mengajaknya menjenguk ke Nirbaya. Semula Ker ogah, tapi Daniel mengingatkan: pria kelahiran Kudus 24 Februari 1945 itu banyak berjasa buat kuliah Ker.

Saat bertemu, gaya Sjahrir tidak berubah. Ia mengucapkan selamat dan bilang, “Siapa bilang elu gak bisa jadi sarjana. Elu kan cuman males aja. Maunya pacaran dan pesta melulu. Mane cowok-cowok elu kagak ada yang bermutu…”

Sjahrir datang melamar dikawal seorang perwira militer. Usaha ini membuahkan hasil: lamaran diterima keluarga Ker. Sang mama terpukau dengan anak Minang yang pintar…dan banyak makan itu. Padahal, Ker sendiri gamang untuk beberapa waktu.

Akhirnya Ker luluh dan bersedia. Sjahrir dibebaskan pada Desember 1977. Pemerintah Orde Baru sedikit melunak dan ia tak perlu menjalani sisa dua tahun masa tahanan. Mereka bersanding di pelaminan tanpa pernah pacaran.

Tujuh bulan setelah menikah, pasangan ini berangkat ke Negeri Paman Sam. Sjahrir segera mulai kuliah di Harvard. Sementara, Ker diterima di Cornell University.

“Bagusnya Harvard dan Ford Foundation, yang membiayai program saya, tetap memberi kesempatan kepada saya. Saya keluar penjara akhir 1977, menikah dan pergi ke Cambridge, kuliah di Harvard,” ujar Sjahrir dalam buku Menyambut Indonesia: Lima Puluh Tahun dengan Ford Foundation 1953-2003.

Pada 1983, Sjahrir diwisuda sebagai Ph.D di bidang ekonomi dan ilmu pemerintahan. Lalu, namanya berkibar sebagai akademisi, konsultan, kolumnis prolifik, dan terakhir sebagai pendiri Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB). Ker pernah menjadi Dubes RI untuk Argentina, Paraguay, dan Uruguay (2010-2014).

Dari kacamata Ker, Sjahrir adalah pendobrak dan seperti pusaran air. Energi besar itu berhenti pada 28 Juli 2008, 34 tahun setelah Malari. Sjahrir wafat di Singapura setelah sakit beberapa lama.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Mild report
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono