Menuju konten utama

Setahun Kematian Anthony Bourdain, Makanan Tetap Politis

Bicara Anthony Bourdain, bicara juga soal hal-hal politis di balik makanan.

Setahun Kematian Anthony Bourdain, Makanan Tetap Politis
Anthony Bourdain. FOTO/AP

tirto.id - Selalu ada cerita dan hal-hal tidak terduga dari makanan. Inilah yang berusaha disampaikan Anthony Bourdain lewat acara yang dipandunya, No Reservation dan Anthony Bourdain: Parts Unknown.

Chef, penulis, pembawa acara perjalanan dan kuliner ini meninggal dunia setahun lalu, tepatnya pada 8 Juni 2018. Usianya 61 tahun. Ia bunuh diri di kamar hotelnya di Kaysersberg-Vignoble, Perancis. Waktu itu, Bourdain dan timnya sedang dalam pengerjaan episode terbaru Parts Unknown.

Parts Unknown mengajak penontonnya berkeliling dunia, pindah dari satu kota ke kota lainnya. Bourdain mencicipi makanan sambil menggali sejarah dan hubungan kuliner dengan masyarakatnya. Dari sekian banyak kota yang dia sambangi, Beirut ialah yang paling mengubah dirinya.

Pada Juli 2006, Bourdain dan kru No Reservation tiba di kota tepi pantai, tempat manusia bermukim sejak lima ribu tahun lalu, daerah yang pernah jadi bagian dari imperium Turki Utsmani, Perancis, hingga Suriah dan sekarang merupakan ibukota Lebanon.

Dalam No Reservations: Around the World on an Empty Stomach (2007), Bourdain menceritakan, "Pada hari pertama pengambilan gambar, kami makan siang hummus, kibbe, daging domba rebus, dan yogurt di Le Chef, rumah makan setempat, bergaya keluarga yang berada di lingkungan menawan."

Selepas itu, Bourdain berkeliling monumen Hariri dan Martyr's Square. Orang-orang yang dia temui bicara dengan tenang, damai, dan toleran, walaupun saat itu pasukan Hizbullah dan Israel bersitegang dan kapanpun perang bisa pecah. Hanya isu "kalau kamu menyebut kata Suriah, kamu bakal mati di Beirut" saja yang bikin Bourdain takut.

Namun, pada hari berikutnya, kesan "pesta tidak pernah berakhir di Beirut" yang ditangkap Bourdain di hari sebelumnya sirna seketika pesawat-pesawat Israel membombardir Bandara Rafic Hariri. Perang Hizbullah-Israel benar-benar pecah.

Kapal perang Israel yang memblokade pantai bikin Bourdain melarikan diri dari Beirut lewat jalur laut mustahil dilakukan. Bourdain dan para kru No Reservation terjebak di Beirut. Namun, atas bantuan pemerintah Amerika Serikat (AS) di Beirut, mereka diungsikan ke sisi kota yang lebih aman.

"Siang hari, kami menyaksikan Beirut dihancurkan, sedikit demi sedikit. Pertama suara jet tak terlihat terbang di atas kepala. Kemudian, hening. Lalu, sebuah ledakan! Terus segumpal asap di kejauhan. Hitam, putih coklat ... seluruh kota di selatan kami perlahan tampak kabur dalam cahaya tengah hari dalam naungan kabut asap yang tidak berubah," kata Bourdain.

Merekam Apa yang Tidak Diberitakan

Perjalanan Bourdain di Beirut tahun 2006 tayang di No Reservation musim ke-2 episode ke-24. Episode bertajuk "Anthony Bourdain in Beirut" ini masuk nominasi Emmy Award untuk Outstanding Informational Programming tahun 2007.

Ketika diwawancarai Blogs of War, Bourdain mengatakan setelah Beirut, dia dan koleganya berupaya menceritakan kisah yang lebih kompleks. Bourdain menyadari pertanyaan "Apa makanan yang kamu suka? Suka masak apa? Apa yang membuatmu senang?" mengantarkannya berbincang lebih intim dengan narasumbernya. Cerita yang dia dapat pun jarang sekali diberitakan sebelumnya.

Misalnya ketika Bourdain di Mesir sebelum revolusi pecah. Di sana, orang Mesir yang jadi penerjemah Bourdain melarangnya mengambil gambar salah satu kios pinggir jalan penjual roti.

Bourdain terheran-heran. Ternyata, saat itu, harga roti naik. Di Mesir, tentara mengendalikan sebagian besar toko roti dan stok tepung. Di sisi lain, kerusuhan terkait roti juga terjadi di bagian lain Mesir.

"Itu gambar yang mereka kategorikan sensitif, berbahaya: orang negeri mereka makan roti," kenang Bourdain.

Infografik Anthony Bourdain

Infografik Anthony Bourdain

Bagi koresponden The Nation John Nicols, acara yang dipandu Bourdain tidak sekadar jalan-jalan sambil icip-icip makanan. Bourdain datang ke pasar, dapur, dan meja keluarga warga daerah-daerah konflik semacam Kurdistan, Kongo, Libya, Myanmar, dan Iran yang keramah-tamahannya jarang diliput media lawan daerah tersebut.

Iran, misalnya. Sejak Revolusi 1979, negara di Timur Tengah ini bermusuhan dengan AS. Namun, Bourdain punya cerita lain soal Iran.

Dari semua tempat yang dia dan timnya kunjungi, orang-orang Iran adalah yang paling ramah menyambutnya. "Sangat aneh. Orang-orang Iran tak dikenal benar-benar senang bertemu orang AS, tepat di bawah mural 'Death to America' yang tidak terhindarkan,"

Bourdain sendiri bingung menautkan kebijakan nasional dan internasional Iran dengan keadaan dalam negeri tersebut, siapa yang sebenarnya hidup di sana, berapa umur mereka, apa yang sebenarnya mereka mau dan percayai.

Bourdain dan Palestina

Sebelum jadi bintang televisi pun Bourdain telah menunjukkan sisi politis, kalau bukan gelap, dari industri makanan dalam bukunya Kitchen Confidential: Adventures in the Culinary Underbelly (2000).

Bourdain bukan tidak paham risikonya. Parts of Unknown edisi Gaza, Palestina menampilkan orang-orang Palestina melakukan hal-hal biasa seperti makan, memasak, atau bermain dengan anak-anak, alih-alih melempar batu melawan Israel. Bagi Bourdain, dunia telah berjumpa banyak hal buruk tentang Palestina, tidak ada yang lebih memalukan daripada tidak melihat sisi manusiawi dasar mereka.

"Pada akhir tayangan ini saya akan dilihat oleh banyak orang sebagai simpatisan teroris, alat Zionis, seorang Yahudi yang membenci diri sendiri, seorang pembela imperialisme Amerika, seorang orientalis, sosialis, fasis, agen CIA," ujar Bourdain, membuka Parts of Unknown edisi Gaza.

Meski demikian, sebagaimana yang dia sampaikan kepada reporter Food & Wine, tidak ada yang lebih politis daripada makanan.

"Siapa yang makan? Siapa yang tidak? Mengapa orang memasak apa yang mereka masak? Itu selalu merupakan akhir atau bagian dari cerita panjang, sering kali menyakitkan," ujarnya.

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf