Menuju konten utama

Baik Buruk Sistem Electoral College Pilpres di AS

Banyak orang Indonesia menganggap sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat adalah patron ideal negara demokrasi. Banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya sistem pilpres AS berbeda jauh dengan Indonesia.

Baik Buruk Sistem Electoral College Pilpres di AS
Ilustrasi electoral college di AS. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Di Indonesia, rakyat bisa memilih secara langsung pemimpin mereka, lain dengan AS yang menerapkan electoral vote . Dengan sistem ini, Pilpres AS sebenarnya tidak menerapkan sistem pemilihan secara langsung. Penentuan siapa presiden berikutnya bukanlah lewat voting suara terbanyak, melainkan seberapa banyak capres mendapatkan electoral votes yang tersebar di 51 negara bagian.

Tiap negara bagian punya jatah electoral vote berbeda tergantung alokasi kursi senat dan DPR yang penentuannya ditetapkan oleh jumlah populasi penduduk di negara bagian tersebut. Total, saat ini ada 538 pemilih (elector) yang terdiri dari 435 kursi DPR, 100 kursi Senat, plus tiga jatah elector untuk ibukota Washington DC.

Dengan sistem electoral vote, suara yang kalah otomatis tidak akan dihitung sebab berlaku sistem winner-takes-all pada 48 negara bagian.

Masih bingung? Ilustrasinya seperti ini. Cindy adalah warga Sacramento negara bagian California. Pada Pilpres 8 November nanti, dia sudah bertekad memilih Hillary Clinton.

Saat perhitungan suara di distrik tempat Cindy tinggal, dia menunjuk elector dari Partai Demokrat bernama Adam untuk memberi dukungan pada Hillary. Adam ternyata menang, maka dia punya hak pilih bersama dengan 54 elector dari California lainnya. Lalu bagaimana dengan suara para pendukung Trump yang memilih calon elector lain di distrik tempat Cindy tinggal? Suaranya hangus, distrik Sacramento secara keseluruhan diberikan pada Adam.

Setelah semua elector terpilih, Adam akan berkumpul di ibukota negara bagian. Ia akan menentukan pemenang negara bagian California bersama 54 elector lainnya. Katakanlah dari 55 suara para elector itu, pendukung Trump menang dengan skor 28 berbanding 27.

Alhasil, karena menganut sistem the winner-takes-all, maka dalam perhitungan 55 electoral vote di California semuanya diberikan pada Trump. Suara Adam akan hangus begitu saja. Sistem ini membuat pemenang meraup semua jatah electoral vote di tingkat negara bagian, tak peduli jika selisih kemenangan itu 50,1 persen berbanding 49,9 persen sekalipun.

Atas dasar inilah muncul kutipan “Demokrasi tidak lebih adalah pemerintahan oleh segerombolan massa, di mana 51 orang akan mengambil hak-hak dari 49 gerombolan massa lainnya.”

Sistem the winner-takes-all hanya berlaku pada 48 negara. Dua negara bagian, Maine dan Nebraska tidak menggunakan sistem ini tetapi sistem voting proporsional. Contohnya, Maine mempunyai 4 electoral vote untuk dua distrik. Tiap distrik punya satu jatah electoral vote dan dua sisanya diberikan pada kandidat yang memperoleh suara terbanyak.

Sistem Pemilu AS

Menurut dosen Fisipol Universitas Gajah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro, dalam jurnalnya "Pemilihan Presiden Amerika Serikat dan Hikmahnya Bagi Indonesia" (2000) yang merunut konteks historis Electoral College, para founding fathers AS dihadapkan pertanyaan sulit memilih presiden dalam negara yang:

(1) terdiri atas 13 negara bagian besar dan kecil, yang sangat memperhatikan hak-hak mereka sendiri dan sekaligus curiga pada kekuatan pemerintah federal; (2) memiliki penduduk sejumlah 4 juta jiwa yang tersebar di sepanjang ribuan mil daerah pesisir Atlantik, yang hampir-hampir tidak dihubungkan dengan alat transportasi dan komunikasi yang memadai; serta (3) dipengaruhi oleh keyakinan kuat bahwa para gentleman seharusnya tidak berkampanye untuk jabatan publik (“the office should seek the man, the man should not seek the office”).

“Bagaimana selanjutnya memilih presiden tanpa partai-partai politik, tanpa kampanye nasional, dan tanpa meruntuhkan keseimbangan yang didesain dengan sangat cermat antara presiden dan Kongres di satu sisi dan antara negara-negara bagian dengan pemerintah federal di sisi lainnya?” tulis Yuliantoro.

Untuk mencari solusi, Kongres lalu membuat Konvensi Konstitusi untuk memilah metode pemilihan presiden. Gagasan pertama, presiden akan dipilih secara langsung oleh Kongres dan Badan Legislatif setiap negara bagian. Sistem ini mirip seperti pemilihan Indonesia di era Orde Baru. Gagasan ini ditolak karena dikhawatirkan mengundang tawaran politik yang tidak sah dan merusak keseimbangan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif di pemerintahan federal.

Usulan lain muncul terkait pemilihan presiden secara langsung. Hanya sedikit delegasi yang setuju. Alasan mereka yakni keraguan terhadap rakyat, sekaligus ketakutan bahwa tanpa informasi yang cukup mengenai para kandidat dari luar negara bagian, masyarakat suatu negara bagian akan secara natural memilih “putra daerah” yang berasal dari negara bagian mereka sendiri.

Ada pula kekhawatiran pilpres langsung hanya akan membuat negara besar dan berpenduduk banyak mendominasi pemerintahan dan mengesampingkan negara-negara bagian yang kecil. Ditakutkan terhimpun pula koalisi di antara negara-negara bagian besar membentuk "regionalisme" dari kalangan mereka sendiri.

Setelah berdebat panjang, maka dipilihlah sistem Electoral College. Harapannya, sistem ini bisa mengurangi “kecurangan, intrik, dan korupsi” dalam proses pemilu.

Politikus David Barton dalam bukunya The Electoral College: Preserve It or Abolish It? menjelaskan mengapa sistem ini yang akhirnya dipilih. Menurutnya, sistem ini memiliki dua filosofi, yakni memelihara bentuk pemerintahan republik dan menyeimbangkan kekuasaan antarnegara bagian dan antardaerah dengan luas wilayah dan latar belakang yang berbeda.

Meski sudah diterapkan hingga 200 tahun lamanya, bukan berarti sistem Electoral College ini tanpa cela. Banyak kritik dan tentangan terhadap sistem ini. Sistem ini memungkinkan terpilihnya presiden minoritas yang kalah dalam popular vote tetapi menang dalam electoral vote.

Mereka adalah Andrew Jackson pada pilpres 1824, Samuel Tilden pada pilpres 1876, Grover Cleveland yang menang dalam pemungutan suara pilpres 1888. Dan, terakhir George W Bush yang menyingkirkan Al Gore pada pilpres 2000.

Risiko lain dari Electoral College adalah munculnya faithless elector/unfaithfull elector. Bisa saja saat Cindy menunjuk Adam untuk memilih Hillary, tiba-tiba Adam berbelot dan malah memilih Trump. Fenomena ini amat jarang terjadi, dari 18.000 elector, tercatat baru ada 9 faithless elector.

Kritik lain: sistem ini hanya menguntungkan dua partai besar yakni Republik dan Demokrat serta menciutkan nyali partai-partai lain atau kandidat independen. Itu artinya stok kandidat yang ada pun amat minim.

Bagi para penentang Electoral College, sistem ini jelas telah kuno, anti-demokrasi, tidak adil, tidak akurat, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mereka menuntut pemilihan langsung lebih rasional untuk dilakukan.

Selama 200 tahun terakhir, tercatat 700 proposal telah diajukan kepada Kongres untuk memperbaiki atau bahkan menghapus Electoral College. Tidak satu pun proposal itu diloloskan oleh Kongres.

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani