Menuju konten utama

Silang Pendapat Soal Ucapan Jokowi Respons 'Nyanyian' Setya Novanto

Jokowi dinilai ingin melepaskan diri dari citra petugas partai yang dibentuk PDIP.

Silang Pendapat Soal Ucapan Jokowi Respons 'Nyanyian' Setya Novanto
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibyo (kanan) membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke II Partai Perindo di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (21/3/18). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc/18.

tirto.id - "Negara kita ini negara hukum. Jadi kalau ada bukti hukum. Ada fakta-fakta hukum ya diproses saja. Semua memang harus berani bertanggung jawab."

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan sikapnya saat ditanya wartawan ihwal pernyataan terdakwa kasus korupsi E-KTP Setya Novanto. Jokowi menyampaikannya di gedung Sekretariat Negara Jumat (23/3) pekan lalu.

Di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (22/3), Novanto menyebutkan nama Puan Maharani dan Pramono Anung telah menerima uang masing-masing sebesar $500 ribu dolar dari proyek E-KTP. Informasi ini ia dapat dari pengusaha Made Oka Masagung dan Andi Naragong—yang juga terdakwa kasus e-KTP.

Pernyataan Presiden Jokowi menimbulkan sejumlah tafsir politis. Jokowi dianggap sedang mencitrakan diri sebagai sosok yang independen dan tidak bergantung pada PDIP.

“Jokowi ingin memposisikan sebagai sosok yang independen,” kata peneliti politik dari Lingkaran Survei Indonesia Rully Akbar kepada Tirto, Senin (26/3).

Pernyataan Jokowi dalam konteks ucapan Novanto memang masih normatif tapi ada aspek lain. Saat kader-kader banteng moncong putih pasang badan membela Puan dan Pramono, Jokowi yang "petugas partai" PDIP justru memberi sinyal lain.

Rully menilai Jokowi ingin menunjukkan kepada publik bahwa ia bukanlah petugas partai yang bisa diatur dan disetir oleh PDIP. “Dia ingin menunjukkan [mampu] men-drive dirinya sendiri. Dengan kekuatan dirinya sendiri," ujar Rully.

Sikap Jokowi yang terkesan ingin melepaskan diri dari identitas petugas partai bukan hal baru. Rully mengatakan sejak menjadi presiden Oktober 2014, mantan wali kota Solo ini sudah mengeluarkan kebijakan yang berseberangan dengan PDIP. Sebagai contohnya adalah saat Jokowi menolak usulan PDIP menjadikan Budi Gunawan sebagai kapolri dan menunjuk Luhut Binsar Panjaitan sebagai kepala staf kepresidenan tanpa berkoordinasi dengan PDIP.

Rully menilai pernyataan Jokowi juga bertujuan mengamankan citra dirinya di hadapan publik. “Ketika Jokowi membela kader PDIP [yang berpotensi bermasalah] maka dia sama saja merugikan dirinya sendiri,” kata Rully.

Ia mengatakan jika KPK merespons pernyataan Jokowi dengan memeriksa Puan dan Pramono maka akan merugikan PDIP. Sebab Puan dan Pramono merupakan ikon PDIP selain Megawati.

Saat kasus proyek E-KTP bergulir, Puan menjabat sebagai ketua fraksi PDIP DPR-RI sekaligus Ketua DPP Bidang Politik DPP PDIP. Sedangkan Pramono Anung menjabat sebagai Wakil Ketua DPR. Sekarang Puan menjabat sebagai menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan, sementara Pramono menjabat sebagai sekretaris kabinet.

Pakar Komunikasi Politik UIN Jakarta, Iding Rasyidin menyatakan PDIP tidak perlu merespons keras pernyataan Jokowi. "Itu akan mengindikasikan Puan dan Pramono memang terlibat," kata Iding kepada Tirto.

Menurut Iding, respons keras akan membuat Jokowi semakin menjauh dari PDIP dan tak bisa mengklaim lagi sebagai partai yang memiliki Jokowi. “Jadi PDIP lebih baik mendukung sikap Jokowi saja,” kata Iding.

Pernyataan Jokowi mendapat respons partai politik seperti Partai Demokrat. Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat Amir Syamsudin mendukung pernyataan Jokowi. "Memang seharusnya begitu," kata Amir kepada Tirto.

Menurut Amir, sebagai pemimpin negara sudah sewajarnya Jokowi mendukung upaya pemberantasan korupsi tanpa tebang pilih. Amir menilai sikap Jokowi justru upaya menyelamatkan Puan dan Pramono dari opini publik yang negatif.

"Agar jangan kedua orang tersebut merasa terhakimi," kata Amir.

Amir meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus ini sampai tuntas, sehingga fakta yang sebenarnya bisa terungkap ke publik. “Seberapa pun kalau fakta itu dianggap lemah atau minim, adalah tugas dari KPK untuk mengusut hal tersebut agar orang yang disebut namanya tidak tersandera,” kata Amir.

Di sisi lain, Amir meminta agar PDIP membiarkan KPK bekerja mengusut kasus dugaan aliran dana proyek E-KTP kepada Puan dan Pramono ketimbang sibuk membela diri.

Sementara itu, Ketua DPP PDIP, Andreas Pareira menegaskan pernyataan Jokowi saat dimintai tanggapan dalam konteks "nyayian" Novanto adalah masalah interpretasi.

"Enggak. Pak Jokowi enggak bilang begitu (harus usut Puan dan Pramono). Itu interprestasi kalian (wartawan) saja," kata Andreas Pareira, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (26/3/2018).

Anggota Komisi III F-PDIP Arteria Dahlan juga menegaskan inti dari pernyataan Jokowi adalah pengusutan hukum sesuai dengan fakta hukum. Menurutnya, pernyataan Setya Novanto bukan fakta hukum, melainkan opini dari terdakwa yang bisa jadi tidak benar.

"Terdakwa kan tidak disumpah seperti saksi. Saksi-saksi itu kan bilang kalau Puan dan Pak Pramono tidak terlibat," katanya.

Saksi yang dimaksud Arteria adalah keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi. Dalam persidangan kasus E-KTP dua minggu lalu, Irvan membantah terdapat dana yang mengalir ke Puan dan Pramono.

Arteria pun yakin Jokowi sangat mempercayai Puan dan Pramono tidak melakukan korupsi. "Enggak mungkin dijadikan menteri kalau dia terkena kasus hukum. Ya beliau sangat mempercayai menteri yang membela beliau," kata Arteria.

Namun, berbeda dengan kedua kader PDIP tersebut, Anggota Komisi III Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu dan Trimedya Panjaitan, serta Sekretaris Fraksi PDIP, Bambang Wuryanto menolak berkomentar terkait pernyataan Jokowi.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Muhammad Akbar Wijaya