Menuju konten utama

Sejumlah Kelemahan Pasal Tindak Pidana Terhadap Agama di RKUHP

Ketentuan tentang Tindak Pidana terhadap Agama di RKUHP dinilai tidak memenuhi kaidah hukum. Pasal-pasal di RKUHP tersebut juga membuka pintu diskriminasi.

Sejumlah Kelemahan Pasal Tindak Pidana Terhadap Agama di RKUHP
(Ilustrasi) Massa yang tergabung dalam Jaringan Kerja Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (JANGKAR PKtPA) membentangkan poster saat menggelar aksi damai menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Surabaya, Kamis (15/2/2018). ANTARA FOTO/Moch Asim

tirto.id - Akademikus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Antonius Cahyadi mengkritik ketentuan Tindak Pidana Terhadap Agama di Rancangan KUHP. Dia menilai ketentuan itu tidak memenuhi kaidah hukum.

"Dari sisi hukum, kalau teman-teman lihat, hukum pidana itu concern dengan korban. Kalau ini korbannya enggak jelas. Agama? Siapa yang berhak mengklaim agama?" Kata Anton dalam konferensi pers di Gedung YLBHI Jakarta, pada Senin (19/3/2018).

Menurut Anton, hukum pidana berfokus pada pemulihan terhadap korban. Jika pasal Tindak Pidana Terhadap Agama ini disahkan, obyek pemulihan menjadi tidak jelas.

"Kalau dari sudut pandang hukum, secara basic sudah tidak memenuhi kaidah ini, kalau ini diundangkan jadi agak lucu di mata ilmu hukum," kata dia.

Dia berpendapat ketentuan tersebut juga memuat ketidakpastian hukum karena korban dari pasal tindak pidana terhadap agama tidak jelas.

"Artinya memberi peluang bagi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama, bukan agama itu sendiri, untuk melakukan penghakiman," kata dia.

Pasal 348 hingga pasal 350 dalam Rancangan KUHP memuat ketentuan mengenai Tindak Pidana terhadap Agama. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana terhadap Agama antara lain, melakukan penghinaan agama, menyebarluaskan penghinaan agama melalui media tulisan, gambar, rekaman, dan melalui sarana teknologi informasi.

Kemudian, diatur juga soal menghasut agar meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut sah di Indonesia, dan melakukan tindak pidana yang sama dengan penghinaan agama belum lewat 2 tahun dari pemidanaan pertama.

Sementara menurut Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Abidin Bagir, ketentuan tindak pidana terhadap agama sempat diterapkan di beberapa negara dengan sebutan Blasphemy Law. Namun, banyak negara telah menghapus ketentuan seperti itu.

Zainal menilai penerapan Blasphemy Law ini cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih pelik, alih-alih menyelesaikan masalah.

"Masalahnya kalau UU itu mendiskriminasi, menguntungkan satu kelompok yang kuat, rata-rata juga tidak jelas dan kabur perumusannya," kata Zainal.

Zainal juga mencatat, pada 2010, pernah ada upaya Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Penodaan Agama.

"Meskipun pada tahun 2010 itu Mahkamah Konstitusi menilai undang-undang [Penodaan Agama] itu masih konstitusional, tapi ada catatan yang amat panjang dalam putusan MK itu," kata Zainal.

Dia menjelaskan MK menyatakan bahwa pasal-pasal penodaan agama itu memang bermasalah, tapi untuk mencegah kekosongan hukum maka undang-undang itu dipertahankan, tapi perlu direvisi.

"Sekarang sudah 8 tahun, tidak ada respon dari pemerintah maupun legislator untuk melakukan revisi, lalu malah muncul pasal ini [pasal tindak pidana terhadap agama di RKUHP]," Zainal mengeluh.

Dia berpendapat, untuk mengatasi masalah yang menjadi sorotan pasal-pasal di RKUHP itu tidak melulu harus dengan pendekatan pidana. Justru pendekatan dialog dan pendidikan harus dikedepankan.

"Pemerintah kan mau menyampaikan citra Indonesia sebagai negara toleran, moderat. Undang-undang seperti ini justru tidak mendukung itu," kata Zainal.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom