Menuju konten utama

Sejarah Penemuan Payung & Perkembangannya di Masa Modern

Payung memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia, dari masa kuno hingga perkembangannya di zaman modern.

Sejarah Penemuan Payung & Perkembangannya di Masa Modern
Seorang warga menggunakan payung saat turun di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (4/10/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.

tirto.id - Payung menjadi salah satu barang yang digunakan sebagai pelindung dari hujan dan terik matahari. Payung sejatinya memiliki sejarah penemuan panjang dalam peradaban manusia, dari masa kuno hingga perkembangannya di zaman modern.

Kata "payung" dalam bahasa Inggris disebut umbrella, berasal dari bahasa Latin umbra dan memiliki arti "bayangan" atau "teduh". Payung juga disebut parasol yang berasal dari bahasa Prancis, para artinya "melindungi dari" dan sol yang berarti "matahari".

Dalam bahasa Prancis, payung disebut parapluie. Pluie berarti "hujan", sedangkan para diasumsikan berasal dari bahasa Latin dan dari kata parare yang berarti "untuk melindungi".

Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "payung" diartikan sebagai alat pelindung badan supaya tidak terkena panas panas matahari atau hujan.

Payung biasanya terbuat dari kain atau kertas bertangkai dan dapat dilipat-lipat serta terkadang dipakai sebagai tanda kebesaran.

Lantas, bagaimana asal-usul payung itu sendiri, sehingga dalam peradaban modern barang ini bisa digunakan sebagai alat pelindung hujan dan matahari serta berbentuk kain seperti sekarang?

Sejarah Penemuan Payung Masa Awal

Sejarah awal penemuan payung dalam peradaban manusia diperkirakan sejak 5.000 tahun yang lalu. Menukil sumber Historycooperative, penemuan payung dikaitkan dengan peradaban Mesopotamia (sekitar Irak sekarang) di Asia Barat.

Penggunaan payung kuno di zaman itu digunakan sebagai pelindung dari sinar matahari yang sangat terik di Mesopotomia. Payung ini diyakini dibuat dari daun palem atau papirus yang memang memiliki bentuk lebar. Di Mesopotamia dan Mesir Kuno, payung digunakan eksklusif oleh kalangan kelas atas.

Namun, sejarah payung seperti yang digunakan saat ini diyakini berasal dari peradaban kuno Tiongkok atau China pada sekitar 3500 Sebelum Masehi (SM). Payung dari China ini memiliki tiang atau tongkat dari bambu dan menggunakan bentangan kulit binatang di atasnya.

Payung telah digunakan sebagai pelindung hujan dan matahari, namun payung di masa itu diduga tidak tahan air seperti payung modern, sehingga payung di masa ini memiliki masa penggunaan singkat. Payung tahan air dipercaya ditemukan 500 tahun setelahnya.

Penggunaan payung kemudian menyebar hingga Eropa. Payung datang ke Benua Biru berasal dari orang-orang Romawi dan Yunani yang melakukan perjalanan ke Mesir Kuno.

Tutankhamun atau Firaun dari Dinasti ke-18 Mesir (1333 SM-1324 SM) dan keluarga kerajaan menggunakan payung yang terbuat dari bulu atau daun lontar untuk melindungi dari terik matahari.

Kedekatan hubungan Kekaisaran Romawi dan Yunani dengan Mesir di masa itu dipercaya menjadi asal muasal payung di Eropa. Payung dari Eropa yang dibawa Romawi dan Yunani kala itu hanya digunakan kalangan kelas atas saja.

Penggunaan payung untuk kalangan elite juga diketahui saat Raja Prancis, Henri II, menikah dengan Catherine de Medici pada 1553. Dalam upacara pernikahan itu, payung juga digunakan oleh para pengiring pengantin wanita.

Pada abad 16 M, payung dianggap sebagai aksesoris feminin di Eropa. Seorang penjelajah asal Inggris bernama Jonas Hanway menjadi salah satu orang yang berperan mengubah kebiasaan itu. Ia membawa payung selama 30 tahun hingga kemudian payung tidak melulu dikaitkan dengan gender lagi.

Sejarah Perkembangan Payung di Zaman Modern

Payung terus mengalami perkembangan hingga berevolusi serta dikomersilkan. Pada 1830, toko pertama payung dibuka di London, Inggris oleh James Smith. Toko itu bernama James Smith & Sons dan masih menjual payung hingga hari ini.

Kemudian, payung berevolusi dengan menggunakan tongkat baja atau besi. Payung seperti itu ditemukan pengusaha asal Inggris bernama Samuel Fox pada 1852.

Samuel Fox terinspirasi dari korset yang biasa dikenakan wanita pada masa itu. Ia mematenkan payung tersebut dan menjual desainnya kepada James Smith & Sons.

Tahun 1885, orang Amerika bernama John Van Wormer menemukan payung lipat. Hanya saja, penemuan van Wormer tidak diproduksi massal sehingga dianggap kurang populer. Pada 1923, barulah Balogh bersaudara dari Hungaria mematenkan payung lipat.

Selanjutnya, tahun 1928, payung saku diperkenalkan oleh Hans Haupt asal Jerman. Payung ini menjadi populer di seluruh dunia karena tidak seberat payung sebelumnya yang berukuran sangat besar. Variasi payung lipat terus mengalami perkembangan.

Tahun 1969, Bradford E. Phillips dari Amerika Serikat mematenkan working folding umbrella yang memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga dapat dimasukkan ke dalam tas tangan atau saku mantel. Payung ini sangat praktis dan dapat digunakan saat bepergian.

Payung dalam Tradisi Kerajaan Jawa

Payung sebagai simbol kelas sosial juga terdapat dalam tradisi Jawa, khususnya di keluarga kerajaan atau kalangan ningrat alias bangsawan. Payung menjadi representasi kedudukan strata sosial masyarakat, terutama bagi para raja. Payung di Jawa kemudian dikenal dengan istilah songsong.

Bambang Sapto Hutomo (1993) lewat riset bertajuk “Kriya Payung Juwiring dalam Kaitannya dengan Sistem Nilai Kehidupan Masyarakat Tradisional Jawa di Daerah Surakarta" mengidentifikasikan payung dalam pengambaran strata itu dibedakan berdasarkan warna, seperti prada emas, putih, hijau tua, biru, merah, dan hitam.

Warna yang melambangkan derajat dan gelar kepangkatan tertinggi adalah warna prada emas, juga mengandung arti kebesaran atau kemuliaan. Sedangkan warna hitam menunjukkan derajat kepangkatan paling rendah.

Di rumah bangsawan Jawa, Songsong biasanya ditaruh di ruang depan yang menjadi tempat menerima tamu bersama-sama dengan lambang-lambang lain, seperti tombak, keris, dan semacamnya yang dapat menjadi representasi dari derajat kepangkatan tersebut.

Penggunaan songsong bisa dilihat di lingkungan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, salah satu kerajaan Jawa turunan Dinasti Mataram Islam. Songsong mengandung simbol keagungan bahwa raja adalah pemilik segalanya dan tidak kekurangan suatu apapun.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Dicky Setyawan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Dicky Setyawan
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Iswara N Raditya