tirto.id - Ketua DPR Setya Novanto kembali dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (e-KTP) periode 2011-2012.
"Setya Novanto diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Sugiharto," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, sebagaimana dikutip Antara, Rabu (4/1/2017).
Setya Novanto yang biasa dipanggil Setnov itu belum memenuhi panggilan KPK. Pemanggilan tersebut adalah yang kedua kalinya setelah pemanggilan pada 13 Desember 2016. Saat itu Setnov mengaku memberikan klarifikasi terkait sejumlah hal mengenai proyek e-KTP.
"Alhamdulillah saya begitu bahagia dan senang karena sudah bisa memberikan penjelasan klarifikasi secara keseluruhan," kata Setnov saat pemanggilannya yang pertama, Selasa (13/12/2016).
Pada 2011-2012 saat proyek e-KTP berlangsung, Setya Novanto menjabat Bendahara Umum Partai Golkar sekaligus Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Saat ini Setnov adalah Ketua Umum Partai Golkar.
Ia pun membantah adanya uang yang diberikan kepada anggota Komisi II DPR selaku mitra Kemendagri dalam proyek e-KTP tersebut. "Tidak benar itu, tidak benar [uang ke Komisi II]," jawab Setnov singkat.
Selain Setnov, KPK pada hari ini juga memanggil Direktur PT. Gajendra Adhi Sakti Azmin Aulia, wiraswasta Afdal Noverman, auditor Madya Badang Pengawas Keuangan dan Pembangunan Mahmud Toha Siregar.
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin melalui pengacaranya Elza Syarif pernah mengatakan bahwa proyek e-KTP dikendalikan Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Setya Novanto, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dilaksanakan oleh Nazaruddin, staf dari PT Adhi Karya Adi Saptinus, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Pejabat Pembuat Komitmen.
Pihak-pihak yang tampak dalam dokumen Elza, yaitu Andi Narogong dan Nazaruddin dalam kotak berjudul "Pelaksana" dengan anak panah ke kotak berjudul "Boss Proyek e-KTP" yang berisi nama Novanto dan Anas Urbaningrum.
Kotak bagan "Boss Proyek e-KTP" itu lalu menunjukkan panah ke tiga kotak bagan. Kotak pertama berjudul "Ketua/Wakil Banggar yang Terlibat Menerima Dana" berisi nama (1) Mathias Mekeng senilai 500 ribu dolar AS, (2) Olly Dondo Kambe senilai 1 juta dolar AS, dan (3) Mirwan Amir senilai 500 ribu dolar AS.
Kotak kedua berjudul "Ketua/Wakil Ketua Komisi II DPR RI yang "Terlibat Menerima Dana" berisi nama (1) Haeruman Harahap senilai 500 ribu dolar AS, (2) Ganjar Pranowo 500 ribu dolar AS, dan (3) Arief Wibowo 500 ribu dolar AS.
Terakhir, kotak ketiga tanpa judul berisi nama (1) Mendagri (Gamawan/Anas), (2) Sekjen (Dian Anggraeni), (3) PPK (Sugiarto), dan (4) Ketua Panitia Lelang (Drajat Wisnu S).
Sudah ada dua tersangka dalam kasus ini yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen Sugiharto.
Irman dan Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Irman diduga melakukan penggelembungan harga dalam perkara ini dengan kewenangan yang ia miliki sebagai Kuasa Pembuat Anggaran (KPA).
Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat kasus korupsi e-KTP itu adalah Rp2,3 triliun karena penggelembungan harga dari total nilai anggaran sebesar Rp6 triliun.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari