tirto.id - "Supaya program ini berkelanjutan, saya nitip anak saya, Eri Cahyadi, bisa melanjutkan saya."
Kalimat itu terlontar dari mulut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam sebuah acara bertajuk 'Roadshow Online Berenergi' pada 18 Oktober lalu. Berbicara kepada para ibu-ibu, di potongan video berdurasi 1 menit 49 detik tersebut Risma mewanti-wanti untuk tidak salah pilih dalam Pilkada 2020.
Eri Cahyadi yang dimaksud Risma adalah calon Wali Kota Surabaya nomor urut satu, berdampingan dengan Armuji. Mereka diusung oleh PDI Perjuangan dan didukung oleh PSI. Mereka juga mendapatkan tambahan kekuatan dari enam partai politik non parlemen, yakni Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Hanura, Partai Berkarya, PKPI, dan Partai Garuda.
Lawannya adalah Machfud Arifin-Mujiaman, nomor urut 2, diusung koalisi delapan partai yakni PKB, PPP, PAN, Golkar, Gerindra, PKS, Demokrat, dan Partai Nasdem; juga didukung partai non-parlemen yakni Partai Perindo.
"Ada yang menjanjikan uang nanti, tapi uang itu sampai kapan? Padahal pemilihan Wali Kota itu untuk lima tahun. Kalau salah pilih, kita akan menyesal selama lima tahun. Saya tak mungkin [salah pilih], apa yang sudah saya kerjakan sepuluh tahun kemudian hancur lebur. Saya enggak pengin itu," Risma menambahkan, juga dalam video.
Potongan video itu wartawan Tirto terima dari seorang pengacara bernama Abdul Malik. Ia adalah Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jawa Timur yang melaporkan Risma ke beberapa lembaga negara atas dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) di masa kampanye.
Awalnya Abdul Malik melaporkan kasus ini ke Pemprov Jawa Timur. Menurutnya agenda Risma pada tanggal 18 Oktober tak berizin. Risma hanya mendapat izin untuk berkampanye pada 10 November.
Ia juga melaporkan kasus ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Bawaslu RI. "Karena Bawaslu Surabaya kurang respons. Harusnya Bawaslu tak perlu menunggu laporan. Ada temuan ya langsung panggil saja," kata Abdul Malik saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (5/11/2020) siang.
Abdul Malik juga melaporkan Risma ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atas dugaan kampanye tak berizin, dugaan pelanggaran status ASN, dan dugaan melakukan kebohongan publik. Kebohongan yang dimaksud Abdul Malik adalah saat Risma bilang bahwa Eri adalah anaknya. Eri bukan anak biologis Risma, katanya, tapi mantan pejabat di bawah Risma. Eri adalah eks Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya.
Risma dituding melanggar Pasal 37 dan Pasal 39 PKPU No. 11 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas PKPU No. 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pilkada. Ia juga diduga melanggar Pasal 63 ayat (1), (2) dan (4) huruf b PKPU No. 11 Tahun 2020.
Malik memberikan surat pelaporannya ke DKPP kepada wartawan Tirto. Isi pelaporan yang sama juga dikirim ke Bawaslu RI dan Kementerian Dalam Negeri.
Ketua DKPP Muhammad mengaku belum menerima laporan Abdul Malik. Apalagi, kata Muhammad, pelaporan itu salah tujuan. "Kalau yang dilaporkan kepala daerah, lebih tepat ke Bawaslu. DKPP hanya menilai etik penyelenggara pemilu, bukan peserta dan kepala daerah," kata dia kepada wartawan Tirto, Kamis siang.
Menurut Malik, pelanggaran Risma tergolong berat dan semestinya dipenjara. "Sudah ada yurisprudensinya. Suhartono di Mojokerto dulu," kata dia. Suhartono adalah lurah di Mojokerto. Dia ditahan dua bulan dan denda Rp6 juta karena menyambut Sandiaga Uno saat kampanye Pilpres 2019.
"Saya mengingatkan ke Risma, ini sudah waktunya berakhir. Kalau mau kampanye ya mundur saja dari wali kota, kurang dari tiga bulan. Konsentrasi bela Eri. Jangan pas lagi menjabat. Walau hari Minggu, itu fasilitas [pejabat publik] masih lengkap," tambahnya.
Pelaporan Politis?
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Surabaya Irvan Widyanto sebetulnya telah memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan tak ada yang dilanggar oleh Risma.
"Kegiatan kampanye ibu Wali Kota sudah sesuai dengan prosedur dan sudah ada penjelasan tertulis dari Pemprov Jatim. Makanya tidak benar jika Wali Kota melanggar aturan. Apalagi kampanye yang dilakukan pada 18 Oktober 2020 tersebut adalah hari libur," kata Irvan.
Oleh karena itu Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Sadarestuwati menduga laporan ini adalah cara pihak-pihak tertentu untuk menjegal Eri Cahyadi dan PDIP lewat Risma. "Dengan melaporkan dan mempermasalahkan Bu Risma yang sedang menjalankan tugas-tugas kepartaian," kata Estu saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis sore.
Menurutnya hal ini sangat mungkin dilakukan karena menandingi Eri dengan cara-cara biasa sulit dilakukan karena Surabaya di bawah kepemimpinan Bambang Dwi Hartono (2002-2010) dan Tri Rismaharini (2010-2020)--keduanya adalah kader banteng--mengalami kemajuan yang sangat pesat. "Mulai dari penataan lingkungan, kebersihan kota, mengatasi banjir, mengalokasikan anggaran khusus untuk manula, warga miskin, kesehatan, dan lain-lain."
Elektabilitas Risma tentu sedikit banyak berpengaruh untuk Eri Cahyadi, yang notabene adalah "anak buah"-nya sendiri di Pemkot Surabaya.
Namun Abdul Malik menepis anggapan pelaporannya bermotif politis. "Saya juga orang politik, tapi pelaporan ini bukan agenda politis. Ini murni warga negara. Apalagi Risma pejabat publik," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino