Menuju konten utama

Siar Pariwara tentang Manisnya Hidup Setara

Tahun 2016 yang dikenang sebagai tahun petaka: tempat banyak sekali peristiwa buruk. Jenama-jenama besar turut prihatin, dan beramai-ramai menyelipkan pesan moral manisnya hidup setara dalam pariwara mereka.

Siar Pariwara tentang Manisnya Hidup Setara
Cupilkan iklan komersial Honey Maid tentang keharmonisan. FOTO/Youtube

tirto.id - “Hal pertama yang muncul di kepalamu saat ke luar rumah adalah: apakah orang-orang menontonimu? Apa ada yang melihat?”

Wajah seorang perempuan berjilbab biru dengan motif bunga-bunga tengah disorot. Kamera makin dekat ke arahnya yang diam, tajam menatap kamera. Pertanyaan itu muncul di saat yang bersamaan wajahnya disorot dengan mulut tertutup. Seolah-olah pikirannya yang bersuara.

Kamera berganti ke perempuan lain. Rambut merah, hidung mancung khas bangsa Aryan, mengintip dari balik tirai jendela rumahnya. “Aku tak tahu apa pun tentang kultur mereka. Cuma tahu dari berita,” ia berkata.

Kamera pindah lagi. Kali ini ke seorang bocah perempuan berambut keriting-pendek yang girang berlari, ingin memeluk si wanita berjilbab biru; yang wajahnya khas timur tengah. “Aku agak takut tentang caranya menyambut kami. Tapi rupanya, anak-anak kami membuat kami kompak,” perempuan berjilbab biru itu bersuara girang, seolah sambil tersenyum.

Lalu video berdurasi 40 detik itu memperlihatkan kedua wanita itu berpelukan dengan senyum. Mereka piknik di belakang rumah wanita berambut merah. Terlihat bahagia. Kemudian berkumpul bersama anak-anak dan suami masing-masing. Duduk di sebuah kursi panjang menghadap ke kamera, seolah ada yang akan mengambil foto mereka.

Kamera menyorot, seraya suara wanita berambut merah muncul mengatakan, “Apa yang kami bagi, adalah hal yang penting sekarang.” Agaknya ia merujuk 2016.

Video itu diunggah April lalu oleh sebuah jenama roti kering di Amerika Serikat, bernama Honey Maid. Merek satu ini memang punya banyak iklan 40 detik yang mengangkat isu kesetaraan. Kampanye itu bernama “Wholesome”, isinya memang anjuran untuk selalu 'menerima', tentu selain tentang mempromosikan produk mereka.

“Kami melihat perubahan pada masyarakat sepanjang waktu, karena kami pikir penting untuk mencerminkan dunia hari ini. Dan untuk masuk ke dalam penampang keluarga-keluarga unik yang membentuk masyarakat Amerika,” kata Katrina Plummer, Equity Brand Manager dari Honey Maid kepada Adweek. Lewat pariwara yang ditawarkan produknya, Katrina juga ingin memaparkan pandangan-pandangan menarik dari para minoritas.

“Judul berita negatif yang kaubaca di internet sering kali mencerminkan rasa permusuhan, kefanatikan, dan intoleransi yang digumulkan masyarakat hari ini,” tambahnya. Maka lewat pariwara, Honey Maid ingin ikut membantu menurunkan ketegangan isu rasis yang meningkat selama 2016.

Kevin Brady, Executive Creative Director dari Droga5, sebuah agensi periklanan yang membantu Honey Maid mengemas iklannya, menganggap yang dilakukan kliennya tak perlu. Pada The New York Times ia berujar, “Tapi (yang mereka lakukan) itu sangat berani, apalagi dikeluarkan di 2016 ini.”

Ia memprediksi, iklan-iklan seperti yang dikonsepkan perusahaannya dan Honey Maid adalah jenis yang akan menuai kontroversi. Ia bilang, agensinya sudah mempersiapkan Honey Maid untuk respons terburuk, meski pada kenyataannya tebakannya jauh lebih sedikit daripada yang terjadi. Di Facebook, komentar-komentar teratas pada tautan iklan itu bernada positif dan mengapresiasinya.

Tapi Nida’a Moghrabi, tukang kue keju yang merupakan perempuan berjilbab biru di iklan itu, sempat takut saat ditawari turut dalam kampanye “Wholesome”. Dia memang dapat komentar-komentar kasar di Facebook dan Youtube, tapi masyarakat di lingkungannya tinggal menanggapi positif. Iklan itu “membuat berani generasi muda, mereka yang sebelumnya takut menyebutkan diri sebagai seorang muslim,” kata Moghrabi.

Brady sendiri sebagai orang periklanan menganggap isu muslim di Amerika memang sedang sensitif. Mengingat salah satu kandidat presiden pada pemilu terakhir jelas-jelas menghangatkan isu itu dan menyebarkan ujaran kebencian. “Isu tentang gay yang mau jadi orangtua agaknya lebih aman, kita sudah lebih dekat pada penerimaan, tapi isu Muslim di Amerika memang masih cukup buruk bagi banyak orang Amerika,” tambahnya.

Melihat hal yang sama, sejumlah jenama besar lain turut prihatin dan membuat iklan yang menyebarkan indahnya kesetaraan. Satu yang paling viral adalah pariwara dari Amazon yang berjudul “Seorang Pendeta dan Imam Bertemu untuk Secangkir Teh”, yang rilis di Youtube November lalu.

Ceritanya sangat sederhana. Tentang sepasang kawan, satu seorang pendeta, lainnya seorang imam yang sudah tua dan punya masalah lutut. Lewat Amazon, keduanya saling membelikan bantalan lutut dengan niat memberikan hadiah kejutan. Hadiah itu akhirnya berguna bagi keduanya saat melakukan ibadah masing-masing.

Bukan cuma viral karena ide ceritanya, kisah kedua aktor—yang memang pendeta dan Imam di dunia nyata—rupanya menjadi karib selepas membintangi iklan itu. Keduanya tetap saling berhubungan dan berteman baik.

Seperti Honey Maid, Amazon bukannya tak mempertimbangkan suara-suara kontra yang akan muncul. Mereka bahkan menemui sejumlah pemimpin agama terkait untuk mendapat saran, sehingga tak membuat iklan yang malah akan menyinggung.

Rameez Abid, communications director for the social justice cabang Islamic Cirlce of North America, salah satu kelompok yang didatangi Amazon menjelaskan kalau Amazon memang paham risiko iklan itu. “Mereka sangat awas kalau (iklan) ini sangat mungkin menimbulkan kontroversi, dan mereka mungkin akan dapat kecaman karenanya, tapi kata mereka ini adalah hal yang ingin mereka lakukan, karena pesannya penting,” kata Abid pada The New York Times.

Infografik Hidup Setara

Jenama lain juga mengeluarkan pariwara yang menyebarkan pesan indahnya kesetaraan. Di antaranya Youtube, Microsoft, Chevrolet, dan Covergirl.

Uniknya, semuanya melibatkan Muslim dalam iklannya. Youtube mengeluarkan video berdurasi 45 detik dengan judul Afsa’s Theme. Ceritanya tentang seorang muslimah Amerika yang mendengarkan lagu rap dan ikut menyanyikannya saat berjalan di koridor sekolahnya. Chevrolet mengangkat sepasang anak kembar—muslim tentunya—yang tinggal di Los Angeles. Ruqaya dan Qassim yang jatuh cinta pada sepakbola diangkat Chevrolet jadi ambasadornya. Microsoft mengangkat cerita orang-orang minoritas: perempuan, muslim, LGBT, kulit berwarna, pengungsi dan lainnya untuk menunjukkan indahnya keberagaman. Sementara Covergirl, selain melantik ambasaor pria pertamanya, kemudian merekrut Nura Afia sebagai ambasador muslim pertamanya, November lalu.

Dengan maraknya berita hoax belakangannya yang membingungkan masyarakat, maka pariwara diharapkan berpotensi untuk menjangkau pemirsa dengan sudut pandang berbeda. Amazon, menurut The New York Times, bahkan meletakan iklan-iklannya di program-program televisi dengan rating tinggi seperti Today Show, Empire, dan Blue Bloods. Diikuti Microsoft yang meletakan pariwaranya di acara The Voice, Pitch, dan This is Us.

Mona Haydar, pujangga Amerika sekaligus aktivis yang muncul dalam iklan Microsoft, punya harapan besar pada iklan-iklan penyebar indahnya kesetaraan ini.

“Dalam 10 tahun, pariwara begini mungkin akan hidup di hati anak-anak yang melihat wanita muslim di dalamnya tak seperti anak-anak sekarang yang seperti melihat setan saat melihatku,” katanya pada The New York Times. “Lalu, ketika ada orang yang berbicara kasar tentang Muslim, mungkin anak itu akan bilang, 'Aku dulu nonton iklan itu, dan dia kayaknya kelihatan normal'. Kita tak tahu bagaimana gema akan berbentuk,” tambahnya.

Di Indonesia, 2016 agaknya juga jadi tahun yang buruk bagi kaum minoritas.

Human Right Watch mengeluarkan laporan pada Agustus lalu yang menyebutkan tindak kekerasan pada LGBT di Indonesia meningkat. Sebabnya adalah sejumlah pejabat negara yang mengumbar ujaran kebencian sejak awal tahun ini.

Baru-baru ini International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerjasama jaringan GUSDURian melakukan penelitian berjudul “Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Radikalisasi dan Ekstremisme Kekerasan Berbasis Agama.” Hasilnya, ada 90 ribu akun media sosial yang memuat pesan radikal dan ekstremisme selama sebulan, mengandung kata-kata: kafir, sesat, syariat Islam, tolak demokrasi, jihad, antek asing, komunis, liberal, pengkhianat agama, dan musuh Islam.

Kelompok-kelompok yang menyebarkan sikap intoleransi dengan cara-cara radikal mengancam kehidupan keberagaman. Hasil survei INFID dan jaringan GUSDURian menggambarkan hal itu. Laporan lengkapnya bisa dibaca melalui artikel Tirto berjudul Survei: Pesan Intoleransi Bertebaran di Media Sosial

Tahun ini Indonesia memang lebih panas karena isu penistaan agama yang juga mencuri perhatian dunia. Mungkin, kita juga butuh pariwara tentang manisnya hidup setara. Bukannya tak pernah ada iklan yang seperti itu. Tapi pasca Oktober lalu, saat isu menista agama jadi bahasan semua kalangan setiap hari di negeri ini, belum ada jenama besar yang mengeluarkan iklan penyejuk hati.

Terakhir kali Google yang mengeluarkannya Juni lalu saat Ramadan. Film pendek yang disutradarai Rudi Soedjarwo mengisahkan tentang tiga orang sahabat berbeda agama. Dua di antaranya Kristen, sementara yang lain Muslim. Karena akan menjalankan puasa pertama di luar kota—yang mayoritasnya bukan Muslim—maka kedua kawan itu turut berpuasa. Agar sang kawan bersemangat menjalani puasa pertamanya. Video berjudul Satu Dalam Kita itu sudah ditonton lebih dari 7 juta kali, dan mendapat lebih dari 21 ribu likes. Meski punya 2,5 ribu angka dislike.

Baca juga artikel terkait IKLAN atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Marketing
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti