Menuju konten utama

Siasat Inalum Bayar Bunga Obligasi Saat Dividen Freeport Tak Cair

Inalum telah menyediakan uang senilai 1,6 miliar dolar AS untuk membayar bunga obligasi saat dividen Freeport tak cair.

Siasat Inalum Bayar Bunga Obligasi Saat Dividen Freeport Tak Cair
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin (kanan) berbincang dengan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo (kiri) mengikuti rapat terbatas tentang percepatan pelaksanaan divestasi PT Freeport Indonesia di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (29/11/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww.

tirto.id - PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dipastikan tak akan menikmati laba bersih atau dividen PT Freeport Indonesia (PTFI) selama dua tahun. Sebab, pendapatan Freeport diprediksi mengalami penurunan karena perpindahan produksi dari tambang terbuka (open pit) ke tambang bawah tanah (underground).

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengklaim “puasa dividen” pada 2019 dan 2020 ini sudah diperhitungkan sebelumnya. Menurut dia, dengan pendapatan perseroan yang turun, maka secara otomatis laba bersih perusahaan akan mengalami penurunan.

Berdasarkan perhitungan Inalum, kata Budi, laba Freeport pada 2019 diperkirakan turun menjadi 166 juta dolar AS (laba 2018 tercatat 2,01 miliar dolar AS). Penurunan ini diprediksi akan berlanjut pada 2020 (366 juta dolar AS) dan 2021 sebesar 870 juta dolar AS.

Budi memperkirakan, laba Freeport kembali membaik pada 2023 dengan nilai sekitar 2 miliar dolar AS. Dengan demikian, Inalum sebagai pemegang saham mayoritas Freeport Indonesia harus rela “puasa dividen” pada 2019 dan 2020.

Menurut Budi, hal itu merupakan imbas dari penurunan pendapatan sebelum pajak, bunga dan depresiasi (EBITDA) PTFI yang diprediksi tak akan mencapai 4 miliar dolar AS, seperti capaian 2018. Pada 2019, EBITDA PTFI diperkirakan hanya 1,25 miliar dolar AS, sementara pada 2020 sekitar 1,79 miliar dolar AS.

“Produksi PTFI baru akan mulai membaik pada 2023. EBITDA Freeport akan menyentuh angka 4,508 miliar dolar AS dan laba bersih 2,07 miliar dolar AS,” kata Budi kepada wartawan, Rabu (9/1/2019).

Pernyataan Budi itu sebelumnya juga diungkapkan Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot. Sebab, perusahaan tambang yang mayoritas sahamnya baru dikuasai BUMN itu harus memindahkan produksi tambangnya ke underground mining.

Akibatnya, kata Bambang, produksi konsentrat yang mencapai 2,1 juta ton pada tahun 2018 harus menurun menjadi 1,2 juta ton pada 2019.

Hal ini tentu menjadi sorotan karena dalam 3 tahun ke depan sejak 2018, Inalum harus membayar pokok obligasi pertamanya senilai 1 miliar dolar AS. Belum lagi selama 2019-2021, terdapat kupon atau bunga senilai 250 juta dolar AS per tahun yang harus dibayar juga.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyayangkan bila kabar mengenai penurunan nilai produksi itu tidak diberitahukan ke publik dari awal. Belum lagi hal itu terjadi dalam hitungan hari usai akuisisi saham 51 persen dirampungkan.

Menurut Fabby, publik semestinya diberi tahu bila produksi perusahaan yang akan diakuisisi pemerintah melalui Inalum itu akan anjlok.

“Waktu akuisisi enggak disampaikan [penurunan produksi]. Tiba-tiba begitu udah dibeli ternyata revenue-nya anjok 2019-2020,” kata Fabbby kepada reporter Tirto.

Kendati tidak memperoleh dividen selama 2 tahun pertama, kata Fabby, Inalum tentu dapat menutup bunga obligasi yang harus dibayarkannya.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan pembayaran kupon obligasi Inalum pada 2 tahun ini, tentu akan menimbulkan masalah cash flow bagi perusahaan pelat merah itu.

Sebab, kata Piter, dividen yang dapat digunakan Inalum selama pembayaran kupon 2019-2020 belum juga dibagikan.

“Setelah divestasi ternyata ada uang masuk yang lebih kecil dari uang [yang] keluar,” kata Piter.

Meski demikian, Piter memaklumi bila dalam waktu dekat ini, dividen belum bisa diandalkan karena produksi pertambangan belum maksimal.

Pembayaran kupon itu, kata Piter, harus dilakukan dengan penerimaan di luar PTFI. Atas kondisi itu, Piter memastikan sumber penerimaan Inalum selain PTFI pun tak jadi soal bila akan digunakan melunasi kupon itu.

“Yang penting PT Inalum bisa menutup pembayaran kewajibannya selama masa transisi ini,” kata Piter.

Infografik CI Divestasi PT Freeport Indonesia

Infografik CI Divestasi PT Freeport Indonesia

Cara Inalum Bayar Bunga Obligasi

Head of Government Relations and Corporate Communications Inalum, Rendi Witular mengatakan penurunan laba itu sudah masuk perhitungan sebelum perusahaan pelat merah itu mengakuisisi saham Freeport Indonesia.

Inalum, kata Rendi, telah menyediakan uang senilai 1,6 miliar dolar AS untuk membayar bunga obligasi di saat dividen masih absen.

Rendi mengatakan uang itu merupakan kas internal Inalum yang bersumber dari pendapatan selama beroperasi.

“Kami sudah antisipasi produksi (PTFI) akan turun. Langkanya sudah disediakan sebelum divestasi. Itu sudah lebih dari cukup untuk bertahan tanpa dividen sampai 2021,” kata Rendi kepada reporter Tirto.

Selain itu, Rendi juga menuturkan mulai 2021-2022, PTFI diprediksi sudah dapat menghasilkan laba senilai 2 miliar dolar AS.

Dengan kepemilikan saham 51 persen, kata Rendi, paling tidak Inalum akan menerima 1 miliar dolar AS per tahun. Jumlah itu pun dianggap cukup untuk melunasi pokok obligasi hingga tahun-tahun berikutnya.

Meskipun Freeport tengah melakukan investasi untuk perpindahan tambang bawah tanah, Rendi mengklaim, hal itu tidak akan membebani Inalum. Sebab, investasi yang mencapai 750 juta dolar per tahunnya dibiayai oleh pendapatan PTFI.

“Biaya investasinya hanya 10 persen dari pendapatan PTFI [yang tercatat] 6-7 miliar dolar AS. Kelihatan, kan, mampu dan enggaknya?” kata Rendi.

Baca juga artikel terkait FREEPORT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz