Menuju konten utama

Sejarah Stasiun Manggarai Jakarta: Desa Pekerja Paksa Asal Flores

Berikut ini sejarah Stasiun Manggarai Jakarta yang awal mulanya adalah desa pekerja paksa asal Flores.

Sejarah Stasiun Manggarai Jakarta: Desa Pekerja Paksa Asal Flores
Penumpang memadati Stasiun Manggarai, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Wilayah Manggarai dikenal masyarakat Betawi sejak abad ke-17. Daerah ini awalnya merupakan tempat tinggal dan pasar budak asal Manggarai, Flores. Kemudian, pada 1914 dibangun stasiun yang kelak dikenal sebagai stasiun Manggarai. Stasiun itu digadang-gadangkan menjadi stasiun sentral, pengganti Stasiun Gambir pada 2023 mendatang.

Zulfikri, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan menuturkan, Stasiun Manggarai dipilih menjadi calon stasiun sentral karena lokasinya yang strategis. Di samping itu, Stasiun Manggarai berperan sebagai stasiun hub 7 persimpangan kereta api di Jakarta.

"Saat ini, Stasiun Manggarai sudah mengemban peran menjadi stasiun hub untuk 7 persimpangan jalur kereta api yang terdiri dari jalur kereta api yang mengarah ke Jatinegara, arah ke Jakarta Kota, arah ke Tanah Abang, arah ke Bogor, arah ke depo KRL Bukit Duri, arah ke Pusat Gudang Persediaan, serta mengarah ke Balai Yasa Manggarai,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (10/6/2022).

Sejarah Stasiun Manggarai Jakarta

Stasiun Manggarai termasuk stasiun kereta api kelas besar tipe A yang berlokasi di Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

Stasiun seluas sekitar 2,47 ha itu adalah tempat pemberhentian kereta api terbesar DKI Jakarta saat ini.

Pada abad ke-17, Manggarai dikenal tempat tinggal dan pasar budak asal Manggarai, Flores oleh masyarakat Betawi.

Wilayah yang masuk Gemeente Meester Cornelis (Jatinegara) ini, kemudian berkembang menjadi kampung.

Kereta api yang melintas Manggarai awalnya dibangun Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), perusahaan swasta Belanda. Jalur tersebut adalah lintas Jakarta-Buitenzorg (Bogor) dengan pemberhentian Stasiun Bukit Duri (Depo KRL).

Pada 1913, Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api negara membeli jalur NISM. Dengan ini, Staatsspoorwegen menguasai kereta api Jakarta, setelah sebelumnya membeli jalur Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) pada 1899.

Staatsspoorwegen membangun Stasiun Manggarai pada 1914 di persilangan lintas SS dan eks-NISM.

Pembangunan Stasiun Manggarai dipimpin arsitek Belanda, Ir. J. Van Gendt. Di samping itu, dibangun balai yasa dan rumah-rumah pegawai SS yang dikomandoi oleh orang yang sama.

Stasiun Manggarai diresmikan pada 1 Mei 1918. Meskipun sudah diresmikan, pembangunan stasiun belum rampung, karena tiang peron baja tidak terpasang.

Hal ini disebabkan berkecamuknya Perang Dunia I sehingga pasokan baja dari Eropa tidak datang. Tiang peron akhirnya diganti kayu jati.

Dilansir laman Ikatan Arsitek Indonesia Jakarta, Stasiun Manggarai yang dibangun di persilangan lintas SS dan eks-NISM, melayani perjalanan kereta api ke Buitenzorg, Meester Cornelis, Bandung/Surabaya, Tangerang, dan Serang.

Pembangunan jalur kereta api Batavia yang melintasi Manggarai digunakan mengangkut hasil perkebunan seperti teh, gula, dan kina, menuju Pelabuhan Tanjung Priok.

Staatsspoorwegen mengoperasikan kereta listrik pertama kali pada 1935, bertepatan pada hari ulang tahun perusahaan ke-50 tahun. Pembangunan proyek elektrifikasi Stasiun Manggarai rampung pada 1 Mei 1927.

Stasiun Manggarai saat ini menjadi pemberhentian lalu lintas kereta api tersibuk di Indonesia. Stasiun tersebut melayani pemberhentian KRL Commuter Line tujuan jakarta, Bogor, Tanah Abang, dan Bekasi.

Heritage KAI menuliskan bahwa Stasiun Manggarai tercatat sebagai bangunan cagar budaya di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.13/PW.007/MKP/05, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 011/M/1999, dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993.

Baca juga artikel terkait STASIUN MANGGARAI atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Abdul Hadi