tirto.id - BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit sejak beroperasi pada Januari 2014. Angkanya selalu naik seiring dengan jumlah peserta yang terus bertambah setiap tahunnya. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit bahkan sudah mencapai Rp16,58 triliun.
Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan untuk mengurangi potensi defisit pada 2019, pihaknya telah menyiapkan sejumlah kebijakan. Salah satunya perbaikan sistem rujukan dan rujukan balik.
Selain itu, kata Iqbal, pihaknya juga menerapkan strategic purchasing dalam pembayaran lain Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) dan menajemen kapitasi (besaran pembayaran per bulan yang dibayar di muka) fasilitas kesehatan primer.
“Kemudian, efisiensi layanan katarak, fisioterapi, dan bayi lahir sehat pada kasus sectio,” kata Iqbal kepada reporter Tirto, Jumat (19/10/2018).
Namun demikian, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyarankan agar BPJS Kesehatan tetap menaikkan iuran untuk menutup defisit yang selama ini dialami. Karena itu, kata dia, secara struktural diperlukan peran pemerintah.
“Struktural itu fungsi dari pemerintah yaitu dari sisi kebijakan iuran untuk bisa dinaikkan dan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan bersama BPJS Kesehatan,” kata Timboel kepada reporter Tirto.
Timboel mengatakan pemerintah diamanatkan untuk meninjau iuran paling lama dua tahun. “Kalau iuran itu tidak ditinjau, saya yakin akan ada masalah defisit yang membesar. Persoalannya pemerintah mau membuka [opsi] atau tidak untuk naikkan iuran?” kata Timboel mempertanyakan.
Selama ini, menurut Timbul, penyebab utama keuangan BPJS defisit adalah ketidaksesuaian nilai aktuaria (risiko keuangan) dengan iuran yang dibayar peserta mandiri dan penerima bantuan iuran (PBI)—kecuali peserta mandiri kelas I.
Pada akhir September 2018, misalnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan kalau iuran peserta mandiri kelas III seharusnya sebesar Rp53 ribu berdasarkan nilai aktuaria, tetapi pemerintah lewat Peraturan Presiden 111/2013 mematoknya cuma Rp25.500. Demikian juga dengan iuran yang dibayar pemerintah untuk PBI hanya Rp23 ribu bagi setiap peserta, padahal nilai aktuarianya Rp36 ribu.
Selain itu, kata dia, pengawasan terhadap pelaksanaan iuran juga harus dioptimalkan. “Seberapa masuknya, kalau enggak ada pengawasan terhadap rumah sakit, maka dapat terjadi fraud [penipuan]” kata Timboel.
Selama ini, kata dia, pengawasan oleh pemerintah maupun BPJS Kesehatan dalam proses klaim yang dilakukan rumah sakit kurang optimal. “Saya selalu mendorong pengawasan itu melekat harian. Pihak BPJS Kesehatan hadir di rumah sakit 24 jam setiap hari yang nanti bisa membantu peserta ketika ada masalah pelayanan,” kata Timboel.
Pengawasan yang optimal juga mencerminkan kinerja dari manajerial BPJS Kesehatan, karena sekaligus menjadi controlling terhadap penerapan perjanjian kerja sama (PKS) dengan pihak rumah sakit.
“Selama BPJS Kesehatan berjalan, itu direksi enggak pernah dievaluasi. Saya menunggu teguran dari presiden kepada mereka. Presiden menegur itu bagus, sehingga bisa menjadi catatan evaluasi untuk ke depan. Saya berharap direksi dievaluasi tiap tahun,” kata Timboel.
Belum Ada Anggaran Defisit BPJS di RAPBN 2019
Direktur Penyusunan APBN Kementerian Keuangan, Kunta W.D. Nugraha mengatakan dalam postur Rancangan APBN 2019, pemerintah menetapkan anggaran untuk BPJS Kesehatan sebesar Rp26,7 triliun. Anggaran ini dialokasikan untuk PBI (Penerima Bantuan Iuran) 96,8 juta peserta. Jumlah ini naik dibanding APBN 2018 sebesar Rp25,5 triliun untuk 92,4 juta peserta.
“Di luar itu ada kontribusi pemerintah sebagai pemberi kerja untuk iuran ASN (3 persen), dan intervensi sebesar Rp4,99 triliun kemarin,” kata Kunta kepada reporter Tirto.
Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani. Ia menyebutkan bahwa anggaran BPJS Kesehatan pada 2019 naik menjadi Rp26,7 triliun. Akan tetapi, kata Askolani, dalam RAPBN 2019, pemerintah belum memperhitungkan defisit BPJS Kesehatan ke depan.
“Kami belum tahu 2019 ada defisit BPJS Kesehatan atau tidak. Kan 2019 jalan aja belum. Surplus dan netral bisa juga terjadi di 2019, tergantung pelaksanaannya nanti,” kata Askolani kepada reporter Tirto, Jumat (19/10/2018).
Defisit BPJS Kesehatan per September 2018 dari tunggakan bayar kepada rumah sakit (klaim para peserta yang jumlahnya lebih dari 200 juta) mencapai Rp7,3 triliun. Kerugian ini naik dari tahun ke tahun, pada 2014 atau pada tahun pertama beroperasi, sudah merugi Rp814,4 miliar. Pada 2015 kerugian membengkak jadi Rp4,63 triliun, dan pada 2016 kerugian menjadi Rp6,6 triliun.
Untuk menutup defisit BPJS Kesehatan per September itu, pada Oktober ini pemerintah sudah mencairkan dana talangan sebesar Rp4,9 triliun dari APBN 2018. Dana talangan sebesar Rp4,9 triliun itu berdasarkan tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit hingga Juli 2018.
Dana talangan itu disiapkan pemerintah dari APBN yang didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyediaan Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz