Menuju konten utama

Setyo: Kapolri & Densus Satu Suara Soal Definisi di RUU Terorisme

Densus 88 dianggap jadi satu-satunya pihak yang tidak setuju dengan definisi terorisme.

Setyo: Kapolri & Densus Satu Suara Soal Definisi di RUU Terorisme
Tim Densus 88 mengamankan istri terduga Teroris saat dilakukan penggerebekan di Gempol, Tangerang, Banten, Rabu (16/5/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

tirto.id - Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Setyo Wasisto mengatakan tidak ada perbedaan pendapat antara Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan bawahannya, dalam hal ini Densus 88 Antiteror tentang definisi dari terorisme dalam RUU Terorisme.

Menurut Setyo, pendapat Densus 88 adalah pendapat Kapolri, sebab semua selalu satu komando. Hal ini dikatakan Setyo di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Selasa (22/5/2018).

“Jadi kalau Kapolri sudah katakan A, sampai ke bawah A. Jadi enggak ada Densus, Kapolri beda, enggak ada,” tegasnya.

Hal ini merujuk pada pernyataan Ketua Pansus RUU Terorisme, M. Syafii yang mengatakan seluruh pihak telah sepakat mengenai definisi terorisme, termasuk Tito. Namun, ada satu pihak yang tidak sepakat, yaitu Densus 88.

Syafii memakai bukti surat Kapolri Nomor : B/5830/XI/2016 tanggal 23 November 2016. Isinya adalah: 1) Terorisme adalah kejahatan terhadap negara dan 2) Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap sasaran sipil (non-kombatan) dengan motif ideologi atau politik.

Menurut Syafii, melalui surat itu, Tito menyetujui adanya muatan ideologi dan politik dimasukkan dalam definisi terorisme. Namun, Densus 88 tak menyetujui hal itu.

Setyo mengakui bahwa ada beberapa hal yang tidak sesuai menurut Polri, yaitu tentang frasa ideologi, politik, dan keamanan negara.

“Memang kemarin ada sedikit perbedaan pandangan tentang adanya frasa ideologi, politik, dan keamanan negara yang masuk di dalam definisi. Tapi rencana besok akan dirapatkan lagi. Moga-moga sudah ada titik temu,” katanya.

Selain pernyataan Densus 88 dan Setyo berbeda dengan surat Tito pada 2016 lalu, frasa keamanan negara juga bertentangan dengan definisi terorisme versi Panglima TNI Hadi Tjahjanto.

Jika frasa 'keamanan negara' dimasukkan dalam definisi terorisme, TNI jadi mempunyai kewenangan karena pengamanan negara sesuai dengan tugas TNI.

Dalam kesempatan berbeda, Tito menyatakan sudah menyetujui TNI untuk turut serta dalam penanganan terorisme. Namun, Setyo menegaskan, pernyataan Tito tersebut berarti TNI bertugas membantu Polri karena penanganan terorisme adalah tugas penegak hukum.

“Enggak ada masalah [TNI ikut tegakkan terorisme]. Bahkan Pak Kapolri sampaikan beliau sudah kontak langsung Panglima TNI untuk pelibatan dari Kopassus untuk bantu tim Densus 88 yang sekarang bergerak melakukan operasi penegakkan hukum,” kata Setyo.

“Bersama-sama, tapi tetap polisi yang di depan,” tambahnya.

Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia KontraS, Raden Arif Nur Fikri mengatakan, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme tak bisa dibenarkan. Sebab, kejahatan terorisme adalah tindak pidana yang masuknya dalam ranah penegakan hukum.

Arif merasa janggal apabila Densus 88 tetap ada, sedangkan TNI sudah dilibatkan. Ia menganggap, meski draft RUU Terorisme saat ini sudah menyetujui keterlibatan TNI, tapi tetap harus diatur kewenangannya.

"Karena TNI itu sifatnya operasi militer. Apabila ada kasus terorisme dan TNI dilibatkan, mengapa ada Densus 88? Langsung saja kirim anggota TNI untuk operasi militer," jelas Arif kepada Tirto pada Sabtu (19/5/2018).

Pembahasan RUU Terorisme akan kembali dilanjutkan pada Rabu (23/5/2018) dengan agenda pembahasan definisi. Sehari setelahnya akan digelar rapat mini fraksi dan pada Jumat di minggu yang sama akan digelar Rapat Paripurna pengesahan oleh DPR.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TERORISME atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra