tirto.id - “Kalau pakai sistem Amerika, @prabowo dan @sandiuno menang mutlak. Sementara di sini kemenangan hanya menimbang pulau Jawa, khususnya Jatim dan Jateng,” kicau Fahri Hamzah di akun Twitternya, 17 April 2019.
Wakil Ketua DPR itu mengomentari hasil quick count yang menunjukkan pasangan Prabowo Subianto–Sandiaga Uno menang di banyak daerah di Pulau Sumatera.
Di Pulau Sumatera, hasil hitung cepat berbagai lembaga survei memang menunjukkan Prabowo unggul dari Jokowi. Menurut hitung cepat versi Charta Politika, Jokowi hanya menang di dua provinsi, yaitu Lampung dan Kepulauan Bangka Belitung. Menurut versi Indikator, Jokowi hanya menang di tiga provinsi: Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, dan Bengkulu.
Tim riset Tirto membandingkan hasil quick count sementara dari lembaga survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) per 17 April 2019 dengan data real count KPU pada Pilpres 2014. Hasilnya menunjukkan Prabowo tak hanya mengalami peningkatan kemenangan di banyak provinsi di Pulau Sumatera, tetapi juga di provinsi-provinsi lain di pulau Kalimantan dan Sulawesi yang sebelumnya dimenangkan Jokowi pada 2014.
Lantas, mengapa Prabowo ujung-ujungnya menurut hitung cepat masih saja kalah? Hitung cepat SMRC menunjukkan Jokowi berhasil menjaga suara di Jakarta dan Jawa Barat sekaligus memperdalam suara di lumbung lamanya, Jateng, DIY Yogyakarta, dan Jatim.
Pada Prabowo, jangkauan wilayah perolehan suaranya memang bertambah, tetapi hal itu tidak terjadi di Pulau Jawa yang memiliki suara pemilih terbanyak se-Indonesia. Bahkan, di Jawa Barat, yang juga lumbung suara Prabowo di Pulau Jawa, suaranya tahun ini tak jauh berbeda dengan 2014.
Kembali lagi ke kicauan Fahri, menurutnya, jika memakai skenario sistem Pilpres AS, Prabowo seharusnya menang mutlak lantaran suaranya kuat di banyak provinsi dan berbeda dengan Jokowi yang “cuma" menang di Jawa.
Fahri Hamzah tak memberikan hitung-hitungan terperinci andai electoral college diterapkan dalam Pilpres 2019 untuk menjawab klaim kemenangan Prabowo.
Apa Itu Electoral College?
Penyelenggaraan Pemilu di AS memakai sistem electoral college. Rakyat AS tidak memilih langsung presiden mereka berdasarkan “one person, one vote, one value” (OPOVOV), tetapi memilih elector yang akan mewakili suara rakyat untuk memilih presiden.
Para elector ini adalah orang-orang dari partai pengusung capres atau mereka yang terafiliasi dengan capres. Setiap negara bagian di AS memiliki jumlah elector yang berbeda, tergantung jumlah kursi House of Representatives dan Senat. Penentuan jumlah kursi itu ditetapkan dari proporsi populasi penduduk di tiap negara bagian. Di negara bagian California yang memiliki sekitar 33 juta penduduk, elector-nya berjumlah 54. Artinya, setiap elector mewakili 614.000 penduduk.
Di AS, yang memiliki 50 negara bagian, total ada 538 electoral college, sesuai dengan 435 kursi House of Representatives ditambah 100 kursi Senat, plus tiga jatah elector di ibukota Washington D.C. Setelah mengantongi capres pilihan rakyat, para elector berkumpul di ibukota negara bagian untuk memilih capres. Untuk bisa melenggang menang ke Gedung Putih, capres setidaknya harus meraup minimal 270 electoral vote.
Electoral vote mengikuti model winner-takes-all di 48 negara bagian. Artinya, capres yang menerima electoral vote terbanyak otomatis mendapatkan semua suara electoral vote di negara bagian tersebut. Jika di negara bagian Pennsylvania, yang memiliki jatah 20 electoral college, capres A berhasil memenangkan 51 persen popular vote dan kandidat B hanya 49 persen. Kendati kandidat A menang tipis, ia sudah bisa menyapu bersih kuota 20 electoral college di Pennsylvania.
Dua negara bagian yang dikecualikan dalam winner-takes-all adalah Nebraska dan Maine karena electoral vote dialokasikan berdasarkan proporsi kandidat dari popular vote di negara bagian tersebut.
Bila Dijajal di Pilpres 2019
Mari ikuti andaian Fahri Hamzah. Jika Indonesia memakai sistem electoral college, dengan 34 provinsi dan memakai jumlah kursi DPR dan DPD pada Pemilu Legislatif 2019, maka total ada 711 electoral college. Rinciannya: 575 kursi DPR dan 136 kursi DPD.
Kursi electoral paling gemuk diduduki oleh Jawa Barat yang mencapai 95, diikuti Jawa Timur 91, Jawa Tengah 81, Sumatra Utara 34, Sulawesi Selatan 28, Banten 26, DKI Jakarta 25, Lampung 24 dan seterusnya sampai minimal terdapat tujuh elector di beberapa provinsi.
Dengan model winner-takes-all, mari hitung siapa pemenangnya berdasarkan data hasil quick count beberapa lembaga survei.
Pertama, memakai data quick countSMRC yang mengunggulkan Prabowo di 14 provinsi, sehingga total ia meraup 296 electoral vote. Jokowi, yang unggul di 20 provinsi berhasil mengumpulkan 415 electoral vote.
Kedua, skenario pemenang jika memakai data quick countIndo Barometer. Kedua capres sama-sama unggul di 17 provinsi, tapi jumlah electoral vote yang dimenangkannya berbeda karena jumlah elector setiap provinsi tak selalu sama.
Dengan proporsi kemenangan berdasarkan provinsi dari data Indo Barometer ini, Jokowi meraup 376 dan Prabowo hanya 335. Mengapa demikian? Jokowi berhasil mengeruk popular vote di kantong-kantong yang memiliki electoral vote besar, di antaranya Jawa Timur (91), Jawa Tengah (81), DKI Jakarta (25), Lampung (24), Papua (14), Bali (13).
Ketiga, menurut data quick countCharta Politika dengan suara masuk 99,50 persen, Prabowo kali ini unggul di 20 provinsi dan dengan angka diasumsikan bisa mengkoleksi 392 electoral vote. Sedangkan Jokowi yang unggul di 14 provinsi hanya mampu meraup 319 electoral vote. Prabowo, menurut quick count Charta Politika, berhasil mengamankan DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Dengan demikian, andaian Fahri Hamzah bisa saja benar jika hasil KPU nanti sesuai dengan hasil quick count Charta Politika. Namun, jika kita berkaca pada hasil quick count Indo Barometer dan SMRC, andaian Fahri jadi meleset.
Patut dicatat bahwa skenario di atas bisa saja berubah karena satu dan lain hal. Penentuan jumlah anggota DPR dan DPD di Indonesia kerap berubah pada Pemilu Legislatif.
Bisa juga terjadi keadaan capres meraup popular vote banyak, tetapi keok di perolehan electoral vote. Pada Pilpres AS 2016, Hillary Clinton unggul popular vote (48,2 persen) dari Donald Trump (46,1 persen), tetapi kalah di electoral vote. Trump berhasil meraup 304 electoral vote Clinton sebanyak 227. Trump sukses mengamankan suara di negara bagian yang memiliki electoral vote tinggi. Suara dari kantong-kantong Demokrat juga berhasil direngkuh oleh Trump yang Republikan.
Kritik terhadap Sistem Electoral College
Para kritikus menyebutelectoral college yang tertuang dalam Konvensi Konstitusi 1787 adalah tindakan anti-demokratis. Pilpres AS justru memenangkan orang-orang yang sebenarnya kalah di pemilihan langsung.
Pengajar Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada (UGM) Nur Rachmat Yuliantoro dalam penelitiannya yang berjudul "Pemilihan Presiden Amerika Serikat dan Hikmahnya Bagi Indonesia" (2000, PDF) menjabarkan bahwa selama 200 tahun terakhir, tercatat ada 700 proposal yang dikirim ke Kongres AS untuk memperbaiki bahkan menghapus sistem electoral college.
Sistem ini juga dinilai tidak merepresentasikan kehendak rakyat di tingkat nasional. Distribusi electoral vote dianggap lebih mewakili di negara bagian yang berpenduduk banyak. Jumlah elector ditentukan oleh jumlah anggota Kongres dan Senat di negara bagian masing-masing.
Sistem winner-takes-all juga membuat sistem ini dinilai terlalu memaksakan sistem dua partai, Demokrat dan Republikan, sehingga menciutkan nyali partai lain atau kandidat independen.
Bagi para pendukung electoral college, sistem ini dinilai dapat menjaga stabilitas politik karena membantu memelihara sistem dua partai. Dalam sistem pemerintahan federal, electoral college juga dianggap mampu menyeimbangkan hubungan antara pemerintah pusat dan negara bagian karena sistem tersebut ditujukan untuk mewakili pilihan setiap negara bagian atas lembaga kepresidenan.
Editor: Maulida Sri Handayani