Menuju konten utama

'Sekolah Ibu' di Bandung Barat: Solusi atau Sudutkan Perempuan?

Kebijakan Pemkab Bandung Barat membangun 'Sekolah Ibu' untuk menekan perceraian menuai protes karena dipandang hanya menyalahkan perempuan sebagai penyebab perceraian.

'Sekolah Ibu' di Bandung Barat: Solusi atau Sudutkan Perempuan?
Ilustrasi perceraian [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Pada Kamis, 27 Desember 2018, Wakil Bupati Bandung Barat Hengky Kurniawan mengunggah foto pribadi di instagram dengan keterangan berintikan "Pemerintah Bandung Barat akan meluncurkan Program 'Sekolah Ibu' pada tahun 2019."

Hengky menyebut tujuan program itu untuk memberikan pemahaman tentang berumah tangga, bagaimana menghadapi suami, bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak yang beranjak dewasa, dan materi lainnya untuk menekan angka perceraian di Bandung. Dalam unggahannya Hengky menulis, “InshaAllah 'Sekolah Ibu' tidak akan membosankan. Ibu-ibu makin sayang suami, kompak dengan anak, dan tentunya keluarga akan lebih bahagia."

Unggahan itu menuai beragam komentar dari warganet. Sebagian besar menganggap Pemkab Bandung Barat sepihak menyalahkan perempuan sebagai penyebab perceraian. Namun, komentar-komentar warganet kini tidak bisa lagi dibaca lantaran pemain sinetron itu menonaktifkan kolom komentar unggahannya.

Sebelum dinonaktifkan, akun @lakilakibaru berkomentar: "Kang @hengkykurniawan, kita ngobrol-ngobrol yuk. Biar Akang paham isu gender dan kaitannya dengan perceraian, termasuk tentang pentingnya pelibatan laki-laki. Nuhun."

Menanggapi itu, aktivis Komnas Perempuan Nina Nurmila tak menampik bahwa faktor penyebab perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Cimahi adalah faktor ekonomi. Tapi menurutnya, solusi yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung Barat hanya berdasarkan asumsi.

Nina mendasarkan pendapatnya pada penelitian yang saat ini sedang ia lakukan di daerah Bandung Barat melalui wawancara hakim dan pengamatan selama persidangan.

“Padahal di lapangan, istri bersusah payah menghidupi rumah tangga, mengurus anak-anaknya, tanpa support suami, itu permasalahannya,” kata Nina kepada Tirto, Jumat (28/12/2018).

“Jadi yang hasil wawancara saya dengan hakim dan observasi saya selama sidang, cekcok itu masalah ekonomi, misalnya suami tidak punya pekerjaan, tapi tidak ada upaya untuk mencari, berusaha, sehingga istri kesal,” sambung Nina.

Nina menyampaikan seharusnya solusi yang diberikan oleh Pemkab Bandung Barat bukan 'Sekolah Ibu', melainkan lapangan kerja bagi para suami yang belum memiliki pekerjaan.

“Sehingga problemnya unemployement, tidak ada lapangan kerja untuk para laki-laki, sehingga bupati itu berkewajiban memberi lapangan kerja bagi para laki-laki. Sehingga kita kalau membuat kebijakan harus berdasarkan problem yang dirasakan masyarakat, bukan ‘oh ya banyak perempuan minta cerai’,” tandasnya.

Terus meningkat

Seperti dilansir Pikiran Rakyat 19 Agustus 2018, Pengadilan Agama Kelas 1A Cimahi mencatat peningkatan kasus perceraian. Pada tahun 2015 ada 9.182 perkara, tahun 2016 meningkat menjadi 10.486 perkara, dan naik lagi di tahun 2017 menjadi 11.935 perkara.

Saat itu, Pengadilan Agama Cimahi menangani kasus di tiga daerah yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi.

Pada 1 November 2018, Galamedianews.com memberitakan tentang angka perceraian hingga Juli 2018 dengan kasus yang diterima mencapai 7.085 kasus dan 6.506 kasus telah diputus.

Menurut Humas Pengadilan Agama Cimahi Agus Gunawan, dari banyaknya angka itu, penyebab dominan kasus perceraian yakni faktor ekonomi sebanyak 2.383 kasus, dan pertengkaran 2.327 kasus. Faktor lainnya adalah kekerasan dalam rumah tangga 10 kasus, salah satu pihak meninggalkan 905 kasus, judi 1 kasus, dan mabuk 6 kasus.

“Untuk berkas yang dicabut 306 kasus dan yang tersisa ditambah tahun sebelumnya 2.389 kasus yang ada dan masih belu diputus oleh pihak Pengadilan Agama Cimahi,” kata Agus.

Sedangkan kasus perceraian di Pengadilan Agama Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, sejak beroperasi pada bulan November 2018 lalu, terdapat sebanyak 374 perkara.

Humas Pengadilan Agama Ngamprah Ahmad Hodri mengatakan alasan gugatan cerai lainnya adalah faktor perselingkuhan atau kehadiran pihak ketiga, di samping faktor ekonomi.

“Sebagian besar, pihak isteri jadi penggugatnya,” kata Ahmad dilansir Pikiran Rakyat.

"Agar Ibu Lebih Cerdas"

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (PPA DP3AKB) Kabupaten Bandung Barat Euis Siti mengatakan saat ini di daerahnya baru ada satu sekolah ibu.

“Emang tujuannya ke situ, untuk mengurangi angka perceraian supaya dengan adanya sekolah ibu, ibu-ibu lebih cerdas, lebih kuat keluarganya, lebih sejahtera, jadi keluarga lebih terbangun,” ungkapnya kepada Tirto, Jumat (28/12/2018).

Euis juga menyampaikan saat ini mereka baru membangun sekolah untuk ibu supaya mereka lebih memahami arti seorang ibu. Alasan dibangunnya Sekolah Ibu di Kabupaten Bandung Barat, kata Euis, karena sebagian besar ibu-ibu merupakan ibu rumah tangga, dan program tersebut akan menyasar ibu rumah tangga, bukan ibu pekerja dengan asumsi memiliki waktu yang lebih banyak.

Euis pun menyampaikan bahwa nantinya dalam program tersebut, instansinya akan memberikan keterampilan pada ibu-ibu sehingga memiliki kemandirian dan rasa percaya diri.

“Justru dengan cerdasnya ibu-ibu, dengan memahami apa tugas fungsi seorang ibu, selain daripada mengasuh anak, mendidik anak untuk menjadi keluarga, jadi enggak terpikir cerai, karena mereka lebih ngerti, lebih banyak pengetahuannya,” tutur Euis.

Baca juga artikel terkait PERCERAIAN atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Abul Muamar