Menuju konten utama

Setelah Kartu Kuning Zaadit

Di tengah menghilangnya ruang-ruang diskusi di kampus, aksi Zaadit jadi penting.

Setelah Kartu Kuning Zaadit
Avatar Ahmad Ilham Danial. tirto.id/Sabit

tirto.id - Muhammad Zaadit Taqwa. Tiba-tiba nama ini menjadi viral pasca tindakan "nyeleneh" yang dilakukannya saat Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia, Jumat, 2 Februari 2018. Bagaimana tidak, di saat para guru besar, dosen, dan tamu undangan lainnya mengangguk-angguk mantap setelah presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya, Zaadit malah berdiri meniup peluit, mengacungkan kartu kuning dan berusaha melangkah menuju panggung. Akibatnya dia diamankan oleh para petugas dari satuan Pasukan Pengamanan Presiden, selain sejumlah tentara dan polisi yang mendampingi Jokowi yang hadir sebagai tamu kehormatan untuk berpidato di kampus tertua di tanah air.

Aksi Zaadit menimbulkan perbincangan hangat di masyarakat. Banyak yang mendukung dan ada juga yang mengkritiknya balik. Bagi saya, Zaadit yang saat ini menjabat Ketua BEM UI ini hanya kurang beruntung karena beberapa hal. Pertama, dia salah memilih tempat dan momen untuk beraksi. Untuk urusan tempat tentu tak akan muncul perdebatan, karena lingkungan kampus adalah tempat di mana setiap orang bebas menggunakan akal sehat dengan landasan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Baca juga: Fahri Hamzah: Kartu Kuning untuk Jokowi itu Komando

Namun, pemilihan waktu yang tidak tepat terasa mengganggu dan membuatnya “kurang nendang”. Saya yakin, Zaadit bermaksud baik mengingatkan pak Presiden, bahwa ada masalah yang sudah berlarut-larut dan menuntut untuk segera diselesaikan; bahwa pemerintah dinilai lamban bergerak, khususnya dalam penanganan masalah gizi buruk dan campak di kabupaten Asmat, Papua, yang hingga saat ini sudah merenggut nyawa sekitar 71 orang sehingga membutuhkan perhatian serius. Dalam hal ini Zaadit sukses menjadi kepanjangan tangan masyarakat yang resah.

Sebagian pemirsa, meski tidak berada dalam kubu pemerintah, tak sependapat dengan pemilihan momennya. Apalagi mereka yang memang pendukung “garis keras” Jokowi. Mereka justru menjadikan ini sebagai amunisi untuk menghilangkan “esensi” kartu kuning yang diacungkan Zaadit.

Mahasiswa Zaman Now

Lagi-lagi Zaadit kurang beruntung karena tidak sedikit dari teman sejawatnya yang lebih suka muncul dengan jaket almamater ke beberapa acara televisi yang miskin, jika tidak ingin dikatakan nihil muatan manfaat. Selain itu, tuntutan kuliah dan bayangan kehidupan pascakampus yang semakin berat, membuat sebagian mahasiswa lainnya menyibukkan dirinya kuliah alih-alih menghangatkan kehidupan kampus dengan berdialektika dalam melihat persoalan sosial dan politik terkini

Oleh karena itu, bagi kalangan para pendukung tindakan Zaadit, sang ketua BEM dipandang sebagai oase di tengah kekeringan dunia mahasiswa, baik intra dan ekstra kampus. Hampir di seluruh universitas di Indonesia, kehidupan mahasiswa di kampus saat ini kehilangan gairahnya dalam menjalankan fungsi kontrol yang kritis terhadap pusat-pusat kekuasaan. Pun yang terjadi dalam dinamika kehidupan organisasi mahasiswa ekstra kampus yang namanya sudah besar dan memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Menurut saya, HMI dan KAMMI tidur nyenyak dan sibuk mengurusi tarik ulur kepentingan menjelang pemilihan ketua organisasinya.

Sementara itu agak riskan berharap kepada GMNI dan PMII. Melihat fakta bahwa adanya faktor emosional antara GMNI dan Ketua Persatuan Alumninya yang merupakan kader PDIP, membuat saya meragukan langkah organisasi tersebut untuk tetap kritis di kemudian hari. Setali tiga uang dengan PMII. Bahkan, ketua PMII UI harus repot-repot memberikan pernyataan bahwa aksi yang dilakukan oleh Zaadit dan teman-temannya selama Jokowi berada di UI merupakan “aksi pesanan”.

Sebenarnya, fenomena ini juga terjadi di dunia kemahasiswaan di Luar Negeri, khususnya di Rusia. Tentu baik, tatkala PPI membantu tugas pemerintah dalam melakukan diplomasi budaya di negara tempat mereka belajar. Saya pun mengakui, bahwa pelajar dan mahasiswa Indonesia, berhasil menyentuh titik-titik yang sulit dijangkau KBRI untuk memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat dunia. Tak jarang, acara-acara mandiri yang digelar, khususnya dalam ranah sosial-budaya, menjadi magnet untuk menarik pengunjung yang masih penasaran dengan Indonesia setelah sempat menghilang pada masa Orde Baru dan Uni Soviet pasca Nikita Khruschyov hingga berkuasanya Putin.

Kendati diskusi-diskusi keilmuan di internal PPI juga hidup, namun dinamika kehidupan mahasiswa yang terjadi di sini hanya berkutat di situ-situ saja. Ruang untuk membicarakan isu-isu strategis lainnya yang secara praktek menjadi penting dan berpengaruh besar dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia hampir hilang. Ditambah lagi euforia mahasiswa Indonesia yang menjadikan kesempatan berkuliah di luar negeri sebagai ajang plesir.

Saya sendiri pernah menyaksikan pemandangan unik akibat hilangnya “ruang” tersebut dalam pertemuan antar PPI di wilayah Amerika dan Eropa pada Mei 2015, yang diadakan di Moskow. Saat itu, di tengah diskusi tentang peluang Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, muncul seorang peserta yang mengecam aksi-aksi protes yang dilakukan mahasiswa di Indonesia. Menurut beliau, sebaiknya mahasiswa-mahasiswa itu mengambil contoh dari kaum intelektual yang ada di luar negeri dengan belajar dan sekali lagi hanya belajar saja. Sementara urusan politik cukup diselesaikan oleh presiden dan para pembantunya. Tentu sikap tersebut tak dapat dijadikan representasi suara keseluruhan mahasiswa yang hadir pada acara tersebut. Namun setidaknya dapat dikatakan bahwa “ruang” yang hilang memberikan dampak atas turunnya sensitivitas sosial.

Rasanya, berdialektika dalam bentuk yang paling sederhana pun menjadi mahal untuk dilakukan. Hilang usaha untuk berdiskusi mencari akar penyebab aksi atau tujuan berdemonstrasi mahasiswa di Indonesia. Bahkan, mungkin akan sedikit lucu jika melihat kenyataan keberadaan mahasiswa-mahasiswa di Rusia saat itu, yang merupakan berkah atas tumbangnya rezim Orba yang salah satunya disebabkan oleh aksi-aksi mahasiswa dan rakyat.

Kartu kuning Zaadit telah menyegarkan ruang-ruang diskusi publik kita hari ini. Sejatinya, tindakan Zaadit, selain sebagai bentuk nasihat kepada pemimpin, juga ditujukan untuk semua. Dia adalah lecutan yang menandakan bahwa sudah saatnya menggerakkan pendulum yang terlalu lama hinggap di sudut yang berbeda. Zaadit sekali lagi memang kurang beruntung karena dia tumbuh dan besar saat jagoan-jagoan demonstrasi, dan mereka yang sempat menjadi kritikus abadi dan gahar ketika berhadapan dengan pemerintah-pemerintah sebelumnya, yang berani menyatakan kebenaran meski harus merasakan dinginnya lantai dan dinding penjara, sedang duduk nyaman di kursi-kursi dan lahap menyantap makanan yang disediakan tuannya. Sementara sebagian lainnya, yang bertahan dan tak tergoda kuasa, sedang sibuk mengurus dapurnya yang tak kunjung ngepul. Ironis.

Momennya sudah tepat untuk menyadarkan bahwa orang seperti Zaadit tidak boleh berjalan sendirian. Bijak sekali jika anak-anak muda seperti ini dirangkul dan tidak dimatikan semangatnya. Momen memang harus dibuat, bukan ditunggu. Masyarakat berkewajiban menjalankan fungsi kritik ketika melihat bahwa pemerintah berjalan melenceng dari jalurnya. Bagi yang menilai bahwa pemerintah saat ini layak untuk dipertahankan, sah-sah saja, selama semuanya dilakukan dengan cara-cara yang benar dan mulia. Hal ini berlaku juga bagi pihak-pihak yang mengatakan bahwa sudah saatnya mengganti nahkoda kapal, asalkan semua dilakukan dalam jalur yang konstitutional.

Tentunya, kritik selalu hadir dalam semangat untuk perbaikan. Dia tidak patut digunakan untuk menyalahkan secara serampangan, namun harus muncul sebagai koreksi. Harapannya, pemerintah tidak mengharamkan kritik dan menganggap siapapun yang berseberangan ‘tidak tahu apa-apa’. Pemerintahan yang berjalan tanpa koreksi akan menjadi liar dan berbahaya.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.