Menuju konten utama

Tsunami Selat Sunda: Para Geolog Sudah Lama Meneliti Potensinya

Studi yang dipublikasikan Jurnal Geologi Indonesia pada 2008 menjabarkan potensi tsunami Selat Sunda.

Tsunami Selat Sunda: Para Geolog Sudah Lama Meneliti Potensinya
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau, di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 meter di atas puncak (sekitar 1.838 meter di atas permukaan laut). ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat/pras.

tirto.id - Gelombang tsunami dari Selat Sunda melanda area Banten dan Lampung khususnya di Anyer, Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Lampung Selatan pada Sabtu (22/12) malam sekitar pukul 21.27 WIB.

Awalnya, terjadi simpang-siur informasi terkait tsunami ini. Tsunami bertepatan dengan bulan purnama, sehingga BMKG sempat mengumumkan bahwa yang terjadi adalah gelombang pasang. Kemudian, informasi diralat: bukan gelombang pasang, melainkan tsunami yang terjadi karena gempa vulkanik dari letusan Gunung Anak Krakatau.

Dalam catatan Oregon State University, sekitar lima persen dari total penyebab tsunami berasal dari aktivitas vulkanik gunung berapi. Bagaimana aktivitas gunung berapi memicu gelombang tsunami?

Tsunami vulkanik dapat terjadi akibat runtuhnya kaldera, pergerakan tektonik dari aktivitas gunung berapi, atau peluruhan piroklastik dari gunung api yang mempengaruhi air laut.

Saat gelombang tsunami menerjang, status Gunung Anak Krakatau yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ada pada Level II atau waspada. PVMBG merekomendasikan masyarakat atau wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius dua kilometer dari kawah.

Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menjelaskan pada hari itu, sejak pukul 12.00 sampai 18.00 WIB, Gunung Anak Krakatau meletus sebanyak 423 kali. Tingginya intensitas letusan Anak Krakatau kemungkinan memunculkan dua hal yang dapat mengganggu kolom air sehingga tercipta gelombang tsunami.

Pertama, ada magma yang bergerak dari bawah ke atas dan menyebabkan tremor (getaran) yang bisa menggoyang dasar laut dan melongsorkan tebing-tebing bawah laut. Kedua, longsoran di pinggir gunung akibat lava yang berguguran dari puncak Anak Krakatau memicu terbentuknya gelombang tsunami.

“Karena semua tahu Krakatau sedang aktif dan bahkan letusannya intens sekali, dalam enam jam ada 423 kali letusan itu sudah luar biasa. Mestinya yang kayak gitu harus dikasih warning juga. Karena Krakatau berada di lautan, kemungkinan gugurnya lava dan menciptakan gelombang itu sangat mungkin,” ujar Sukmandaru kepada Tirto, Minggu (23/12).

Studi batimetri adalah salah satu cara yang menurut Sukmandaru dapat mengungkap penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda. Lewat studi batimetri, permukaan bawah laut dapat diteliti terkait ada tidaknya struktur pemicu gelombang tsunami. Pasalnya, jika benar terjadi longsoran di bawah laut, akan terlihat saat studi batimetri menunjukkan adanya gundukan baru.

“Itu [studi batimetri] sebenarnya enggak membutuhkan waktu lama,” pungkas Sukmandaru.

Sementara itu, citra radar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan adanya longsoran Anak Krakatau. Dikutip Kompas.com, dua citra yang membandingkan kondisi Anak Krakatau pada 11 Desember dan 23 Desember menunjukkan adanya perubahan permukaan sekitar 357 meter dari 1.800 meter.

Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hery Harjono, Anak Krakatau cenderung tumbuh ke arah barat daya dan sisi tersebut juga lebih curam dari lainnya. Jika dinding tersebut runtuh atau longsor, ia bisa memicu tsunami.

Pemodelan tsunami akibat runtuhnya dinding Anak Krakatau sebenarnya pernah dibikin oleh Thomas Giachetti dkk dalam penelitiannya berjudul “Tsunami Hazard Related to Flank Collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia” (PDF, 2012) yang diterbitkan oleh Geological Society di London, Inggris.

Dalam pemodelan tersebut, dinding Anak Krakatau yang terus tumbuh akan condong runtuh ke sisi barat daya bekas kaldera Krakatau 1883. Jika mengalami keruntuhan material sebesar 0,280 km3 saja, maka dapat memicu gelombang tsunami awal setinggi 43 meter. Gelombang tersebut dalam waktu kurang dari satu menit dapat mencapai Pulau Sertung, Panjang dan Rakata.

Gelombang kemudian menyebar secara radial dengan kecepatan rata-rata 80 sampai 110 km/jam dan mencapai pantai barat Jawa dalam waktu 35 sampai 45 menit setelah runtuhan. Kota-kota seperti Merak, Anyer dan Carita bakal terdampak tsunami dengan ketinggian maksimum 1,5 meter (Merak dan Panimbang) hingga 3,4 meter (Labuhan).

Menurut Thomas Giachetti, dkk., deteksi cepat dari lembaga observatorium gunung api bersama sistem peringatan di pantai sangat penting dalam mitigasi bencana tsunami akibat runtuhan dinding Anak Krakatau.

Selat Sunda Dikepung Tsunamigenik

Gunung Krakatau adalah hasil produk pertemuan antara Lempeng India-Australia dengan Lempeng Eurasia. Dalam tiga kali periode letusan besar Gunung Krakatau sejak pertama kali pada 416 M, letusan ketiga tahun 1883 adalah yang terdahsyat. Gunung ini memuntahkan bahan piroklastika dengan volume lebih dari 18 km kubik.

Erupsi besar ini menyebabkan gelombang tsunami raksasa setinggi 30 sampai 40 meter yang menerjang sepanjang pantai barat Banten dan sepanjang pantai selatan Lampung. Gelombang tsunami terbentuk hanya berselang satu menit setelah letusan besar Krakatau dan kemudian berlanjut di lima belas menit kemudian.

Selat Sunda dalam sejarah penelitiannya memang masuk kawasan tsunamigenik. Tsunamigenik adalah kejadian alam yang berpotensi menimbulkan tsunami seperti kegiatan gunung api, gempa bumi, longsoran pantai dan bawah laut.

Infografik Tsunamigenik Selat Sunda

Infografik Tsunamigenik Selat Sunda

Penelitian Yudhicara dan K. Budiono berjudul “Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian terhadap Katalog Tsunami Soloviev” (PDF, 2008) yang diterbitkan oleh Jurnal Geologi Indonesia menjabarkan tentang potensi tsunamigenik Selat Sunda. Selain karena faktor aktivitas vulkanik gunung Krakatau, tsunami Selat Sunda juga bisa disebabkan akibat dua jenis longsoran.

Pertama, longsoran bawah laut (submarine landslide) yang sangat dipengaruhi oleh perbedaan kedalaman dasar laut. Dasar laut Selat Sunda merupakan daerah labil karena berkaitan dengan struktur terban Semangko di antara Tinggian Semangko, Tinggian Tabuan, Tinggian Tanggang dan Tinggian Krakatau.

Ketika terjadi guncangan akibat gempa maka berpotensi terjadi longsoran bawah laut. Selain itu, di pantai barat Merak terdapat kelerengan yang cukup terjal dengan pola sesar yang rapat. Diperkirakan, kondisi ini dapat berkembang menjadi bidang longsoran bawah laut aktif saat arus air pada lembah makin kuat. Sedimen akan runtuh dan berpotensi menimbulkan kenaikan muka air meski dalam skala yang kecil dan bersifat lokal.

Kedua, adalah potensi tsunami akibat longsoran di pantai. Di wilayah sekitar Teluk Semangko misalnya, didominasi oleh perbukitan landai hingga yang sangat terjal. Beberapa lokasi, seperti Kampung Ketapang dan Kampung Karang Bolong merupakan pantai bertebing. Ketika longsor, berpotensi mengganggu kolom air laut dan menimbulkan tsunami meski dalam skala kecil dan lokal.

“Begitu kompleksnya kondisi tektonik Selat Sunda, membuat daerah ini memiliki potensi tsunamigenik yang beragam, yaitu tsunamigenik yang berasal dari gempa bumi yang berkaitan dengan zona subduksi Sunda, erupsi gunung api bawah laut (Gunung api Anak Krakatau), longsoran di kawasan pantai (Teluk Semangko dan Teluk Lampung), dan longsoran bawah laut (submarine landslide) di perbatasan antara perairan Selat Sunda dengan Laut Jawa,” demikian ditulis Yudhicara dan K. Budiono.

Baca juga artikel terkait TSUNAMI SELAT SUNDA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani