tirto.id - Sebuah mobil Toyota Land Cruiser hampir menabrak mobil milik Leila Nazgul Seiitbek yang sedang melaju di jalan Kota Bishkek, Kirgistan. Beberapa di mobil itu memaksa Seiitbek untuk menepi. Seiitbek yang sedang bersama suami dan anaknya berusia empat tahun itu akhirnya menghentikan laju kendaraan.
Dalam waktu yang begitu cepat, keluar empat orang dengan senjata di tangan dari mobil Land Cruiser. Mereka mencoba menerobos masuk ke dalam mobil Seiitbek. Aksi komplotan beringas yang mencolok perhatian mengundang beberapa mobil lainnya mendekat. Lantaran tak ingin menarik perhatian orang sekitar, empat orang itu pergi. Setelah kejadian itu, rumah Seiitbek sering diawasi orang-orang tak dikenal. Seiitbek sekeluarga akhirnya memilih hengkang dari Kirgistan ke Tajikistan pada 8 Juni 2016.
Aktivitas Seiitbek yang rajin membantu warga Kirgistan menyelidiki raibnya uang yang telah mereka bayarkan untuk membeli sepetak rumah di sebuah desa dekat Bishkek diduga menjadi pemicu teror yang menimpanya dan keluarga.
Baca juga: Konflik Agama Jadi Dalih Kasus Perebutan Lahan di Myanmar
Seiitbek adalah pengacara, aktivis, dan pendiri Yayasan Publik Blago.kg yang membantu orang-orang miskin, termarginalkan dan siapapun yang diabaikan negara sejak 2012. Profesi aktivis cukup berisiko di Kota Bishkek. Walaupun negara itu dijuluki “Island of Democracy” di Asia Tengah, pemerintah akan membungkam siapapun yang dianggap membangkang dengan berbagai cara.
LaporanKyrgyzstan at a Crossroads: Shrink or Widen the Scene for Human Right Defenders mengungkapkan, pemerintah setempat juga membatasi ruang gerak pers dengan membuat kebijakan bahwa pemberitaan yang dinilai mengandung hasutan dapat dikenai denda mulai dari 1.000 dolar AS hingga 400.000 dolar AS, termasuk hukuman kurungan penjara selama tiga tahun.
Program Rumah Murah dan Korupsi
Hak atas tanah dan hunian adalah salah satu tema perdebatan sejak Kirgistan merdeka dari Uni Soviet pada 1991. Perdebatan ini masih sering terjadi di pinggiran Kota Bishkek sebagai ibu kota. Di bawah hukum Kirgistan, negara harus memberi sebidang tanah secara cuma-cuma untuk tiap warga negara. Namun migrasi penduduk dari desa ke kota demi penghidupan yang lebih baik membuat pinggiran kota jadi sesak.
Sengketa lahan pun marak. Pemerintah pun tak begitu mempedulikan para “pemukim liar” sehingga tak jarang mereka turun ke jalan, membakar ban untuk menarik perhatian pemerintah guna menyelesaikan masalah tersebut. Pada 2010, sekitar 163 hektar lahan pertanian disebut-sebut akan dialihfungsikan pemerintah menjadi proyek perumahan murah bagi warga di Novo Pokrovka. Proyek itu juga diawasi oleh pemimpin setempat, Nurmahammat Bayakhunov.
Ratusan warga setempat lalu meminta bantuan asosiasi publik bernama Nur Kuch yang diketuai Nurlan Usenov, untuk mewakili tuntutan mereka mendapatkan rumah murah. Rencana pembangunan yang mulai digaungkan segera disambut warga yang mulai mengumpulkan uang. Lebih dari 1.000 orang mulai mengucurkan 200 dolar AS hingga 2.000 dolar AS. Bahkan jumlah keseluruhan yang terkumpul di Nur Kuch diperkirakan mencapai 800.000 dolar AS.
Pada 2015, impian warga memiliki sebuah rumah nampaknya segera jadi kenyataan setelah Bayakhunov dan Usenov sepakat bahwa setengah dari 163 hektar lahan akan menjadi milik warga dengan tanda bukti dari pihak warga yang diwakilkan Usenov berupa uang sekitar 200.000 dolar AS. Akan tetapi dalam proses selanjutnya Usenov dan Bayakhunov menggelapkan dana, sehingga mimpi rumah murah mereka pun buyar. Merasa dicurangi, warga meminta bantuan Seiitbek yang berprofesi sebagai pengacara.
Baca juga:Hukuman yang Pantas bagi Koruptor
Seiitbek langsung memobilisasi dan mengorganisasi demonstrasi menyampaikan tuntutan para warga kepada pemerintah. Belum ada kejelasan soal dana warga tersebut, saat kasus penggelapan uang warga itu ditutup pemerintah pada Desember 2016. Lalu Bayakhunov malah terpilih dan duduk di parlemen mewakili Partai Demokrasi Sosial Presiden (SDPK). Pihak SDPK menolak berkomentar mengapa memilih Byakhunov duduk di parlemen meski sebelumnya terkena skandal penggelapan uang.
Dalam penelusuran Seiitbek, ia menemukan bahwa uang yang berasal dari warga digunakan untuk memasukkan Bayakhunov ke SDPK. Ada juga indikasi hubungan antara Nur Kuch dengan pembelian suara dari SDPK dalam pemilihan parlemen pada 2015. Warga yang kehilangan dana pada dasarnya tergiur dengan diiming-imingkan rumah murah oleh calon anggota parlemen. Namun setelah duduk di parlemen, janji akan rumah murah diabaikan.
Tragisnya, dalam pernyataan Dewan Umum Kirgistan, program rumah murah ternyata hanya untuk segelintir warga yang berpenghasilan tinggi dan tak dapat diakses oleh guru, polisi, atau warga negara yang berpenghasilan di bawah rata-rata nasional, apalagi warga biasa yang berada di garis kemiskinan. Padahal tanah yang digunakan untuk membangun proyek perumahan seharusnya milik warga. Akan tetapi warga sulit mengklaim lahan tersebut akibat kentalnya korupsi antara pemerintah dan kaum elit serta birokrasi yang berbelit-belit.
Menurut Seiitbek, kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana korupsi merajalela di negara tersebut dan terus menggerogoti sistem politik yang menjauhkan warga dari kesejahteraan di Kirgistan. Pada 2016 Kirgistan mendapat poin rendah untuk negara yang bebas korupsi yaitu 28 dari 100 poin serta berada di posisi 136 dari 176 negara, menurut laporan Transparancy International dalam laporan Corruptions Perceptions Index.
Hal itu menyebabkan hingga saat ini menurut laporan Habitat for Humanity yang bergerak menjadi penyandang dana untuk membantu warga Kirgistan, mengungkapkan bahwa 70 persen dari warga di negara itu hidup di rumah yang tak layak huni atau tunawisma. Hingga Oktober 2016, program rumah murah 2015-2020 yang dicanangkan pemerintah baru di bawah "National Mortgage Company" baru dirasakan oleh 384 warga.
Baca juga: Siapa yang akan Menikmati DP Nol Persen di Jakarta
Hingga saat ini dana warga tersebut seperti ditelan bumi. Pergerakan media dan aktivis juga sangat sempit dan penuh teror membuat korupsi terus berjalan dan warga Kirgistan tetap hidup di rumah yang tak layak huni. Program rumah murah memang sangat menjual, tak hanya di Kirgistan, juga di Indonesia. Gagasan rumah murah selalu laris manis untuk dijual oleh para penguasa. Namun, bisa menjadi pahit seperti di Kirgistan.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf