Menuju konten utama

Tokoh Cendekiawan Islam di Bidang Ilmu Kedokteran dan Penemuannya

Berikut 5 tokoh cendekiawan Islam di bidang ilmu kedokteran dari abad pertengahan, dan sejumlah penemuan mereka.

Tokoh Cendekiawan Islam di Bidang Ilmu Kedokteran dan Penemuannya
Ibnu Sina. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sejumlah tokoh cendekiawan Islam yang memiliki kontribusi penting terhadap perkembangan ilmu kedokteran pernah bermunculan pada era abad pertengahan. Generasi pemikir sekaligus ilmuwan yang menguasai pelbagai bidang itu tumbuh ketika Daulah Abbasiyah berdiri dengan pusat di Kota Baghdad dan Daulah Umayyah II di Andalusia (Spanyol).

Sebagian sumbangsih pemikiran dari para tokoh cendekiawan Islam itu bahkan dinilai jadi pondasi kemajuan ilmu kedokteran pada zaman modern. Salah satu di antara mereka yang paling populer adalah Ibnu Sina, filsuf dan ilmuwan yang masyhur di Eropa dengan nama Aveccina.

Ilmu kedokteran sebenarnya ditemukan dan dikembangkan sejak zaman prasejarah sebagai cara untuk menyembuhkan berbagai penyakit atau luka. Bangsa di seluruh dunia mempunyai kontribusi dalam mengembangkan pengetahuan tentang cara penyembuhan ini.

Namun, butuh waktu ribuan tahun sebelum metode penyembuhan yang diverifikasi dengan bukti-bukti ilmiah ditemukan. Sejumlah tokoh cendekiawan Islam setidaknya memiliki kontribusi penting dalam upaya merintis penemuan metode-metode ilmu kedokteran yang berbasis pada uji saintifik.

5 Tokoh Cendekiawan Islam di Bidang Ilmu Kedokteran

Mayoritas tokoh cendekiawan Islam di bidang ilmu kedokteran yang hidup pada abad pertengahan, merupakan sosok polimatik. Ilmu kedokteran hanya salah satu dari keahlian mereka. Meski begitu ada beberapa penemuan mereka yang bermakna penting bagi perkembangan bidang kedokteran di era sekarang.

Berikut ini beberapa tokoh cendekiawan Islam di bidang ilmu kedokteran yang hidup pada era abad pertengahan.

1. Ibnu Sina

Ibnu Sina, atau yang dikenal sebagai Aviccenna di dunia Barat, merupakan salah satu cendekiawan muslim terkemuka pada abad pertengahan. Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine), karya paling populer di bidang ilmu kedokteran milik Ibnu Sina, menjadi referensi utama di banyak universitas Eropa setidaknya hingga abad 17 M.

Qanun fi al-Tibb, dinilai berkontribusi pada kemajuan ilmu anatomi, ginekologi, dan pediatri. Buku ini juga menunjukkan Ibnu Sina adalah dokter pertama yang melakukan uji klinis dan pengenalan farmakologi klinis (Erica Fraser, The Islamic World to 1600, 1998).

Penyakit-penyakit yang sekarang populer, semacam kanker, tumor, diabetes, hingga beberapa yang menular seperti tuberculosis (TBC) dibahas pula dalam Qanun fi al-Tibb. Buku yang sama sekaligus membuktikan bahwa Ibnu Sina merupakan orang pertama yang mendiagnosa meningitis dan saraf yang terhubung dengan nyeri otot.

Sejumlah temuan Ibnu Sina memang sempat ditolak oleh ilmuwan medis di Barat selama ratusan tahun. Namun, setelah ada mikroskop, teori Ibnu Sina mengenai sejumlah jenis penyakit akhirnya terbukti benar.

Pembahasan tentang efek placebo, bedah tumor, manfaat olahraga bagi kesehatan, pengaruh dari kondisi psikologis (kesehatan mental) terhadap fisik, tertuang pula dalam Qanun fi al-Tibb. Melalui buku yang sama, Ibnu Sina mengulas ratusan obat sederhana dan senyawa patologi termuan dari Galen, dokter legendaris Yunani yang hidup di abad ke-2 M.

Selain Qanun fi al-Tibb, karya Ibnu Sina yang juga berpengaruh besar di bidang kedokteran adalah Kitab al-Shifa (Buku Penyembuhan). Buku ini lebih menyerupai ensiklopedia multidisiplin. Isi buku ini tak hanya pengetahuan Ibnu Sina di bidang kedokteran, tapi juga logika, ilmu alam, geometri, astronomi, matematika, musik, metafisika, dan filsafat.

Bernama lengkap Abu Ali al Husain bin Abdallah bin Sina, Ibnu Sina lahir di Uzbekistan pada 980 M. Dia sudah cemerlang sejak usia belia. Ibnu Sina telah menghafal Al-Qur'an pada usia 10 tahun dan belajar ilmu pengobatan dari saat masih remaja belasan.

Kapasitas intelektual Ibnu Sina semakin terpupuk setelah Sultan Bukhara dari Dinasti Samaniyah, yang sembuh dari penyakit setelah ia rawat, memberi hadiah perpustakaan kepadanya. Saat baru berusia 21 tahun, Ibnu Sina bahkan telah menulis karya tentang matematika, geometri, astronomi, fisika, kimia, metafisika, filologi, musik, dan puisi.

Ibnu Sina lantas tumbuh menjadi iilmuwan polimatik dan filsuf yang disegani. Dia termasuk tokoh utama filsafat peripatetik dengan pengaruh besar. Pada 1037 M, Ibnu Sina wafat di usia ke-57 dan dimakamkan di Hamadan, Iran.

2. Abu Al-Qasim Al-Zahrawi

Abu Al-Qasim Al-Zahrawi lahir di Zahra, barat daya Cordoba, Andalusia, di tahun 936 M. Ilmuwan bernama lengkap Abu Al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi itu termasuk generasi intelektual muslim yang tumbuh saat Dinasti Umayyah II memerintah wilayah Spanyol.

Al-Zahrawi sempat menjadi dokter khusus istana Daulah Umayyah pada masa Khalifah Al-Hakam II berkuasa. Dia menjalani masa hidup cukup panjang dan wafat pada 1013 M di usia 77 tahun.

Abu Al-Qasim Al-Zahrawi, atau Abulcasis, termasuk ilmuwan Islam abad pertengahan yang punya kontribusi besar di bidang kedokteran, khususnya ilmu bedah. Dia menemukan 26 peralatan bedah yang belum pernah ada di masa-masa sebelumnya.

Salah satunya, catgut atau benang bedah yang mulai dikenal pada abad ke-10 berkat Al-Zahrawi. Dia membuat benang bedah dari jaringan usus kambing atau sapi, sehingga dapat diterima oleh tubuh manusia dan halal bagi orang Islam.

Sebelum catgut ditemukan oleh Al-Zahrawi, kebanyakan dokter memakai dedaunan tertentu yang ditempelkan di luka agar lekas mengering. Robert Kretsinger dalam buku History and Philosophy of Biology (2015) menulis, Al-Zahrawi juga memperkenalkan banyak alat baru lainnya yang berguna dalam pembedahan. Pisau bedah, sendok bedah, retractor, pengait, surgical rod, specula, bone saw, plaster hanya sebagian alat bedah yang masuk dalam daftar inovasinya.

Keluasan pengetahuan Abu Al-Qasim Al-Zahrawi tentang ilmu bedah terekam dalam karyanya yang paling monumental, At-Tasrif liman Ajiza an at-Ta'lif. Buku setebal 1.500 halaman yang terdiri dari 30 jilid itu menjadi salah satu referensi utama para dokter di Eropa, bahkan hingga era modern.

At-Tasrif liman Ajiza an at-Ta'lif memaparkan 200-an alat bedah sekaligus beragam teknik dalam operasi pembedahan. Di buku ini, Al-Zahrawi mengklasifikasikan 325 jenis penyakit beserta gejala dan cara pengobatannya. Selain itu, masih banyak pengetahuan kedokteran lainnya di buku yang sama, membuat ia diterjemahkan ke bahasa Latin, Inggris, Perancis, hingga Ibrani.

3. Ibnu Nafis

Ibnu al-Nafis adalah cendekiawan Islam dari abad pertengahan yang diakui sebagai bapak fisiologi sirkulasi. Teori sirkulasi darah-paru-paru merupakan salah satu penemuan Ibnu Nafis yang paling berpengaruh hingga saat ini.

Nama lengkap Ibnu Nafis ialah Ala-al-Din Abu al-Hasan Ali Ibn Abi al-Hazm al-Qarshi al-Dimashqi. Dia lahir di Damaskus, sekitar tahun 1213 M. Semasa muda, Ibnu Nafis menimbai ilmu keodkteran di Bimaristan Al Noori.

Pada 1236, Ibn Nafis pindah ke Mesir dan bekerja di Rumah Sakit Al Nassri. Dia kemudian diangkat sebagai kepala direktur Rumah Sakit Mansuriya dan menjadi dokter pribadi sultan. Ibnu Nafis bisa hidup dalam masa cukup panjang di zamannya, yakni 78 tahun. Dia wafat di Mesir pada 1288 M.

Kontribusi penting Ibnu Nafis diakui oleh para ahli medis modern karena ia adalah orang pertama yang merevisi teori sirkulasi darah milik Galen, dokter Yunani dari abad 2 M. Galen memiliki teori bahwa darah mengalir melalui "lubang tak terlihat" di antara bilik kanan dan kiri jantung. Teori ini diterima oleh mayoritas ahli medis pada abad pertengahan.

Namun, Ibnu Nafis menyangkal teori Galen itu. Hasil penelitian Ibnu Nafis justru menyimpulkan hal yang berbeda. Dia merumuskan teori baru bahwa sirkulasi darah manusia dimulai dari bilik kanan jantung, melalui arteri pulmonalis, lalu mengalir ke paru-paru.

Lewat vena pulmonalis, sirkulasi darah kemudian kembali ke serambi kiri menuju bilik kiri jantung dan diedarkan ke seluruh tubuh. Ibnu Nafis membuktikan bahwa darah dipompa dari bilik kanan ke paru-paru, lalu bercampur dengan oksigen, untuk kemudian dialirkan ke bilik kiri.

Teori Ibn Nafis ini menunjukkan, darah disaring di paru-paru sebelum beredar ke seluruh tubuh. Di era modern, proses itu disebut sistem peredaran darah pulmonal.

Temuan Ibnu Nafis itu sempat terlupakan. Kalangan ahli medis modern lebih mengenal Servetus, Vesalius, Kolombo, dan William Harvey, sebagai ilmuwan Eropa yang dianggap mematangkan teori sistem peredaran darah untuk merevisi pendapat Galen. Namun, para sejarawan belakangan tahu bahwa pada abad ke-13, Ibnu Nafis sudah menjelaskan secara komprehensif sistem sirkulasi darah yang sekaligus membantah teori Galen, 300 tahun sebelum teori itu dikukuhkan William Harvey.

Penemuan Ibnu Nafis itu terekam dalam karya besarnya, Sharh al-Tashreeh al-Qanun. Buku Ibnu Nafis tersebut nyaris terlupakan sebelum manuskripnya ditemukan di sebuah perpustakaan yang berada di Jerman, pada 1924. Keberadaan manuskrip ini diketahui pertama kali oleh dokter asal Mesir, Muhyiddin At-Tathawi.

Selain al-Qanun, Ibnu Nafis juga menulis tiga karya penting lainnya di bidang kedokteran, yakni Risalat al-Aadaa, Al-Risalah Al-Kamiliyyah, dan Al-Mujaz Fi Al-Tibb. Buku yang disebutkan terakhir menjadi pegangan para praktisi kedokteran pada abad ke-13.

Sementara itu, bersama dengan al-Qanun, isi buku Risalat al-Aadaa dan Al-Risalah Al-Kamiliyyah menjabarkan penjelasan Ibnu Nafis tentang sistem sirkulasi darah di tubuh manusia.

Penemuan Ibnu Nafis itu lantas diadaptasi ke karya-karya bahasa latin oleh Andreas Alpagus (1547 M), Servestus (1553 M), Vesalius (1555 M), Valvarde (1554 M), Cesalpino (1571 M), serta William Harvey (1628).

4. Al-Razi (Razes)

Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Al-Razi lebih populer dengan nama Al-Razi atau Razes (versi barat). Al-Razi termasuk dalam generasi pemikir muslim abad pertengahan yang terdidik berkat pengaruh besar lembaga Baitul Hikmah di Baghdad. Selain dikenang sebagai salah satu filsuf besar di dunia Islam, ia juga tercatat menjadi ahli ilmu kedokteran yang mumpuni.

Al-Razi lahir di Provinsi Rayy, dekat Teheran, pada tahun 854 M. Sempat hijrah ke Baghdad untuk menjadi dokter pribadi khalifah Dinasti Abbasiyah, ilmuwan polimatik itu kemudian tutup usia di kota kelahirannya pada 923 M.

Melalui karya-karyanya di bidang kedokteran, Ar-Razi menerangkan metode pengobatan sejumlah penyakit. Dia pun memaparkan konsep kesehatan publik, pengobatan preventif, hingga perawatan penyakit yang khusus. Ar-Razi diyakini pula sebagai ahli medis pertama yang mengulas perbedaan campak dan cacar. Dia pun termasuk generasi dokter perintis konsep etika kedokteran.

Nasser Pouyan dalam artikel di Journal of Microbiology Research (2014) mencatat, Al-Razi semula sangat tertarik dengan musik dan bahkan menulis ensiklopedia musik, Fi Jamāl il-musiqi. Al-Razi juga mendalami filsafat dan puisi dengan berguru pada Sahl al-Balkhi.

Saat usianya memasuki kepala tiga, al-Razi untuk pertama kalinya singgah di Kota Baghdad. Suatu hari, ia berkunjung ke Rumah Sakit Muqtadiri. Di sana, al-Razi terlibat percakapan panjang dengan seorang tenaga medis sepuh serta melihat kondisi janin dengan 2 kepala.

Dua peristiwa tersebut mendorong al-Razi menekuni ilmu kedokteran. Dia sempat menjadi petugas rumah sakit di Kota Rayy sebelum kembali lagi ke Baghdag pada awal tahun 900-an untuk bekerja sebagai dokter Rumah Sakit Muqtadiri.

Al-Razi kemudian menelurkan sejumlah karya penting tentang ilmu kedokteran. Kitab al-Ḥawi fi al-Tibb (Comprehensive Book of Medicine) merupakan karyanya yang punya pengaruh besar di Eropa. Buku ensiklopedia praktik kedokteran itu beredar di Eropa setelah diterjemahkan pada tahun 1276 M oleh dokter yahudi, Faraj bin Salim yang bekerja untuk raja Sisilia, Charles of Anjou. Terjemahan latin buku ini bertajuk Liber Continent.

Karya penting al-Razi berikutnya adalah Kitab fi al-Jadari wa'l-Hasaba (A treatise on the Smallpox and Measles). Buku tersebut memuat penjelasan akurat pertama kali tentang perbedaan campak dan cacar. Melalui buku yang sama, al-Razi juga menerangkan diabetes melitus, kehamilan, organ reproduksi, hingga tips diet sehat.

Karya al-Razi lainnya yang tidak bisa diabaikan adalah Kunnāsh al-Manṣuri. Buku ini memuat salah satu risalah medis Arab abad pertengahan yang paling terkenal, Kitab al-Mansouri fi al-Tibb (The book on medicine dedicated to al-Mansur).

Buku yang didedikasikan untuk gubernur Kota Rayy, Al-Mansur ibn Ishaq ini merupakan karya al-Razi yang dinilai mempunyai pengaruh besar setara Kitab al-Ḥawi. Beberapa bagiannya beredar di Eropa secara luas dengan terjemahan bertajuk Liber ad Almansorem. Teks ini menjadi salah satu risalah medis yang paling sering dirujuk di Eropa setidaknya hingga abad 16.

Mengandung 10 bab, bagian awal al-Mansuri memuat penjelasan detail mengenai diet, kebersihan, anatomi, fisiologi, patologi umum, dan pembedahan. Empat bab lantas dikhususkan untuk aspek kedokteran yang lebih praktis, seperti diagnosis, terapi, patologi khusus, dan cara operasi bedah. Bab terakhirnya yang menerangkan patologi medis tubuh dari ujung kepala sampai kaki, populer dalam terjemahan Latin bertajuk Liber Nonus.

5. Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd, atau yang dikenal di Barat sebagai Averroes, merupakan seorang cendekiawan Muslim yang telah menulis karya dalam berbagai bidang, seperti kedokteran, filsafat, teologi, astronomi, fisika, psikologi, matematika, serta hukum dan yurisprudensi Islam.

Karya pertama yang ditulis Ibnu Rusyd adalah buku tentang ilmu kedokteran yang berjudul Kulliyat fi al-Tibb. Buku ini jadi teks wajib di fakultas-fakultas kedokteran Eropa selama berabad-abad.

Dalam buku ini, salah satu yang ditulis oleh Ibnu Rusyd adalah mengenai anatomi otak, ilmu saraf, serta hubungan jantung dan otak. Kulliyat fi al-Tibb pun menunjukkan bahwa Ibnu Rusyd adalah ahli kedokteran pertama yang mendeskripsikan detail gejala penyakit parkinson dan stroke.

Baca juga artikel terkait TOKOH CEDEKIAWAN ISLAM atau tulisan lainnya dari Ai'dah Husnala Luthfiyyah Ans

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ai'dah Husnala Luthfiyyah Ans
Penulis: Ai'dah Husnala Luthfiyyah Ans
Editor: Addi M Idhom