tirto.id - Mantan Ketua DPR Setya Novanto mengakui bahwa dirinyalah yang memperkenalkan pemegang saham Blackgold Natural Resources Johannes B Kotjo ke Wakil Ketua Komisi 7 DPR Eni Maulani Saragih.
Hal itu ia sampaikan dalam sidang lanjutan kasus suap terkait kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 dengan terdakwa Johannes Kotjo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (1/11/2018).
"Iya pernah [mengenalkan], kalau enggak salah akhir 2016, kalau enggak salah," kata Setnov di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis (1/11/2018).
Mantan Ketua Umum Golkar ini menceritakan, perkenalan itu terjadi di ruang kerja ketua fraksi Golkar. Kala itu memang Novanto masih belum jadi Ketua DPR. Kotjo mendatangi dirinya, untuk menanyakan perihal pertambangan.
"Kebetulan beliau mau tahu masalah tambang. Saya bilang kalau masalah tambang itu kerjanya dengan Komisi VII," kata Novanto kepada Jaksa.
Kebetulan saat itu pimpinan Komisi VII DPR dari fraksi Golkar, Satya Widya Yudha sedang tak ada di tempat. Kemudian Novanto mengenalkan Kotjo dengan anggota Komisi VII DPR dari fraksi Golkar Eni Maulani Saragih.
Kelak Eni Maulani Saragih ikut tercokok dalam operasi tangkap tangan KPK, dan jadi tersangka kasus dugaan suap terkait proyek bernilai 900 dolar AS ini.
Walau begitu, Novanto mengaku dirinya hanya mengenalkan saja. Setelah keduanya bertemu ia mengaku harus bertemu tamu lain jadi tak ikut dalam pembicaraan Eni dan Kotjo.
"Waktu kenalan, seingat saya, saya ada tamu yang lain, jadi kelanjutannya secada detail saya enggak tahu lagi," ujarnya.
Dalam kasus ini, Jaksa KPK mendakwa Johannes Kotjo telah memberikan uang sebesar Rp 4,75 Milyar ke Eni Saragih dan Idrus Marham guna memuluskan niatnya mengerjakan proyek pembangunan PLTU MT Riau-1.
Atas perbuatannya ini Kotjo didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dipna Videlia Putsanra