tirto.id - Sidang perdana kasus penghancuran barang bukti dalam dugaan pengaturan skor yang menyeret terdakwa mantan Plt Ketua Umum PSSI, Joko Driyono berjalan cepat, Senin (6/5/2019) sore. Jokdri terancam hukuman 7 tahun penjara dalam sidang yang berjalan setengah jam itu.
Jokdri dan tim kuasa hukumnya tak mengajukan keberatan atas isi dakwaan. Selepas sidang, Ketua Tim Penasihat Hukum Jokdri, Abdanial Malakan mengaku menyerahkan kasus kepada majelis hakim.
"Selanjutnya, kan, kami pembuktian, ya. Formilnya [tidak keberatan]. Kami ikuti saja proses hukumnya," tutur Abdanial kepada reporter Tirto, Senin petang.
Dalam surat dakwaan, JPU yang diketuai Sigit Hendradi menjelaskan secara rinci alur kejadian perusakan barang bukti yang dilakukan Joko Driyono pada penghujung Januari 2019.
Menariknya, dari cerita kronologis itu, beberapa kali Sigit menyebut nama yang cukup familiar: Kokoh Afiat.
Kokoh saat ini merupakan Direktur Utama klub Persija Jakarta. Relasinya dengan Joko Driyono cukup kuat. Dua sosok ini pernah berkecimpung di kepengurusan PSSI dan PT Liga Indonesia (LI) pada periode yang sama. Saat Jokdri jadi Direktur PT LI pada 2013 lalu, Kokoh menjabat sebagai Direktur Keuangan. Di kepengurusan PSSI era Djohar Arifin Husein, Jokdri yang berposisi sebagai Sekretaris Jendral (Sekjen) juga dekat dengan Kokoh yang menjadi Direktur Keuangan.
Tidak cuma itu, Jokdri secara legal merupakan pemilik terbesar saham PT Jakarta Indonesia Hebat (JIH). JIH merupakan perusahaan yang menguasai saham Persija Jakarta, tempat Kokoh bekerja saat ini.
Kronologi Kasus
Cerita keterlibatan Kokoh dalam kasus Jokdri dimulai begitu dini. Semua bermula ketika Satgas Antimafia Bola menggeledah kantor PT Liga Indonesia (LI) yang berlokasi di apartemen Rasuna Office Park (ROP) Tower 10 Nomor 1003 H, Kamis 31 Januari 2019. Kantor ini merupakan tempat Jokdri dan Kokoh pernah bekerja bersama.
Tiba di lokasi kejadian, Satgas langsung menyisir kantor PT LI dan memasang garis polisi. Menurut surat dakwaan, Kokoh adalah sosok kunci yang memberitahu Jokdri kalau kantor PT LI digeledah dan dipasangi garis polisi.
Kokoh bahkan sempat bertanya kepada Jokdri 'baiknya harus bagaimana' tindakan yang akan ditempuh.
"Bahwa setelah terdakwa mendapatkan informasi dari saksi Kokoh Afiat dimaksud [...] dengan isi yang pada pokoknya 'Kantor ROP didatangi Polisi,' dan terdakwa jawab melalui nomor handphone milik terdakwa yang isinya 'kedatangan polisi tersebut terkait Komdis [..] Selanjutnya Kokoh Afiat membalas melalui pesan WhatsApp dengan pertanyaan 'baiknya harus bagaimana?'," kata Sigit membacakan surat dakwaan.
Mengetahui kejadian dari Kokoh, Jokdri panik. Dia langsung menghubungi sopirnya, Mohammad Mardani Morgot alias Dani untuk mencoba masuk ke kantor lama PT LI.
Berdasarkan olah kejadian, Jokdri diketahui punya pintu akses khusus yang menghubungkan apartemennya ke pintu belakang kantor PT LI. Dari pintu khusus itu-lah dia meminta Dani masuk dan mengamankan sebuah notebook serta seluruh dokumen kertas.
"Kemudian pada hari itu juga sekira jam 23.30 WIB, saksi Muhammad Mardani Morgot sendirian mendatangi ruangannya [...] kemudian mengambil notebook dan mengambil semua kertas yang ada di atas rak yang ada di dalam meja laci terdakwa," imbuh Sigit.
Selepas mengambil notebook dan dokumen, Dani lantas menyimpannya di gardu pemadam kebakaran terdekat yang terletak di apartemen ROP. Tak lama berselang, Jokdri menghubungi Dani lagi dan memintanya merusak rekaman CCTV yang ada di TKP.
Jumat, 1 Februari 2019, sekitar pukul 01.00 WIB dini hari, Dani kembali masuk, kali ini bersama dengan saksi lain Mus Mulyadi. Mereka berdua merusak CCTV dengan cara mengganti komponen Digital Video Recorder (DVR) dengan DVR lain yang rusak.
Usai mengganti DVR, Dani dan Mus bergegas keluar membawa DVR asli, kemudian mengambil pula notebook yang sebelumnya sudah disimpan di gardu pemadam. DVR dan notebook kemudian dipindah ke lokasi yang lebih aman: mobil milik Jokdri, sebuah VW Tiguan warna perak yang terparkir rapi di basement apartemen ROP.
Keputusan itu belum bikin terdakwa puas. Jokdri terus gusar hingga di siang hari kemudian ia kembali meminta Dani memindahkan barang bukti dari mobilnya.
"Setelah selesai salat Jumat, saksi dihubungi terdakwa dan terdakwa menanyakan barang-barang berupa notebook dan DVR CCTV [...] kemudian terdakwa menyuruh saksi Muhammad Mardani Morgot agar barang-barang tersebut dipindahkan dan mengatakan, 'yang penting jangan di mobil terdakwa'," imbuh Sigit.
Oleh Dani, notebook lantas dipindahkan lagi ke apartemen pribadi milik Jokdri, tepatnya di apartemen ROP Tower 9 lantai 18 C. Sementara DVR dia amankan di mobil Honda City milik rekan Dani, Herwindyo.
Jokdri kemudian bernapas sedikit lega. Namun, Dani malah kepikiran. Setelah melalui berbagai pertimbangan, Dani akhirnya menyerahkan diri dan mengakui perbuatannya di depan penyidik Satgas Antimafia Bola.
Berikutnya, alurnya sama persis dengan apa yang disampaikan Dani saat jadi narasumber di program Mata Najwa, Rabu 20 Februari 2019 lalu.
"Saya ketemu satgas dan mengaku karena gelisah. Orang Satgas tanya: 'kamu siapa?' Saya Dani supir Pak JD. Kemudian saya diinterogasi, barang di mana. Saya bilang di tempat teman saya," ujarnya saat itu.
Merembet Sampai Pasal Pencurian
Betapa kompleksnya kronologi perusakan barang bukti yang menyeret Jokdri bikin dia berada dalam posisi tersudutkan. Dalam dakwaan, Jokdri terancam dijerat tiga perkara.
Dakwaan pertama--dan yang paling mungkin menjeratnya--adalah pasal soal pencurian, tepatnya Pasal 363 ayat (1) KUHP poin ke-3 dan ke-4. Argumen ini sempat bikin kaget karena sebenarnya barang yang diambil Jokdri--melalui Dani--adalah notebook dan DVR CCTV yang merupakan miliknya sendiri.
Namun Jaksa Sigit menegaskan kalau pasal ini sah-sah saja diterapkan pada kasus Jokdri. Soalnya, notebook dan CCTV itu sebenarnya sudah berada dalam penguasaan polisi. Sehingga, apa yang dilakukan terdakwa sama saja mengambil sesuatu yang bukan jadi haknya alias mencuri.
“Barang itu sudah dipasang police line oleh Satgas Mafia Bola, jadi seharusnya itu tidak boleh diambil, maupun dirusak apalagi diganti, termasuk CCTV diganti,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Selain perkara pencurian, Jokdri juga didakwa melanggar Pasal 235 juncto Pasal 231 juncto pasal 55 ayat (1) KUHP, subsidiair Pasal 232 juncto Pasal 235 juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Dakwaan pasal ini, menurut surat dakwaan, disebabkan tindakan Jokdri mengambil notebook dan merusak CCTV merupakan bentuk menghalangi penyidikan.
Terakhir, Jokdri juga bisa terjerat dengan Pasal 221 ayat (1) ke-2 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 karena menghindari penyidikan.
"Tiga pasal ini, ancaman hukuman tertingginya tujuh tahun penjara," tandas Sigit.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mufti Sholih