tirto.id - Peneliti kepemiluan cum dosen Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, berharap agar Mahkamah Konstitusi tidak terjebak untuk menyelesaikan sengketa pilpres dalam waktu 14 hari. Ia mendorong Mahkamah berani menangani perkara lebih dari batas waktu demi mencari kebenaran substantif.
“Ketika Mahkamah menemukan ada problem di dalam penetapan hasil dan Mahkamah bukan tidak mungkin menemukan bahwa 14 hari itu menghambat Mahkamah di dalam menggali esensi dari praktik pemilu konstitusional dalam memastikan bahwa memang pemilu sesuai dengan prinsip dan asas di dalam konstitusi kita Pasal 22 e ayat 1 ataupun 5 (Undang-Undang Dasar 1945)," kata Titi saat ditemui di Pusdik MK, Puncak, Bogor, Jawa Barat, Rabu (6/3/2024) malam.
Titi mengatakan, Pasal 22 E ayat 1 mendorong pelaksanaan pemilu sudah berjalan secara luber dan jurdil. Selain itu, Pasal 22 E ayat 5 menyatakan pemilu diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Titi juga mengatakan, Mahkamah Konstitusi sudah melakukan beberapa kali terobosan dalam pilkada. Ia mencontohkan bagaimana MK pernah melakukan sidang khusus dalam pilkada Saburaijua. Oleh karena itu, Mahkamah dinilai bisa menggelar sidang lebih dari 14 hari.
“Dalam konteks yang sama saya kira Mahkamah bisa melakukan terkait dengan 14 hari itu terutama ketika ada fakta yang tidak terbantahkan, dalam rangka memastikan fungsi Mahkamah untuk memeriksa konstitusionalitas pemilu ternyata 14 hari itu menghambat, atau kemudian tidak mampu membuat Mahkamah menjalankan fungsi konstitusionalnya yang diberikan konstitusi dengan baik," kata Titi.
Titi menambahkan, “Ini Mahkamah bisa saja dalam proses pemeriksaan itu menggunakan waktu yang dianggap Mahkamah lebih memadai dan lebih bisa menghadirkan upaya untuk mewujudkan pemeriksaan perkara sehingga apa yang menjadi tujuan menghadirkan pemilu yang konstitusonal itu bisa terwujud.”
Di sisi lain, Titi menilai kemunculan sengketa dalam kurun waktu 14 hari terjadi karena pertimbangan pembuat kebijakan adalah ada kemungkinan pemilu 2 putaran. Perumus aturan mendorong agar sengketa tidak sampai lebih dari masa pelantikan presiden pada 20 Oktober 2024.
Oleh karena itu, kata Titi, mereka memasukkan waktu 14 hari. Namun, melihat dinamika politik saat ini, Titi menyarankan agar sengketa pilpres memiliki waktu sama seperti pileg, yakni ditangani dalam kurun waktu 30 hari.
“Pilpres dapilnya nasional, luar negeri, kan, hanya 14 hari. Dari situ saja itu adalah kebijakan hukum yang tidak logis padahal open legal policy harus rasional berkeadilan, dan juga memberikan kepastian hukum untuk mendapatkan putusan yang sesuai amanat konstitusi," kata Titi.
Respons Ketua MK
Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, tidak memungkiri ada tantangan dalam penyelesaian sengketa Pilpres 2024 dalam kurun waktu 14 hari di tengah kompleksitas kecurangan pemilu saat ini. Ia mengaku ada tantangan dalam pelaksanaan sengketa, apalagi pemohon berpotensi lebih dari 1.
“Dengan berbagai katanya kompleksitas kecurangan atau anggapan-anggapan ada kecurangan, bisa enggak dengan waktu 14 hari kira-kira paling enggak 2 perkara. Bagaimana kami membuat skema penyelesaian perkaranya 14 hari 2 perkara?” kata Suhartoyo di Pusdik MK, Puncak, Jawa Barat, Rabu (6/3/2024).
Suhartoyo mencontohkan, MK hanya mendengar 15 saksi pada Pilpres 2019, padahal dalil begitu banyak. Ia menilai perlu waktu ketika sengketa besok ada 1.000 dalil dengan 1.000 saksi.
Ia mengaku bingung penghitungan antara waktu pileg, pilpres, dan pilkada berbeda. Akan tetapi, mereka akan berupaya menyelesaikan semampu mereka.
“Kami tetap akan optimistis sepanjang yang secara maksimal bisa kami lakukan," kata Suhartoyo.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz