tirto.id - Ratna Sarumpaet mengaku menjadi korban penganiayaan yang terjadi pada, Jumat (21/9/2018) di Bandung, Jawa Barat. Tiga hari setelahnya, reporter Tirto menghubungi Ratna. Dia menjelaskan soal klaim, hilangnya dana Rp23 triliun dari Union Bank of Switzerland (UBS) dengan lancar seperti layaknya orang sehat. Percakapan itu berlangsung sekitar 7 menit.
Pada Selasa 2 Oktober 2018, beredar foto wajah Ratna yang bengkak ke beberapa grup WhatsApp jurnalis. Lalu pada pukul 10.47, muncul artikel berita pertama dari Kantor Berita Politik RMOL berjudul, "Ratna Sarumpaet Dianiaya Beberapa Orang." Berita tersebut tak menyelipkan satupun narasumber untuk dikonfirmasi.
Pada berita tersebut, diselipkan ralat berisi bahwa, sehari sebelum berita itu diterbitkan, Pemimpin Umum Kantor Berita RMOL Teguh Santosa sempat berkomunikasi dengan Ratna membicarakan kasus lain di luar kasus ini. Dalam komunikasi itu, Ratna tidak menyinggung sedikit pun soal penganiayaan yang dialaminya.
Dari penelusuran tim riset Tirto, pada pukul 11.51, Anggota DPR Fraksi Gerindra Rachel Maryam mentwit melalui akun Twitternya (@cumarachel), "Innalillahi bunda @RatnaSpaet semalam dipukuli sekelompok orang. Saat ini keadaan babak belur. Hei kalian beraninya sama ibu2! Apa kalian gak punya ibu? Lahir dari apa kalian?" Sebelumnya pada pukul 10.27, Rachel meneruskan twit Anggota DPD RI Fahira Idris (@fahiraidris) soal Ratna yang isinya tak jauh berbeda.
Pada pukul 11.52, Rachel mengunggah twit kembali. Dia menegaskan sudah konfirmasi dan menurutnya benar penganiayaan pada Ratna terjadi. Dia juga menjelaskan bahwa kondisi Ratna dalam keadaan trauma.
Kemudian pukul 12.50, Wakil Ketua DPR Fadli Zon (@fadlizon) mentwit, "Mbak @RatnaSpaet mmg mengalami penganiayaan n pengeroyokan oleh oknum yg blm jelas. Jahat n biadab sekali." Itu twit pertama dari politikus Partai Gerindra itu terkait Ratna.
Hanya berselang tujuh menit dari Fadli, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mentwit terkait Ratna dengan dibumbui isu Partai Komunis Indonesia (PKI). "Pemukulan Ratna Sarumpaet Bencana Demokrasi dan Kemanusiaan, ini penghinaan terhadap Pancasila, menginjak2 pemerintahan yg demokratis. Munir & Noval Baswedan belum selesai, sekarang @RatnaSpaet. #TolakKekerasanGayaPKI," twit Mardani (@mardaniAliSera).
Selanjutnya isu terkait Ratna digelindingkan beberapa orang melalui akun Twitternya masing-masing. Beberapa di antaranya Rocky Gerung (@rockygerung), Dahnil Anzar Simanjuntak (@Dahnilanzar), Fahri Hamzah (@fahrihamzah), hingga Ferdinand Hutahean (@LawanPolitikJW).
Pada malam harinya, Prabowo Subianto menggelar konferensi pers soal kasus Ratna yang diheboh-hebohkan. Jumpa pers itu dihadiri Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi Djoko Santoso dan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais.
"Ini menurut kami suatu tindakan yang represif, tindakan yang di luar kepatutan, tindakan jelas pelanggaran hak asasi manusia," kata Prabowo, di rumahnya, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan.
Saat isu itu dibuat mewabah melalui akun Twitter para elite politik dan aktivis oposisi Presiden Jokowi tersebut, Ratna masih belum sekalipun angkat bicara terkait kasusnya. Ratna baru buka suara pada, Rabu (3/10/2018) di kediamannya, Jalan Kampung Melayu Kecil V Nomor 24, RT04 RW05, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Saat itu Ratna justru mengatakan bahwa isu penganiayaan terhadap dirinya hanyalah hoaks.
Hari-hari setelahnya, Ratna didepak dari jabatannya sebagai juru kampanye badan pemenangan nasional Prabowo-Sandiaga dalam Pilpres 2019. Kubu Prabowo-Sandiaga pun berbalik menyalahkan Ratna.
Jerat Pidana Menanti
Arsil, kepala divisi kajian hukum dan kebijakan peradilan kajian dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip) menegaskan, orang-orang yang turut mengembangkan dan menyebarkan hoaks Ratna, bisa dipidanakan.
"Dia [Ratna] bilang dianiaya, tapi dilihat bekasnya kurang jelas, dia patut dicurigai," kata Arsil saat dihubungi Tirto, Jumat (5/10/2018).
Menurut Arsil, seharusnya orang-orang yang membela Ratna dan membumbui isu hoaks, mengklarifikasi secara mendalam dahulu. Sebab jika tidak, mereka akan berpotensi dituding menjadi komplotan Ratna untuk memproduksi hoaks bersama. Usai hoaks itu diakui, mereka tak bisa melarikan diri dengan alasan ditipu Ratna.
"Kemungkinan itu ada, tapi kita enggak bisa menyimpulkan sekarang apa yang merasa tertipu itu bisa dikenakan pidana, karena ada kemungkinan lain, mereka menjadi bagian hoaks itu sendiri," tuturnya.
Ahli Pidana Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Umar Hussein meyakini, Prabowo dan elit politik maupun aktivis yang turut menyebarkan hoaks soal Ratna, bisa dijerat pidana. Meski mengaku tidak tahu itu hoaks tapi turut menyebarkan, mereka bisa dijerat Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1/1946 juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
"Gampangnya gini. Sampeyan dapat berita dari A lalu disebarkan. Sampeyan enggak bikin, cuma sebarin aja. [Kalau itu hoaks] ya bisa kena," Umar kepada Tirto.
Pihak kepolisian juga sering mengatakan penyebar hoaks bisa dipidana. Salah satunya adalah mantan Karopenmas Mabes Polri Kombes Rikwanto.
"Bagi Anda yang suka mengirimkan kabar bohong, atau bahkan cuma sekadar iseng mendistribusikan (forward), harap berhati-hati. Ancamannya tidak main-main, bisa kena pidana penjara enam tahun dan denda Rp1 miliar," kata Rikwanto melalui pesan pendek kepada awak media, Minggu (20/11/2016).
Juru bicara Koalisi Indonesia Kerja Raja Juli Antoni berharap polisi tidak ragu dan mengusut tuntas siapa saja yang bertanggung jawab atas hoaks Ratna ini. Pihak yang ia maksud termasuk juga Prabowo, Fadli, Amien dan orang-orang lainnya yang turut menyebarkan hoaks tersebut.
"Saya kira bisa, berbohong dan menyebarkan bohong itu sama saja hukumannya," ucapnya saat dihubungi Tirto.
Mereka dianggap bertanggung jawab karena sudah menemui Ratna secara langsung, namun tidak sungguh-sungguh menguji informasi. Mereka malah menguatkan kebohongan Ratna.
"Tanpa mereka melakukan prosedur [pengecekan fakta luka Ratna], mereka malah mengumumkan. Sebenarnya ini purely political kah," tuturnya.
Sementara itu Kadiv Humas dan Advokasi Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean mengaku, pihaknya tak tahu Ratna melakukan hoaks. Ia merasa Prabowo dan yang lain hanyalah sebagai korban kebohongan dan bukan pelaku penyebar hoaks Ratna.
"Kami tidak pernah menyebarkan hoaks. Pengakuan yang diberikan Ratna, bagi kami, sebelum ia menyatakan dia berbohong, itu bukan hoaks," kata Ferdinand kepada Tirto.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana