tirto.id - Tsunami "senyap" yang diduga berasal dari longsoran vulkanik Gunung Anak Krakatau (GAK) yang terjadi di Selat Sunda pada Sabtu (22/12) tak terbaca sistem peringatan dini tsunami BMKG. Kondisi ini mendorong Badan Pengkaji dan Penerapan Tektonologi (BPPT) melempar wacana proyek pengadaan buoy pendeteksi tsunami.
Dalam rilis BPPT yang disiarkan di situs resmi dan unggahan akun Twitter pada 28 Desember 2018, mereka menyatakan kesanggupannya untuk memasang tiga buoy di kompek Anak Krakatau. Tujuannya sebagai langkah antisipasi dan mitigasi bencana letusan Gunung Anak Krakatau yang bisa saja masih berpotensi menimbulkan tsunami.
“BPPT siap untuk men-deploy BUOY di Anak Krakatau. BUOY ini penting sebagai peringatan dini, agar penduduk di wilayah berpotensi tsunami, memiliki waktu untuk dapat evakuasi ke shelter terdekat " kata Hammam Riza Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT di Kantor BPPT, Jakarta, Senin (31/12/2018).
Rencana pemasangan tiga buoy tersebut tertulis masing-masing di antara Pulau Sertung dan Pulau Panjang, Pulau Panjang dengan Pulau Krakatau, dan antara Pulau Krakatau dan Pulau Sertung. Proyek tersebut dinamai Buoy Merah Putih. Dengan hitungan awam kecepatan gelombang tsunami antara 500 sampai 700 kilometer per jam, minimal ada waktu 10 sampai 15 menit bagi masyarakat pesisir melakukan evakuasi ke shelter terdekat.
Buoy adalah sebuah perangkat pendeteksi tsunami yang dipasang dari jarak 100 hingga 200 kilometer dari pantai. Ada dua alat yang bekerja, di permukaan dan di dasar laut. Buoy yang mengapung di permukaan laut fungsinya memberikan informasi level muka air laut dan mengirimkannya ke pusat penerima di darat. Data level muka laut diperoleh dari sensor yang ada pada perangkat di dasar laut bernama Ocean Bottom Unit (OBU).
Indonesia memiliki delapan buoy yang dibangun BPPT merespons gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 yang merenggut puluhan ribu nyawa. Delapan unit buoy dibikin dan dipasang oleh BPPT diberi nama InaBuoy mulai tahun 2006 di barat Simeulue Aceh, Mentawai, barat Bengkulu, Pelabuhan Ratu Sukabumi, Cilacap, Bali, Laut Flores, dan Laut Banda.
Namun alat senilai milyaran rupiah itu saat ini kondisinya sudah rusak dan tidak berfungsi lagi sejak 2013 dan 2014-an. Kombinasi faktor hilang, dicuri, vandal dan tidak adanya biaya perawatan menjadi penyebab InaBuoy tidak lagi eksis.
Dilansir dari Tempo, ada dua biaya anggaran buoy di BPPT yang tidak lagi ada. Pertama, biaya perawatan buoy di laut untuk kapal berlayar untuk memperbaiki selama lima hari bisa menghabiskan dana satu miliar rupiah. Kedua, adalah mahalnya ongkos komunikasi alat yang datanya dikirim via satelit.,
Absennya buoy menyebabkan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Tsunami (InaTEWS) yang dikelola Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sejak 2008 (PDF) menjadi kehilangan salah satu kakinya. Ini mengharuskan BMKG memprediksi potensi tsunami setelah gempa berdasarkan metode pemodelan. Perkiraan tsunami dihitung dalam perangkat lunak, berdasarkan pusat kedalaman dan magnitude gempa.
Selain proyek Buoy Merah Putih, BPPT juga merilis rencana proyeksi pengembangan InaTEWS 2019- 2022 dengan pembangunan sistem kabel bawah laut Cable Based Tsunameter (CBT) bersama delapan buoy tambahan yang disebar di beberapa titik di perairan Indonesia. CBT akan melengkapi kemampuan buoy agar InaTEWS semakin akurat.
Mendapat Kritik
Penjelasan BPPT yang menyebut akan menempatkan tiga buoy sekaligus di komplek Anak Krakatau ternyata mendapat kritik dari sejumlah geolog ahli tsunami. Aditya Riadi Gusman, peneliti tsunami Indonesia dari GNS Science Selandia Baru menyebut, pemasangan tiga buoy sekaligus di lingkungan Anak Krakatau dinilai terlalu berlebihan dan memakan biaya besar.
"Cukup pasang tide gauge di pulau-pulau kecil sekeliling gunung Anak Krakatau saja," ujar Aditya kepada Tirto pada Senin (31/12/2018) petang.
Menurut Adit, area sekitar Anak Krakatau adalah perairan dangkal. Tiga buoy yang dipasang menjadi rawan terkena jangkar atau jala aktivitas nelayan yang mencari ikan. Belum lagi, karena buoy menggunakan baterai, alat harus mendapat perawatan tiap tahun menggunakan kapal riset seperti saat memasang. Beberapa kendala tersebut dikhawatirkan akan mengulang kejadian InaBuoy di Samudera Hindia yang akhirnya terbengkalai dan mati.
Aditya lebih setuju proyek pengembangan InaTEWS 2019 - 2022 yang menargetkan pemasangan delapan buoy dan sistem CBT dibanding harus memusatkan pemasangan tiga buoy di sekitar Anak Krakatau. "Jumlah delapan buoy itu lebih realistis. Saya mendukung," ujarnya.
Dalam usulan BPPT, mereka menempatkan delapan buoy masing-masing di Sabang, Sukabumi, Yogyakarta, Bali, NTT, Banda, Manado dan Papua. Sementara untuk penempatan CBT meliputi tiga segmen wilayah, Lampung - Jawa Barat sepanjang 929 kilometer, Surabaya - Lombok jalur selatan sepanjang 730 kilometer, dan Bali - Lombok jalur utara sepanjang 225 kilometer.
Sama dengan buoy, tide gauge adalah alat pengukur perubahan pasang surut air laut termasuk tsunami. Bedanya, tide gauge dipasang di pantai dan tidak memakan biaya perawatan tinggi layaknya buoy. Data-data yang dihasilkan oleh sensor tide gauge disimpan ke dalam mesin pencatat data di box panel dan mengirimkannya ke Badan Informasi Geospasial (BIG) dan BMKG.
Kritik juga datang dari internal BPPT. Peneliti tsunami dan Perekayasa di BPPT Widjo Kongko, tidak setuju dengan rencana pemasangan tiga buoy sekaligus di lingkungan Anak Krakatau. Saat Tirto mengkonfirmasi rencana proyek Buoy Merah Putih kepada Widjo pada Senin (31/12/2018), ia justru mengaku baru tahu perihal tersebut.
Widjo tidak lantas setuju dengan rencana lembaganya memasang tiga buoy sekaligus di lingkungan Anak Krakatau seperti yang tertera pada rilis. Sama seperti usulan Aditya, Widjo lebih menyarankan pemasangan tide gauge ketimbang tiga buoy yang bakal membutuhkan dana besar dan harus didahului dengan kajian simulasi model.
Selain itu, Widjo berujar seharusnya pemasangan buoy harus mengedepankan pertimbangan banyak faktor sekaligus seperti zona sumber gempa bumi megathrust atau tsunami, terget zona pesisir atau pulau-pulau yang berisiko tinggi, lokasi dalam jaringan buoy global serta aspek operasional dan perawatan.
Belum Matang
Rencana proyek Buoy Merah Putih yang kadung tersebar di rilis media itu menurut Iyan Turyana, Pakar Teknik Kelautan di Laboratorium Otomasi BPPT, baru sekedar ide awal yang masih mentah. Bahkan lokasi penempatan buoy belum dikonfirmasi dengan para ahli dan masih sangat mungkin berubah.
“Bahwa ide BPPT ingin berpartisipasi dalam hal menenangkan masyarakat jika terjadi musibah lagi dan meminimalisir jatuh korban jiwa itu jelas dan pasti. Tetapi tentang apakah nanti ada buoy, berapa buoy, mau sistem kabel atau lainnya itu semua masih dalam pembicaraan internal kami. Kami juga perlu melihat dana kami. Ini yang masih belum matang,” ujar Iyan kepada Tirto pada Rabu (2/1) petang.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT Hammam Riza saat dikonfirmasi pada 31 Desember 2018 meralat dengan menyebut bahwa lokasi pemasangan tiga buoy tidak sama persis dengan gambar rilis yang kadung tersebar luas di publik. Hammam menyebut, tiga buoy yang dipasang mencakup di sekitar Anak Krakakatau dan di zona subduksi Sunda.
Kini, buoy yang sedang dikerjakan oleh BPPT di Geostech Puspiptek Tangerang Selatan adalah InaBuoy generasi ketiga dan belum pernah ditempatkan di perairan. Bila harus dipasang di sekitar Anak Krakatau, Iyan selaku insinyur mekanik InaBuoy menyebut bakal ada perombakan untuk menyesuaikan perairan dangkal.
Yang pasti, untuk merealisasikan proyek Buoy Merah Putih yang juga sudah dikoordinasikan dengan BMKG, BPPT butuh dana besar. Hammam Riza menyebut, pihaknya butuh dana sebesar Rp15 miliar untuk realisasi pembuatan dan pemasangan tiga buah buoy.
"Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Kementerian Keuangan semoga mau menyediakan (dana). Saya akan usahakan dana semaksimal mungkin," ujar Hammam.
Editor: Suhendra