Menuju konten utama

Simbol yang Terlewatkan dari Rupiah Baru

Sebelas pecahan uang baru telah dirilis Bank Indonesia (BI), bertepatan dengan Hari Bela Negara 19 Desember. Emisi baru rupiah tak hanya sebagai simbol kedaulatan negara, juga untuk mengakomodir pahlawan nasional dari berbagai belahan pulau di Nusantara.

Simbol yang Terlewatkan dari Rupiah Baru
Masyarakat menukarkan uang pecahan rupiah baru di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Senin, (19/12). [Tirto/Andrey Gromico]

tirto.id - Bunyi sirine meraung memecah salah satu ruangan di Gedung Thamrin, Bank Indonesia (BI) saat Presiden Jokowi, Gubernur BI Agus Martowardojo, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menekan tombol sebagai tanda Peresmian Pengeluaran dan Pengedaran Mata Uang Rupiah Tahun Emisi 2016. Di layar besar muncul tampilan gambar rupiah yang ditunggu-tunggu, dan beberapa orang dengan pakaian adat membawa replika besar tujuh pecahan uang kertas, dan empat pecahan uang logam terbaru yang menampilkan 12 pahlawan nasional.

Warna merah muda, hijau muda, oranye, ungu, biru muda, hingga abu-abu dan desain yang lebih segar mendominasi uang kertas rupiah NKRI yang resmi diluncurkan hari ini (19/12/2016). Selain menampilkan wajah-wajah para pahlawan nasional, gambar keindahan alam Indonesia seperti Kepulauan Raja Ampat, Kepulauan Derawan, Banda Neira, Gunung Bromo, Pulau Komodo, Pulau Wakatobi, Ngarai Sianok hingga gambar tarian nasional jadi simbol baru untuk emisi mata uang rupiah 2016.

“Saya tekankan bahwa karena rupiah sebuah ciri khas dan identitas, mari kita semua menjaga martabat dan kedaulatan rupiah di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di seluruh dunia,” kata Presiden Jokowi saat menutup pidatonya.

Emisi rupiah yang baru memang banjir simbol-simbol identitas dan kedaulatan Indonesia, bahkan waktu peluncurannya pada 19 Desember bertepatan dengan hari bela negara, yang dikaitkan untuk memperingati deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) oleh Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat, setelah penangkapan Sukarno dan Hatta oleh Belanda di Yogyakarta pada 19 Desember 1948.

“Rupiah ada simbol kedaulatan negara,” kata Gubernur BI Agus Martowardojo dalam sambutannya.

Peluncuran mata uang rupiah baru secara bersamaan dengan segala simbolnya memang menjadi momen spesial karena kali pertama dilakukan serentak Indonesia merdeka. Namun, tak bisa dipungkiri selain simbol-simbol tadi, politik keterwakilan sangat kental dari kebijakan pengeluaran emisi baru rupiah yang merupakan amanat UU No 7 Tahun 2011 tentang mata uang.

revisi INFOGRAFIK Pahlawan di Muka Rupiah

Politik Keterwakilan

Keputusan Presiden (Keppres) No 31 tahun 2016 tentang penetapan soal gambar pahlawan nasional sebagai tampilan utama pada bagian depan rupiah kertas dan rupiah logam NKRI baru jadi dasar penempatan wajah-wajah pahlawan di emisi baru rupiah. Keppres yang diterbitkan September lalu ini merupakan turunan dari UU No 7 Tahun 2011 yang mengatur gambar utama pada bagian depan rupiah adalah pahlawan nasional dan atau presiden.

Dari beberapa pahlawan nasional itu, ada nama-nama dari pulau asal kelahiran mereka yang selama ini belum terakomodir, seperti Pulau Timor (Rote), dan Papua. Uang baru tak hanya sebagai alat pembayaran dan kedaulatan ekonomi, tapi sebagai bagian dari sikap politik terhadap penjajahan seperti yang disampaikan Hatta 70 tahun lalu. Uang baru juga bagian dari politik keterwakilan untuk merajut kesatuan Indonesia.

Ada beberapa catatan yang menarik dalam uang emisi terbaru yang akan terbit, selain menampilkan 10 sosok baru pahlawan nasional Indonesia. Uang keluaran baru juga menampilkan keragaman asal pulau para tokoh-tokoh pahlawan yang merepresentasikan politik keterwakilan dari Presiden Jokowi. UU No 7 Tahun 2011, Pasal 7 Ayat 3 menyebutkan bahwa gambar pahlawan nasional dan/atau presiden ditetapkan dengan Keppres atau jadi kewenangan presiden langsung.

Bukti politik keterwakilan ini dapat dilihat dari daftar nama pahlawan yang telah ditetapkan, sosok Soekarno dan Mohammad Hatta mewakili masyarakat Jawa dan Sumatera. Djuanda Kartawidjaja yang mewakili Jawa Barat. Juga G.S.S.J. Ratulangi dari Sulawesi Utara.

Tak ketinggalan dengan Papua, pahlawan nasional Frans Kaisiepo bakal muncul di uang baru. Masyarakat Kalimantan juga terwakili oleh sosok Idham Chalid. Ibu kota Indonesia, Jakarta juga terwakilkan dengan sosok Mohammad Hoesni Thamrin. Selain itu ada Aceh, yang relatif para pahlawannya sudah banyak muncul dalam gambar uang, sebentar lagi akan tampil sosok wajah Tjut Meutiah sebagai gambar depan rupiah baru.

Selebihnya ada nama-nama lain seperti I Gusti Ketut Pudja dari Bali, TB Simatupang dari Sumatera Utara, Tjiptomangunkusumo dari Jawa Tengah, dan Herman Johanes dari Rote, Nusa Tenggara Timur. Beberapa tokoh pahlawan dari pulau lain sudah terwakilkan seperti Pattimura yang mewakili Maluku, dalam pecahan uang kertas Rp1.000.

Pertanyaannya, mengapa Sukarno dan Hatta tampil lagi dalam uang pecahan Rp100.000 sebagai pecahan terbesar, atau Djuanda untuk pecahan Rp50.000, atau Herman Johanes untuk pecahan uang logam Rp100? Presiden Jokowi lah yang paling tahu jawabannya. Namun, bila mengacu pada kaidah keterwakilan yang cenderung mengakomodir prinsip proporsional, maka mengaitkan politik keterwakilan dengan jumlah penduduk masing-masing pulau cukup beralasan.

Data sensus penduduk 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Pulau Jawa dan Sumatera memang dua pulau besar dengan penduduk terbanyak di Indonesia, masing-masing Sumatera 50 juta jiwa lebih, dan Jawa sekitar 136 juta jiwa, keduanya mengambil porsi 78 persen dari total penduduk Indonesia. Selain itu, kedua orang itu juga sebagai pendiri negara. Jawa Barat yang berpenduduk 43 juta jiwa lebih merupakan provinsi dengan penduduk terbanyak di indonesia, jadi tak heran mewakili mata uang rupiah dengan pecahan nominal besar Rp50.000.

Selain itu, Sulawesi yang penduduknya sekitar 16 juta jiwa, masih sangat wajar wakilnya menghiasi pecahan Rp20.000, sedangkan Papua yang total penduduknya sekitar 3,5 juta jiwa, sosok Frans Kaisiepo menghiasi uang pecahan Rp10.000.

Politik keterwakilan dalam mata uang rupiah memang relatif masih baru. Berdasarkan perjalanan desain rupiah di Indonesia, gambar tokoh-tokoh pahlawan pada uang belum semasif saat ini, karena terkait regulasi pada masa lalu dan pemerintah yang berkuasa. Pada masa ORI misalnya, sejak 1945 hingga 1951 wajah Presiden Soekarno sering menghiasi gambar utama dalam mata uang.

Baru pada 1952, wajah RA Kartini muncul dalam uang Rp5, sebagai wajah wanita pertama yang ditampilkan dalam mata uang rupiah. Pada 1958, wajah Jenderal Soedirman muncul dalam uang kertas pecahan Rp5, pada waktu itu Soedirman belum berstatus sebagai pahlawan nasional, penetapannya baru terjadi pada 1964. Wajah Soedirman kembali nampak di pecahan Rp1 dan Rp5.000, setelah berselang empat tahun ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Ini juga terjadi dengan Pangeran Diponegoro yang wajahnya menghiasi uang lembaran Rp1.000 pada 1977, setelah empat tahun ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Setelah itu ada pahlawan nasional Teuku Umar dalam pecahan Rp5.000 pada tahun 1986. Nama-nama lainnya ada Sisingamangaraja pada uang Rp1.000 keluaran 1987. Sultan Hamungkubuwono IX pada pecahan Rp10.000 di tahun 1992. Nama lainnya ada Cut Nyak Dien, Ki Hadjar Dewantoro, WR Supratman, Imam Bonjol, Otto Iskandar Dinata, Sultan Mahmud Badaruddin II, I Gusti Ngurah Rai, dan Pangeran Antasari juga hadir di gambar rupiah.

Menetapkan sosok yang menjadi gambar dalam uang merupakan hak presiden. Munculnya tokoh pahlawan nasional di mata uang bisa jadi bakal mendorong kebanggaan masyarakat seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang wakilnya baru muncul di tahun ini. Apalagi dua daerah ini masih punya pekerjaan rumah soal rupiah yang belum berdaulat di kawasan perbatasan dengan negara lain.

Pemilihan pahlawan nasional pada gambar uang rupiah tentunya sudah melalui proses, tapi tak bisa terpisahkan dari politik keterwakilan wilayah, gender, dan pertimbangan lainnya. Namun, perlu ingat juga ada aspek kesejarahan yang juga bisa dipertimbangkan, seperti peranan para menteri keuangan era pertama antara lain A.A Maramis, atau pahlawan nasional yang juga mantan menteri keuangan Sjafruddin Prawiranegara yang terkenal dengan kebijakan “Gunting Sjafruddin” pada rupiah.

Mereka berperan terhadap kelahiran Oeang Republik Indonesia (ORI) yang lahir sejak 30 Oktober 1946, hingga menjadikan rupiah sebagai simbol yang telah menyatukan NKRI sudah 70 tahun lamanya. Sayangnya orang-orang itu terlewatkan di gambar emisi terbaru rupiah 2016.

Baca juga artikel terkait UANG RUPIAH atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti