tirto.id - Sidang praperadilan kasus dugaan makar enam tahanan politik Papua Rabu (4/12/2019) pembuktian pemohon. Kuasa kukum pemohon menghadirkan ahli dalam kesempatan tersebut.
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar jadi ahli, ia menjawab secara umum tentang pertanyaan yang diajukan pemohon, termohon (Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya) dan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Agus Widodo.
Hal yang disorot seperti proses penangkapan, penggeledahan dan penetapan tersangka. Hal-hal tersebut dianggap Pemohon tidak sah. Oky Wiratama Siagian, kuasa hukum enam tersangka, menanyakan soal penangkapan sesuai KUHAP lantaran dianggap janggal.
Fickar berpendapat penangkapan itu bagian dari upaya paksa, kewenangan yang diberikan kepada penyidik, penuntut maupun pengadilan. Penangkapan kata dia masuk dalam yurisdiksi hukum acara, artinya ada prosedur yang ditaati.
"Ketika penyelidik atau penyidik menangkap, apakah dibekali surat perintah? Apakah subjek penangkapan sudah didasari pada bukti cukup? Itu soal legalitas," kata Fickar saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Oleh undang-undang, dalam hal ini polisi, menurut Fickar mesti miliki surat perintah penangkapan.
Jika tidak punya surat perintah penangkapan, ada hal pengecualian dalam hal tertangkap tangan. "Tapi bila tidak tertangkap tangan, penangkapan karena pengaduan, maka penyidik harus dibekali surat perintah," ujar Fickar.
Kuasa hukum menitikberatkan perihal proses penangkapan karena dugaan tidak sah. Enam tersangka diduga mendapatkan surat penangkapan setelah ditangkap. Para tersangka dugaan makar yakni Paulus Suryanta Ginting (39), Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni (31), Charles Kossay (26), Ambrosius Mulait (25), Isay Wenda (25) dan Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge (20).
Paulus Suryanta Ginting, diberikan surat penangkapan pada 31 Agustus. Nomor surat No: SP.Kap/1720/VIII/2019/ditreskrimum tertanggal 30 Agustus 2019
Charles Kossay dan Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni menerima surat penangkapan pada 31 Agustus. Mereka ditangkap pada 30 Agustus.
Surat Charles No: SP.Kap/1721/VIII/2019/ditreskrimum, tertanggal 30 Agustus 2019. Surat Anes No: SP.Kap/1722/VIII/2019/ditreskrimum, tertanggal 30 Agustus 2019
Ambrosius Mulait dan Isay Wenda menerima surat penangkapan pada 1 September, mereka ditangkap pada 30 Agustus.
Surat Ambrosius No: SP.Kap/1719/VIII/2019/ditreskrimum, tertanggal 30 Agustus 2019. Surat Isay No: SP.Kap/1739/VIII/2019/ditreskrimum, tertanggal 30 Agustus 2019
Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge tidak diberikan surat perintah penangkapan.
Selain itu, menurut kuasa hukum, perintah penangkapan harus dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 KUHAP. Kemudian, seseorang dapat ditetapkan tersangka melalui proses pemanggilan secara sah dan patut sebanyak dua kali berturut-turut, hal ini sesuai dengan pasal 19 ayat (2) KUHAP.
Sementara, Kuasa Hukum Termohon AKBP Nova Irone Surentu, menanyakan soal wewenang penyidik menangkap tersangka. Fickar menjelaskan soal dua kondisi yaitu perintah penangkapan atau kejahatan tangkap tangan. "Dua kondisi itu berikan kewenangan kepada penyelidik untuk menangkap, tetap saja intinya asas legalitas," ujar dia.
Para tersangka diduga lakukan makar karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019, dalam demonstrasi menentang antirasisme terhadap orang Papua.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Irwan Syambudi