tirto.id - Wilayah Palu dan Donggala diguncang gempa bumi berkekuatan 7,4 SR pada Jumat (28/9/2018) pukul 17.02 WIB. Gempa ini lantas menyebabkan tsunami yang terjadi pada pukul 17.22 WIB. Berdasarkan data pantauan BMKG ditambah informasi dari saksi lapangan, ketinggian tsunami mencapai 1,5 meter.
Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan korban meninggal dunia akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah hingga Rabu (3 Oktober 2018) pukul 13.00 WIB mencapai 1.407 orang.
Korban meninggal dunia terbanyak ditemukan di Kota Palu, yakni mencapai 1.177 orang. Sementara itu, 153 orang korban meninggal ditemukan di kabupaten Donggala, 12 orang di Parigi Moutong, dan 65 orang di kabupaten Sigi.
Di kesempatan lain, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto mengatakan bahwa alat pendeteksi tsunami tide gauge di Palu belum efektif memprediksi tsunami sebab alat tersebut tak diperuntukkan khusus untuk mengukur tsunami. Padahal, tige gauge menjadi andalan untuk memprediksi tsunami di ibukota provinsi Sulawesi Tengah tersebut.
“Tige gauge memang bukan tide gauge yang dipasang untuk tsunami. Kalau tide gauge itu dipasang untuk tsunami maka bacaannya dibuat entah per 2 menit atau 3 menit, lebih sering. Karena tide gauge dipakai untuk pengukuran kadastral maka dia di-setting selama 15 menit,” katanya seperti dikutip Antara.
Ia lantas mengatakan bahwa penggunaan tide gauge saja tak cukup untuk mendeteksi terjadinya tsunami. “Tapi, katakanlah tide gauge itu ada dan dia membaca tsunami. Kalau yang membaca tide gauge itu artinya tsunami sudah sampai daratan, tidak ada waktu untuk menyelamatkan diri, jadi enggak ada gunanya,” ujarnya.
Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS)
Tide gauge seperti yang diungkapkan Eko Yulianto pada dasarnya memang bukan satu-satunya alat yang digunakan untuk mendeteksi terjadinya tsunami. Menurut Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami (PDF) keluaran Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika tahun 2012, Indonesia mempunyai Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang telah diluncurkan sejak tahun 2008. InaTEWS kini menjadi satu-satunya sistem peringatan dini tsunami yang berlaku di Indonesia.
InaTEWS mempunyai dua sistem pemantauan. Pertama adalah sistem pemantauan darat yang memanfaatkan alat seperti jaringan seismometer dan GPS. Selain itu, InaTEWS menerapkan sistem pemantauan laut lewat penggunaan tide gauge, buoy, CCTV, radar tsunami, dan kabel bawah laut.
Seismometer, dalam hal ini, merupakan alat pencatat dan pengukur getaran gempa bumi. Sementara itu, tide gauge adalah pengukur pasang surut air laut yang ditempatkan di pantai sebagai alat konfirmasi bahwa tsunami sudah sampai di pantai atau sudah reda.
Lebih lanjut, buoy yang juga dikenal sebagai tsunameter merupakan alat pengukur ketinggian tsunami di laut lepas. Alat ini terdiri atas dua komponen yang terpisah, yakni Ocean Botton Unit (OBU) dan buoy. OBU mampu mendeteksi perubahan tekanan air saat tsunami lewat sedangkan buoy yang mengapung di permukaan laut berfungsi untuk mengukur naik turunnya permukaan air.
Terakhir adalah radar tsunami yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi datangnya tsunami mulai jarak 150 km di tengah laut dan menuju pantai. Pancaran gelombang elektromagnetik pada frekuensi tinggi dari radar tsunami meningkatkan ketelitian dan kecepatan konfirmasi terjadinya tsunami.
Alat-alat di atas tak semuanya dikelola oleh BMKG sebagai badan resmi yang bertugas menyerukan peringatan dini tsunami. Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami menerangkan bahwa BMKG mengoperasikan jaringan seismometer, CCTV, dan radar tsunami, sedangkan Badan Informasi Geospasial (BIG) menjalankan jaringan GPS dan tide gauge.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di sisi lain, mengoperasikan jaringan buoy dan kabel bawah laut. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjalankan radar tsunami.
Meski begitu, TIMEmelaporkan bahwa saat ini sistem pemantauan InaTEWS yang bekerja hanya terdiri dari 134 stasiun pengukur pasang surut air laut ditambah dengan seismograf, sirene di 55 lokasi, dan sistem untuk menyebarkan peringatan melalui pesan singkat. Sebanyak 22 buoy yang ada di perairan Indonesia tak lagi berfungsi. Radar tsunami dan kabel bawah laut sejak tahun 2008 belum selesai dikembangkan.
Terkait gempa Palu, alat yang diandalkan hanya tide gauge. Data dari komponen sistem lain seperti buoy tak tersedia.
Perusakan dan pencurian menjadi penyebab buoy tak lagi beroperasi. Selain itu, TIME menjelaskan alat tersebut juga rusak karena kurangnya dana untuk perawatan. Di sisi lain, sistem peringatan dini tsunami dengan teknologi canggih sensor dasar laut dan gelombang suara serta kabel fiber optik di Indonesia kini belum terbentuk sempurna karena terbentur masalah pendanaan dan kesepakatan terhadap pembagian tanggung jawab di antara lembaga terkait.
Adanya kelemahan kerja sama antar-institusi kebencanaan di Indonesia lebih lanjut diakui oleh peneliti geofisika kelautan LIPI Nugroho Dwi Hananta. Kepada Tirto, ia mengatakan bahwa hambatan birokrasi menjadi persoalan yang membuat pengoperasian InaTEWS tak berjalan seperti yang direncanakan.
Nugroho menjelaskan bahwa sistem peringatan dini tsunami di Indonesia apabila disempurnakan akan memberikan data yang banyak dan akurat. Di sisi lain, ia juga menilai BMKG sebagai badan pusat terkait masalah gempa dan tsunami seharusnya memiliki tim ahli nasional yang mengurusi TEWS setiap hari.
“Jadi yang namanya TEWS itu kan [operasionalnya] seharian. Jadi, kan, harus ada timnya yang bekerja seharian. Expert-nya itu mikirin bagaimana supaya [sistem ini] jalan. Ini dari dulu tidak pernah terbentuk,” ujarnya.
Ia lantas mencontohkan Selandia Baru yang telah memiliki tim ahli di institusi yang memang mengurusi soal tsunami dan gempa.
“Kalau di Selandia Baru itu yang namanya tsunami center walaupun dikelola satu institusi tapi SDM dibantu semua. Ada expert system-nya. Malah yang setahu saya ada piket. Ahli tsunami atau atau gempa itu ada piketnya,” katanya.
Editor: Maulida Sri Handayani