tirto.id - DPR RI menggelar rapat paripurna masa persidangan V, Rabu (8/9/2019) kemarin. Rapat dibuka oleh Wakil Ketua Umum DPR RI dari fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon, pukul 11:06 WIB (terlambat satu jam dari jadwal).
Beberapa hal dibahas dalam sidang. Para anggota dari masing-masing fraksi menyampaikan pendapat terkait pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Pemilu, duka cita terhadap petugas KPPS yang meninggal, kasus pendudukan Israel terhadap Palestina, dan beberapa hal lain.
Sebenarnya tidak ada yang spesial pada rapat paripurna kali ini, kecuali jumlah anggota dewan yang datang. Fadli Zon mengatakan berdasarkan catatan presensi dari sekretaris rapat, jumlah anggota yang hadir sebanyak 281 orang atau setara 50 persen dari total anggota dewan, 560 orang.
Namun berdasarkan pantauan langsung reporter Tirto, lebih banyak kursi yang tak terisi. Jumlah yang datang jauh dari klaim. Jarak antar satu anggota dengan anggota lain tampak renggang seperti yang terlihat pada foto di atas.
Selalu Ada
Apa yang terjadi para rapat paripurna kemarin mungkin saja disebabkan karena akan habisnya masa bakti mereka. Pada Oktober nanti bahkan akan ada pelantikan untuk anggota dewan baru yang terpilih pada Pileg 2019.
Namun dugaan ini disanggah peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Menurutnya ketidakhadiran anggota dewan dalam rapat paripurna bukan cerita baru. Nyaris semua rapat paripurna terutama yang berlangsung pada tahun ini, kata Lucius, tak pernah penuh.
"Masalah ketidakhadiran dalam rapat paripurna ini ibarat legenda di DPR. Selalu ada di setiap waktu," kata Lucius kepada reporter Tirto.
"Bukan karena alasan waktu akhir periode yang makin dekat. Mereka memang sudah tak fokus sejak awal periode. Terbukti dengan seringnya paripurna tidak dihadiri oleh banyak anggota," tambahnya.
Pada Maret lalu, anggota dewan yang datang pada rapat paripurna bahkan hanya 24 orang. Wakil Ketua DPR Utut Adianto ketika itu bilang anggota yang datang dan izin berjumlah 293 orang. Artinya ada 260an orang yang tanpa keterangan.
Jika ditarik lebih jauh, DPR 2014-2019 memang kurang produktif. Pada 2015, DPR mengesahkan hanya tiga UU dari 40 RUU prioritas, yakni UU Tipikor, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Tahun berikutnya, DPR terlihat lebih produktif dari tahun sebelumnya. Setidaknya ada 10 UU yang disahkan dari 51 RUU prioritas. Itu pun satu di antaranya adalah perubahan kedua UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Pada 2017, DPR menghasilkan 6 UU dari 52 RUU prioritas. Salah satunya adalah UU tentang Pemilihan Umum, yang agaknya memang dikejar untuk momentum Pemilu 2019. Tahun 2018, produksi legislasi menurun menjadi 5 UU. Dua di antaranya adalah UU yang cukup krusial, seperti UU Terorisme dan UU MD3.
Sementara pada 2019, DPR sudah merampungkan dua UU, yakni UU Kebidanan dan UU Pelaksanaan Haji dan Umrah.
Bagi Lucius, ini sudah menunjukkan betapa anggota dewan tak serius memperjuangkan aspirasi konstituennya. Bahkan Formappi menyimpulkan anggota DPR periode sekarang adalah DPR dengan kinerja terburuk sejak reformasi.
"Keseriusan memperjuangkan aspirasi itu bisa dibuktikan melalui kehadiran dan juga upaya menyampaikan aspirasi rakyat melalui forum paripurna," katanya.
"Bukan Berarti Tidak Kerja..."
Ketua DPR Bambang Soesatyo lantas pasang badan. Dia bilang ketidakhadiran ratusan anggota dewan bukan karena mereka tidak bekerja. Mereka disebut tengah menjalankan tugas di daerah pemilihan mereka masing-masing.
"Justru yang harus dikritik anggota DPR yang betah di kantornya dibanding dapilnya," ujarnya usai rapat.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino