tirto.id - Pergilah kasih
Kejarlah keinginanmu
Selagi masih ada waktu
Jangan hiraukan diriku
Aku rela berpisah demi untuk dirimu
Semoga tercapai segala keinginanmu
Gading Marten tampak menyeka air mata tatkala menyanyikan penggalan "Pergilah Kasih" yang dipopulerkan oleh Chrisye itu. Warganet berspekulasi, mengaitkan "adegan" itu dengan kehidupan pribadi sang aktor.
Namun, terlepas dari spekulasi warganet soal kehidupan pribadi Gading, lirik lagu itu bisa menggambarkan bagaimana merelakan sesuatu yang telah lekat dengan hidup kita. Ketika berada di sebuah hubungan dan menghadapi masalah pelik, akan muncul kebimbangan: tetap bertahan atau menyudahi hubungan?
Bisa jadi kebimbangan itu berujung pada kesimpulan bahwa segala kekacauan, masalah, konflik, ada resolusinya. Namun, bagaimana jika tidak? Bagaimana jika Anda tak punya harapan untuk memperbaiki masalah dalam hubungan?
Menurut tulisan konselor profesional Andrea Matthews di laman Psychology Today, “putus” jauh lebih baik ketimbang memaksa diri untuk membuat pasangan berubah. Ia juga berpendapat bahwa merelakan pada dasarnya adalah menerima kenyataan. Menerima lebih baik ketimbang menyangkal kenyataan bahwa kita tidak mampu menjalani hubungan yang buruk dan menganggap "semua baik-baik saja".
Melupakan Bukan Perkara Mudah
Bersepakat untuk berpisah? Ceklis. Melupakan? Hmm, tidak semudah itu.
Menurut psikolog klinis Jill P. Weber, penulis buku The Relationship Formula Workbook Series, bagi sebagian orang, merelakan orang yang dicintai untuk pergi dan menjalani kehidupan masing-masing bukan perkara mudah. Apalagi jika hubungan itu telah dijalani bertahun-tahun, bahkan hingga jenjang pernikahan.
Gregg Levoy, dalam artikelnya di Psychology Today, orang yangputus cinta kemungkinan kehilangan gairah dan kekuatan hidup. Untuk memulihkannya, dia harus bisa merelakan. Levoy menyebutnya: pengorbanan.
Mudah? Kata Levoy, tentu tidak. Ada kegelisahan karena merasa kehilangan dan menderita. Pengorbanan pasti mengandaikan adanya rasa sakit, begitu kata Levoy. Beragam pertanyaan mungkin juga terpikir, misalnya apakah bisa menjalani hari tanpa si mantan, hingga menebak-nebak isi pikiran orang lain.
Atau barangkali sang pasangan dirasa begitu sempurna; ia membelenggu Anda yang sedang merasakan cinta yang mendalam. Ketika harus berakhir, Anda “tidak percaya.”
Levoy menegaskan bahwa pengorbanan merupakan tuntutan jiwa terhadap ego yang menganggap bahwa merelakan suatu hubungan terasa seperti sebuah kekalahan.
Mencoba Berpikir Realistis
Mark Manson, penulis buku The Subtle Art of Not Giving a F*ck, dalam blog pribadinya, menulis sebuah artikel berjudul “How To Let Go: Learning To Deal With Loss”. Dalam tulisannya, Manson menceritakan bahwa banyak email dari pembaca yang mengutarakan keinginan mereka untuk kembali ke pelukan sang mantan.
Para pembaca itu mengungkapkan dengan cara yang beragam, misalnya ingin “memperbaiki keadaan”, hingga menanyakan tindakan yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan sang mantan kembali.
Menurut Manson, kalimat-kalimat itu tak masuk akal. Menurutnya, tak akan ada orang yang berpisah atau bercerai jika ada cara pasti yang mampu mengikat kembali dua sejoli yang telah berpisah. Selain itu, hubungan yang diperbarui tak akan pernah serupa dengan hubungan terdahulu.
Manson mengakui bahwa bentuk kehilangan yang paling menyakitkan adalah kehilangan seseorang yang terikat dalam hubungan intim dengan kita, seperti pasangan dan anggota keluarga.
Menurut Manson, hal itu masuk akal. Ketika hubungan itu hancur, maka ada bagian dari identitas diri kita yang juga hancur. Semakin berarti hubungan tersebut dalam hidup kita, peran mereka dalam identitas diri semakin signifikan. Kehilangan akan semakin melumpuhkan kita dan memunculkan perasaan hampa.
Namun, Ilene Strauss Cohen, seorang psikoterapis yang mengajar di Department of Counseling, Barry University mengungkapkan kita tak mungkin diam di tempat dan meratapi sakit hati.
Padahal menurut Leo Babauta dalam buku The One Skill: How Mastering the Art of Letting Go Will Change Your Life (2014), merelakan bisa membantu kita menyelesaikan beberapa permasalahan, seperti rasa stres. Perasaan ini wajar, sebab stres memang kerap muncul ketika sesuatu yang kita tak bisa menggapai impian kita, misalnya keinginan membangun rumah tangga yang bahagia hingga tutup usia.
Kegagalan itu barangkali justru membuat Anda jalan di tempat. Anda khawatir akan kegagalan berikutnya dan hidup Anda tidak nyaman. Padahal, hal tersebut justru membuat kita menunda-nunda, termasuk menunda untuk mengubah kebiasaan buruk.
Akibatnya, kita bisa menyalahkan orang lain karena kesal dengan perilaku mereka yang tidak sesuai dengan harapan kita, sehingga hubungan semakin rusak dan kebahagiaan kita pun menurun. Kalau sudah begitu, kita pasti akan merasa dikucilkan dari lingkaran sosial.
Untuk mengikhlaskannya, Cohen membagikan tips dalam artikel di Psychology Today, yakni menerima diri kita. Kita harus menyadari bahwa dalam hidup ada hal-hal yang memang tidak berjalan sesuai dengan rencana dan harapan. Sayangnya, harapan itu justru kadang membuat terjebak. Sadarilah bahwa segalanya bisa terjadi.
Cohen pun menyarankan kita untuk membuka pikiran kita dan percaya bahwa kita mampu menjalani kehidupan selanjutnya. Jangan membuang waktu dan pikiran untuk mengubah orang lain. Kekhawatiran Anda hanyalah buah dari pikiran anda tentang diri sendiri.
Selanjutnya, Cohen mengajarkan untuk belajar dari kesalahan terdahulu, atau menjadikan masa lalu Anda sebagai lelucon. Tak perlu khawatir Anda terlihat bodoh, katanya, sebab terkadang hidup itu memang “lucu”.
Namun, bukan berarti Anda harus mengubah total diri Anda. Yang harus dilakukan adalah memilah kebaikan dan keburukan dalam diri, menjadi pribadi baru tanpa harus kehilangan jati diri.
Editor: Maulida Sri Handayani