Menuju konten utama

Silang Pendapat Menjadikan Kampus Sebagai Panggung Debat Pilpres

Peneliti dan tim sukses merasa debat bisa dilakukan di lingkungan kampus, tapi KPU dan Bawaslu berpandangan dilarang UU Pemilu.

Silang Pendapat Menjadikan Kampus Sebagai Panggung Debat Pilpres
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (23/9). Deklarasi tersebut bertujuan untuk memerangi hoaks, ujaran kebencian dan politisasi SARA, supaya tercipta suasana damai selama penyelenggaraan Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye/18

tirto.id - Silang pendapat soal konsep debat kandidat Pilpres 2019 belum tuntas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI kompak melarang debat kandidat digelar di dalam kampus, tapi pendukung kedua kontestan Pilpres 2019 dan para peneliti memandang agenda itu perlu dilakukan.

Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak tak mempersoalkan jika debat kandidat dilarang digelar di lingkungan kampus. Namun menurutnya, kampus menjadi bagian yang penting jika dilibatkan dalam dinamika politik praktis.

"Masalah tempat bisa disesuaikan. Mengapa saya mengusulkan di kampus? Karena kampus simbol rasionalitas, di mana para cerdik pandai berkumpul dan terbiasa beradu gagasan dan ide menggunakan nalar sehat secara ilmiah," kata Dahnil kepada reporter Tirto, Selasa (23/10/2018).

Dahnil berharap, jika nantinya debat kandidat digelar di lingkungan kampus, para kandidat akan beradu ide dan gagasan. Kemudian, kata dia, akademisi dapat menguji ide dan gagasan tersebut dengan melayangkan pertanyaan. Untuk hadirin yang diundang ke acara debat, Dahnil menyarankan, diisi para terpelajar terpilih, bukan pendukung masing-masing pasangan calon.

"[Jadi] Bukan [diisi] sorak-sorai pendukung," tuturnya.

Pendapat hampir sama dikatakan Wakil Ketua TKN Abdul Kadir Karding. Politikus PKB ini mengatakan, alangkah baik jika debat kandidat pilpres tetap digelar di kampus. Karding beralasan, kampus sebagai lingkungan pendidikan tak boleh dijauhkan dari asupan pendidikan politik yang berfungsi untuk menjadi tempat berdialog, berdebat, membedah visi, misi, program para paslon.

"Ini penting sebagai bagian memperkuat, memperdalam, dan memperkaya gagasan-gagasan dan ide tersebut," kata politikus PKB itu.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Raja Juli Antoni menganggap, format debat kandidat selama ini terlalu formal dan elitis. Dia ingin acara tersebut nantinya digelar di lokasi yang terjangkau masyarakat daerah.

"Saya usul ke KPU agar debat diselenggarakan di desa dengan audiens rakyat biasa, di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Aceh dan Jawa," kata Antoni kepada wartawan.

Sekjen PSI itu menyebut, Jokowi-Ma'ruf sebenarnya siap untuk berdebat dengan format apa pun. Hanya saja, dia berharap, KPU tak menggelar debat seperti format yang sudah-sudah.

Dalam Pilpres 2014 dan beberapa pilkada serentak, debat kandidat biasanya diselenggarakan dengan moderator seorang akademisi atau jurnalis senior. Debat kandidat biasanya terdiri dari beberapa segmen. Pada masing-masing segmen, moderator akan memberi pertanyaan yang harus dijawab masing-masing kandidat, entah secara bergantian atau saling sahut.

"Bila memungkinkan, KPU perlu memodifikasi format dan tempat debat selama diizinkan Undang-undang. Agar visi, misi, dan program paslon tersampaikan secara masif kepada masyarakat di akar rumput," tuturnya.

Polemik Larangan Digelar dalam Kampus

KPU RI telah merinci, debat kandidat akan digelar sebanyak lima kali sesuai UU Pemilu. Namun belum ada pembahasan lebih dalam terkait akan digelar di mana dan format acaranya seperti apa.

"Tetapi yang pasti adalah dalam Peraturan KPU itu kan ada 9 metode kampanye. Salah satu metode kampanye adalah debat capres-cawapres," kata Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan, kemarin (22/10/2018).

"Sementara dalam ketentuan kampanye tidak bisa dilaksanakan di kampus. Sehingga kami perlu mengindahkan aturan itu supaya tidak saling bertabrakan," imbuhnya. Meski begitu para cendikiawan dan akademikus bisa dilibatkan menjadi peserta debat kandidat.

Wahyu menjelaskan, sejauh ini pihaknya sudah mulai mengidentifikasi isu-isu utama, calon panelis, dan narasumber debat kandidat. Nantinya rumusan debat kandidat dibicarakan bersama para pakar pemilu.

Pernyataan Wahyu senada dengan Bawaslu RI. Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo menegaskan, debat kandidat tak bisa digelar di kampus. Dia menyebutkan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu sebagai dasar payung hukum.

Pada Pilkada 2018 lalu, acara debat kandidat digelar di lingkungan Universitas Indonesia. Ratna tidak bisa menjelaskan mengapa acara itu tak disanggah Bawaslu.

"Saya cek yah. Seingat saya, ada kegiatan Metro [TV], Mata Najwa yang dilakukan di kampus tapi tidak untuk kampanye," kata Ratna Dewi kepada reporter Tirto.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menganggap, debat kandidat pilpres harusnya bisa digelar di kampus. Menurutnya Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, tak bisa diartikan secara sederhana untuk melarang debat kandidat di kampus.

"Saya lebih memaknai [larangan] memakai fasilitas pendidikan itu dalam konteks kampanye mandiri. Jadi misalnya calon kampanye di kampus, nah itu tak boleh. Tapi kalau melakukan debat di kampus dalam fasilitas yang dibenarkan dan dengan konsep yang jelas saya kira mestinya tak ada masalah," ujar Titi kepada reporter Tirto.

Menurut Titi, debat kandidat pilpres 2019 harus berubah dari model sebelumnya. Dia menyarankan ada perubahan yang bisa dilakukan.

Pertama, Titi berpendapat agar moderator debat nanti berasal dari sosok non-akademikus atau orang-orang yang bisa mengelaborasi pertanyaan secara cair. Kedua, ia berharap debat kandidat dilaksanakan secara interaktif.

"Ketiga, debat kan akan disebarluaskan TV, radio, dan live streaming. Nah mestinya pemirsa debatnya itu perlu dilibatkan. Misalnya menghadirkan kelompok masyarakat yang berkaitan dengan tema debat," katanya.

"Ketimbang misalnya menghadirkan pendukung para paslon. mereka kan hanya fokus ke yel-yel dan perilaku yang mengintimidasi proses," imbuhnya.

Titi juga berkata, debat kandidat di kampus sebenarnya menjadi hal yang jamak dilakukan di sejumlah negara. Misalnya di Filipina pada Pilpres 2015, terdapat tiga kali debat kandidat yang masing-masing digelar di dalam kampus.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana