Menuju konten utama

Negeri Paman Sam yang Terbelah karena Hillary dan Trump

Baper saat pemilihan umum tak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat pun panasnya iklim pilpres terasa di media-media sosial. Tak jarang akun yang ada pada daftar teman di-unfriend atau bahkan di-block. Pilpres membuat Amerika Serikat kian terbelah.

Negeri Paman Sam yang Terbelah karena Hillary dan Trump
Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - “Saya tak bisa mendengar atau membaca apapun yang Trump katakan tanpa merasa mual. Dia sungguh beracun—kukira tak ada tokoh lain membuatku bereaksi seperti ini. Jadi, saya akan jujur, jika ada orang yang kukenal memilihnya, rasanya saya tak akan bisa melihat mereka seperti sebelumnya […] Unfriend saya sekarang, tapi jangan meninggalkan komentar membelanya di sini di wall saya.”

Devi Asmarani, editor pada situsweb feminis Magdalene.co menuliskan kalimat itu di laman Facebook-nya. Ia kini memang sedang berada di tengah panasnya situasi politik Amerika Serikat sebagai mahasiswa John Hopkins University. Menjelang hari-H, Hillary Clinton dihajar skandal email, meski FBI kemudian menyatakan ia bersih. Donald Trump pun tak kurang kehebohan. Ia bahkan dituduh telah memperkosa anak berumur 13 tahun, di antara setumpukan kasus lain.

Tapi saling-serang tak hanya ada di berita-berita media maupun konten-konten banyak situsweb. Ketegangan merembet ke level personal lewat akun-akun media sosial. Devi adalah salah satu yang gerah dengan argumen pendukung Donald Trump. Sebanyak 39 persen responden pada survei PEW, menghapus pertemanan bahkan memblok teman Facebook karena terlalu banyak membuat kiriman soal politik. Devi adalah salah satunya, terlebih karena ia menganggap tak ada yang bisa dirasionalisasi dari keputusan seseorang untuk memilih Donald Trump.

“Membandingkan kasus email dengan banyaknya kasus hukum yang dihadapi Donald Trump—universitasnya yang menipu mahasiswa, kasus-kasus bankrut bisnis-bisnisnya, kasus sexual assault-nya, rasismenya, penolakan dia untuk membuka tax return-nya (dan dia tidak bayar pajak selama belasan tahun, effectively, tax fraud)—saya rasa seperti membandingkan apel dan buah busuk yang jatuh di jalan dan sudah dilindas oleh mobil berkali-kali.”

Devi memang tak punya hak pilih pada pilpres. Tapi, ia merasa sangat peduli dengan Amerika Serikat karena sejak SMA ia mengikuti program pertukaran pelajar dan bersekolah di Ohio, sebelum akhirnya kuliah program sarjana di University of North Alabama. Ia tinggal di AS pada usia pembentukan sehingga merasa punya keterikatan dengan situasi politik AS.

“Amerika itu 'tanah air' kedua saya,” tulis Devi dalam teksnya kepada Tirto.id.

Soal Amerika Serikat yang terbelah, Devi juga punya penjelasan menarik. Menurut Devi, keterbelahan masyarakat Amerika tak terjadi serta-merta karena pilpres. Ada perubahan sosial-budaya yang melatarinya.

“Amerika yang sekarang lebih 'politically correct' dan mengakomodir perbedaan gaya hidup dan pilihan individual, termasuk terhadap masyarakat LGBT,” katanya. “Pergeseran ini menyebabkan friksi, terutama bagi mereka yang merasa terancam eksistensinya dalam tatanan masyarakat yang lebih terbuka dan beragam.”

Rasa keterancaman dan ketakutan ini, menurut Devi, dieksploitasi oleh Partai Republik. Partai yang biasanya fokus pada isu ekonomi bebas dan anti-proteksionisme, juga isu-isu konservatisme sosial (anti-aborsi dan nilai-nilai keluarga, misalnya) jadi lebih menyoroti pergeseran nilai dan meningkatnya proporsi dan peran warga etnis minoritas dalam kehidupan sosial dan ekonomi

“Tidak bisa dipungkiri bahwa Partai Republik lewat politikus-politikus dan kampanye mereka yang membesarkan kelompok konstituen yang akhirnya mengantar Donald Trump ke posisi dia saat ini,” lanjutnya.

Bagaimana dengan pemilih Trump? Seorang pria asal Indonesia pemegang paspor AS, Airlangga Wattimena, menyatakan sikap yang berseberangan dengan Devi. Pria yang jadi warganegara sejak 2010 ini akan memilih Trump justru karena dianggapnya rasional.

“Misalnya Trump disebut sebagai anti-imigran, padahal kalau kita simak dengan jelas perkataan sesudahnya adalah dia tidak mendukung imigran gelap. Dan itu sangat logis. Karena imigran gelap bekerja dengan leluasa disini, meraup billions of dollars, TIDAK bayar pajak,” tulis Airlangga kepada Tirto.id.

Memang, Airlangga mengaku ia akan memilih Trump lebih karena statusnya sebagai anggota Partai Republik. “Saya milih Trump bukan karena saya suka (walaupun ada wacana yang saya sukai), tapi saya lebih memilih badan Republikannya itu sendiri.”

Ia juga bilang sebenarnya lebih menyukai calon dari Partai Libertarian, Gary Johnson, tapi sebagai seorang Republikan, ia tak bisa memilih Johnson.

Dua Kutub Politik di Amerika

Kedua pendapat itu, meski datang dari diaspora Indonesia, kira-kira bisa menjadi gambaran dua kutub pendapat yang sulit direkonsiliasikan. Pendapat Devi mewakili pendapat yang umum dari kaum liberal, meski tak sedikit juga yang meragukan keliberalan Hillary Clinton.

Pendapat Airlangga mewakili kaum Republikan yang meski tak melihat Trump sebagai calon yang mendekati ideal, tetap akan memilih Trump karena partai sudah menentukannya sebagai calon presiden mereka.

Kesetiaan terhadap partai macam yang ditunjukkan Airlangga mungkin agak ganjil bagi kebanyakan orang Indonesia yang tak terlalu akrab dengan istilah “kader partai”. Kader-kader partai di Amerika yang setia biasanya akan tetap ikut keputusan partai meski sebetulnya ia tak terlalu sreg dengan si calon.

Infografik Pilpres AS

Di Amerika Serikat, menurut Uly Siregar, fenomena kader yang setia semacam itu adalah hal yang umum. Wartawan dan dosen pemegang visa permanen AS ini mencontohkan suaminya. Paul, sang suami, adalah mantan dosen di Arizona State University dan juga anggota Partai Republikan. Sebagai orang berpendidikan, menurut Uly, suaminya paham bahwa Donald Trump bukanlah calon presiden yang pantas.

“Tapi bagaimanapun kan dia registered Republican. Jadi, sampai sekarang ia merahasiakan pilihannya. Mungkin ia memilih Trump tapi pilihan itu membuatnya malu,” kata Uly.

Jika malu dengan Trump, mengapa tak memilih Hillary?

Soalnya adalah ideologi. Anggota Partai Republik biasanya menjadi Republikan karena preferensi dan ideologinya. Seorang Republikan yang mempercayai nilai-nilai konservatif tak akan memilih Hillary karena Demokrat selama ini mempromosikan nilai-nilai liberal yang tidak bisa tak diiyakan oleh seorang konservatif. Tuntutan agar perempuan bisa menentukan aborsi atau tidak adalah salah satu contohnya.

Dengan polarisasi ideologi semacam itu, seberapa besar pun kontroversi dan saling-serang di media sosial akan sulit mengubah pilihan seseorang. Termasuk di media sosial. Berdasarkan survei di PEW Research, hanya 9 persen pengguna medsos yang benar-benar terbantu memahami kandidat dalam pertandingan elektoral.

Lily Santoso, pemegang visa permanen yang lain, tahu betul bahwa mengubah keyakinan politik seseorang adalah hal yang hampir mustahil.

“Saya punya teman dan keluarga konservatif dan liberal. Banyak dari mereka adalah orang-orang baik dan sangat baik. Setelah Trump menjadi nominasi Republican National Committee, saya berhenti memposting soal politik. Kebanyakan orang telah menentukan pilihannya. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengubahnya.” Lily sendiri, meski tak punya hak pilih, adalah pendukung Hillary yang tadinya kerap mengekspresikan pendapat politiknya.

Lily menganggap pilpres kali ini adalah yang terparah sentimennya. "Selama ini [pembicaraan pilpres] yang ada di media sosial bukanlah percakapan politis, melainkan lomba teriakan, juga kebohongan. “Bukan hanya di sisi Republik, tapi juga Demokrat,” katanya.

Meski mengiyakan pada pilpres-pilpres sebelumnya friksi juga kencang, menurutnya sekarang menjadi terburuk karena lebih kasar. "Mulai dari pengumpatan, kasus email Hillary yang digarap FBI 11 hari sebelum pemilu, juga tuduhan terhadap Trump sebagai pelaku pemerkosaan, dan seterusnya."

Dan pendapat Lily senada dengan beberapa tulisan di media yang menguatirkan perselisihan pilpres yang amat kentara. The New Yorker memberi contoh diserangnya kantor Partai Republik di Hillsborough, North Carolina, yang dilempari bom molotov. Dinding luar gedungnya diberi simbol swastika dengan piloks beserta tulisan: “Nazi Republicans leave town or else.”

Dalam laporan berjudul “Is Reconciliation Possible After The Election?” itu, dipetakan juga kemungkinan pendukung Trump marah jika kalah. Mereka kemungkinan akan menganggap Hillary yang kemungkinan akan menang, tak seharusnya berkantor di gedung Oval, melainkan di penjara. Sebaliknya, jika Hillary menang, pendukungnya akan jemawa, menganggap diri telah menyelamatkan Amerika dari fasisme.

Banyak upaya dilakukan agar mencegah ketegangan. Salah satunya adalah upaya Will Cohen, seorang eksekutif periklanan digital. Ia membuat media sosial bernama Bridges yang menghubungkan seseorang justru bukan dengan temannya, melainkan dengan orang-orang yang berbeda identitas, ideologi, dan pandangan politik.

“Bahkan setelah pilpres berakhir, orang-orang ini tak akan berlalu. Mereka akan tetap merasakan perasaan yang sama, kemarahan yang sama, dan ketakpercayaan yang sama (siapapun yang menang), kata Cohen. Dan seperti namanya, Bridges ingin berfungsi menjadi jembatan di antara orang-orang berseberangan itu.

Eric Liu dari The Atlantic menawarkan cara yang nyeleneh untuk mengatasi perpecahan ini. Selain harus lebih mendengarkan dan melayani secara substansial, yang terpenting menurutnya orang Amerika justru harus berdebat lebih banyak. Orang keliru jika menyalahkan pertentangan disebabkan perdebatan, katanya.

“Kita bukan harus mengurangi perdebatan, kita harus mengurangi debat-debat yang bodoh,” tulis Liu.

Mengapa bodoh? Sebab orang-orang Amerika terpaku dalam kerangka dua-partai, gagal mempertanyakan asumsi dasar dari kapitalisme atau pemerintahan, fokus pada pertempuran simbolik dan yang ada di permukaan.

Maka, rekonsiliasi pasca-pilpres nanti benar-benar harus menjadi rekonsiliasi orang dewasa. Menurut Liu, orang-orang tak perlu berdamai. Sebab rekonsiliasi justru merupakan pertempuran. Tapi pertempurannya harus berguna: membuat orang-orang lebih jujur, lebih terbuka pada perdebatan, dan lebih manusiawi.

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Indepth
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti