tirto.id - Ketika Pakubuwana II naik takhta menjadi raja Mataram Islam (1727), rentetan konflik besar menghantui Keraton Surakarta. Apalagi sikap politik keraton yang memihak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) membikin mereka terseret ke masalah kompeni Belanda.
Misalnya, lantaran upeti selangit dan peraturan diskriminatif yang dibebankan kompeni terhadap etnis Cina, terjadilah rangkaian pemberontakan. Pemberontakan itu lantas dikenal sebagai Geger Pecinan (1740). Ribuan orang China dibantai oleh pasukan Belanda, membuat sikap politis keraton—sebagai sekutu kompeni—dipertanyakan. Rupanya, keraton memilih berdiri di balik punggung kompeni.
Namun, beberapa kerabat keraton tak sepakat dengan Pakubuwana II. Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa/Mangkunegara I), memilih memberontak.
Merespons itu, Pakubuwana II mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yang berhasil membawa Pangeran Sambernyawa dalam keadaan hidup ke hadapan raja, akan diberi imbalan kekuasaan di Sukawati (sekarang Sragen).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI lewat Sejarah Daerah: Daerah Istimewa Yogyakarta (1987) menjelaskan bahwa sang adik, Pangeran Mangkubumi berhasil mengalahkan Pangeran Sambernyawa pada 1746. Namun, ketika menagih janji hadiah, Pakubuwana II tak menepati janjinya. Selain itu, kehadiran VOC di dalam keraton semakin memperkeruh suasana. Baron van Imhoff memaksa Mataram Islam membayar sewa daerah pesisir utara Jawa sebesar 20.000 real Spanyol per tahunnya.
Mangkubumi menolak permintaan VOC itu. Lebih-lebih ia dibuat sakit hati dua kali. Selain tak diberi ganjaran pemenang sayembara, ia dihina oleh gubernur jenderal di muka umum. Pantas ia dongkol, lantas membelot dan memilih bedol dari keraton. Kemudian, Mangkubumi membikin siasat baru dengan bersekutu bersama Sambernyawa—yang sebelumnya dikalahkannya—dan Martopuro.
Pertempuran panjang tak bisa dicegah. Perlawanan Mangkubumi sungguh sengit. Kompeni pun tak bisa meredamnya.
M.C. Ricklefs menjelaskan riwayat pemberontakan Mangkubumi melalui artikelnya yang berjudul "Babad Giyanti: Sumber Sejarah dan Karya Agung Sastra Jawa" di jurnal Jumantara (Vol. 5, 2014). Pada 12 Desember 1749, demi memperluas legitimasi dan sokongan pertempuran, Mangkubumi mengangkat dirinya menjadi raja di Yogyakarta. Ia bergelar Hamengkubuwana I.
Saat itu, perseteruan dengan Surakarta dan VOC belum selesai. Dalam upaya gencatan senjata, VOC dan Surakarta akhirnya mau diajak berunding. Mangkubumi lantas meminta sebagian wilayah Mataram Islam (khususnya di Yogyakarta) sebagai gantinya.
Perundingan akhirnya dilakukan di Desa Giyanti, Kaki Gunung Lawu, tenggara Surakarta pada 13 Februari 1755. Peristiwa itu dihadiri oleh Pakubuwana III, Nicolaas Hartingh (wakil VOC), dan Mangkubumi. Semua pihak sepakat membelah Mataram Islam menjadi dua bagian: Kesunanan Surakarta dipimpin Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta dipimpin Hamengkubuwana I.
Yogyakarta Usai Perjanjian Giyanti
Sebulan pasca-traktat Giyanti diteken, Hamengkubuwana I menasbihkan kesultananannya dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat. Meski telah berkuasa di keraton sendiri, Hamengkubuwana I tak luput dari pengamatan VOC.
Makalah Suhatno berjudul "Yogyakarta dalam Lintasan Sejarah," yang disampaikan dalam sebuah acara pembekalan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dengan tajuk Lawatan Sejarah Regional DIY (11—14 Juli 2006), memuat keterangan bahwa residen pertama yang dapat tugas dari VOC untuk mengawasi pemerintahan kesultanan adalah Cornelis Donkel (1755—1761).
Kepentingan kolonial masih terus dikedepankan. Benteng Rustenburg (kelak berubah nama jadi Vredeburg) dibangun di utara Keraton Yogyakarta. Kantor pos, barak militer, dan pemukiman orang-orang Eropa dibangun di sekitarnya. Para serdadu ditempatkan di beberapa titik, seperti di dekat Tugu Golong Gilig. Sebagian besar semata-mata demi memantau gerak-gerik kesultanan, barangkali pemberontakan kembali menyeruak.
Sesudah Hamengkubuwana I wafat dan Hamengkubuwana II naik takhta, Pemerintah Hindia Belanda mengintervensi lebih radikal. H.W. Daendels yang menjadi gubernur jenderal (1808—1811) memerintahkan kedua simbol kerajaan di Jawa, Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta tunduk pada mereka. Surakarta mengiyakan, sementara Yogyakarta menentang.
Sebagai konsekuensinya, Daendels mencopot—dengan putusan sepihak yang memaksa—jabatan Hamengkubuwana II. Sang Putra Mahkota, Hamengkubuwana III dinobatkan menjadi sultan menggantikan ayahandanya.
Mulanya, Hamengkubuwana II menerima dengan legawa keputusan tersebut. Namun disahkannya Rekapitulasi Tuntang pada 18 September 1811 yang menyatakan kekuasaan Belanda jatuh sepenuhnya ke tangan Inggris, membuat Hamengkubuwana II buru-buru memasangkan kembali mahkota ke kepalanya. Ia mengembalikan Hamengkubuwana III menjadi putra mahkota.
Sekembalinya menjadi sultan, ia menuntut balik kerugian material dan non-material kepada Inggris atas kerugian dari pendahulunya, Belanda. Sebagiannya disanggupi oleh Inggris, seperti pemulangan Pangeran Natakusuma dan R.T. Natadiningrat. Meski urung diganti, Hamengkubuwana II dipaksa membayar mahal. Inggris justru meminta tebusan yang menyudutkan macam gratifikasi kekuasaan. Jelas saja, permintaan itu ditolak mentah oleh Hemangkubuwana II.
Pasukan Inggris lantas menyerbu Keraton Yogyakarta dan berhasil menangkap Hamengkubuwana II. Untaian Soekanto dalam Sekitar Jogjakarta, 1755—1825 (1952) menjelaskan, ia diasingkan ke Pinang lantas dialihkan ke Ambon. Lantaran terjadi kekosongan kepemimpinan, putra mahkota diangkat kembali menjadi sultan oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.
Raffles juga mengangkat Pangeran Natakusuma sebagai Paku Alam I—Pangeran Merdeka yang bertakhta di dalam struktur Keraton Yogyakarta. Natakusuma juga diberi tanah seluas 4.000 cacah yang diambil dari kekayaan sultan. Sekarang, lokasi Keraton Pakualaman terletak di sebelah timur Keraton Yogyakarta. Batas bentang alam wilayah keduanya ditandai dengan sekat Sungai Code yang mengindikasikan wilayah barat milik kesultanan dan timur milik pakualaman.
Saking banyaknya intervensi bangsa asing terhadap urusan kerajaan membuat beberapa petinggi Kesultanan Yogyakarta geram. Salah satunya Pangeran Diponegoro, yang merupakan salah seorang keluarga keraton. Bagi siapa pun yang hendak menjadikan sosok paling epik dalam Perang Jawa (1825—1830) ini sebagai rujukan historiografi, dapat mencermati karya Peter Carey yang berjudul The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785—1855 (2007).
Dampak Perang Jawa sungguh signifikan. Kesultanan Yogyakarta hampir kehilangan semua wilayah otoritatifnya. Tahun 1830, sekurang-kurangnya kesultanan hanya memiliki 2 kabupaten, Mataram dan Gunung Kidul. Itu pun harus membayar sewa pada Belanda.
Kesultanan Yogyakarta melunak. Mereka memilih tunduk secara halus demi menghindari polemik adu senjata. Efek setelahnya, petinggi keraton harus menerima imbas kemiskinan hebat. Harta mereka terkuras untuk membayar sewa tanah dengan nominal tinggi kepada Belanda. Selain itu, Belanda juga merangsek ke pembuatan peraturan dan hukum keraton.
Pada 1839 sultan dianugerahi pangkat Pangeran Singa Nederland oleh Belanda. Penyematan gelar simbolis itu mengindikasikan bahwa Kesultanan Yogyakarta berada di bawah komando pemerintah kolonial. Impak baiknya, hubungan sultan dan gubernur jenderal terjalin "harmonis," perang nihil.
Yogyakarta di Masa Pergerakan Nasional
Lambat laun, Kesultanan Yogyakarta begah dengan kungkungan penjajah. Serupa kota lain yang bercorak nasionalis, Yogyakarta menjadi tempat tumbuhnya organisasi yang menebar ide-ide baru tentang kemajuan bangsa.
Tanggal 3—5 Oktober 1908, organisasi pendidikan kenamaan, Budi Utomo menghelat kongres pertama di Kweekschool Jetis Yogyakarta. Kongres itu memberi stimulus kepada rakyat tentang upaya perbaikan di bidang sosial, pendidikan, budaya, dan politik.
Salah satu yang tersulut baranya adalah Muhammadiyah. Ia didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 sebagai organisasi berbasis keagamaan. Dalam buku Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah (1990), Abdul Munir Mulkhan menulis jejak Ahmad Dahlan yang bergabung ke Budi Utomo. Karena afiliasinya itu, Ahmad Dahlan bisa memperoleh perizinan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan organisasi yang berhulu di Kampung Kauman, Yogyakarta tersebut.
Di periode selanjutnya, seorang bangsawan putra Paku Alam II lulusan Stovia, mendirikan sekolah modern, Taman Siswa. Ia adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat.
Ryadi Goenawan dan Darto Harnoko melalui Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta (1993), mencatat sebelum Suwardi mendirikan Taman Siswa, ia terlibat dalam organisasi politik nasionalis pertama, Indische Partij. Ia mendirikan organisasi itu bersama Tjiptomangkunsumo dan Douwes Dekker pada 1912. Ia juga menulis karangan kritis yang menohok pemerintah kolonial dengan tajuk Als ik eens een Nederlander Was.
Gelora nasionalisme Suwaradi Suryaningrat merambat ke lembaga pendidikan besutannya, Taman Siswa. Kendati mengusung ide modernitas, asas pendidikannya berpihak kepada rakyat. Prinsip moralitas dijunjung tinggi di sekolah ini, seperti mengedepankan adab ketimbang ilmu.
Lantaran urusan ideologis, Suwardi memutuskan meninggalkan identitas kebangsawanannya. Ia mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada 23 Februari 1928 agar lebih mudah berbaur dengan rakyat.
Proyek Taman Siswa terbilang sukses. Menjelang Perang Dunia II meletus, Taman Siswa telah mempunyai 200 cabang di seantero negeri dengan sekurang-kurangnya 20.000 murid.
Tatkala Jepang merebut Indonesia dari genggaman Pemerintah Hindia Belanda, tatanan institusi yang beraliran Eropa di Yogyakarta diubah. Sistem kawedanan dihapus, mengakibatkan urusan kecamatan ada di bawah kabupaten.
Istilah kabupaten pun diganti menjadi Si. Status Yogyakarta sebagai swapraja gemeente semasa Hindia Belanda dihapus. Kewenangannya ada di bawah zelfbestuur yang berpusat di Kepatihan Danurejan.
Salah satu tinggalan struktur administratif Jepang kepada Yogyakarta adalah pembentukan Rukun Tetangga (Tonarigumi) dan Rukun Kampung (Azazyookai). P.J. Suwarno dalam bukunya yang berjudul Dari Azazyookai dan Tonarigumi ke rukum Kampung dan Rukun Tetangga di Yogyakarta (1942-1989) (1955) menyebut pembentukan ini merupakan upaya preventif sebagai antisipasi prakarsa perang. Jepang menyadari, sekecil apa pun struktur kemasyarakatannya, mereka harus ada di bawah komando kuat pemerintah.
Yogyakarta pada Masa Awal Kemerdekaan RI
Setelah mendengarkan proklamasi kemerdekaan, Kesultanan Yogyakarta segera menyatakan diri melebur menjadi bagian dari RI. Sultan HB IX maupun Yogyakarta kemudian mempunyai peran vital dalam perjuangan mempertahankan negara muda bernama Republik Indonesia.
Memasuki tahun 1946, ibu kota negara berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal itu disebabkan iklim keamanan Jakarta memburuk di akhir tahun 1945. Belanda mendaratkan pasukan di Tanjung Priok pada 30 Desember 1945. Mereka bermaksud menguasai kembali Indonesia—yang telah merdeka.
Setelah itu, diboyonglah para petinggi negara ke Yogyakarta. Yogyakarta dipilih menjadi ibu kota baru berdasar perhitungan matang. Pertama, kedua raja di Yogyakarta, Hamengkubuwana IX dan Paku Alam VIII menunjukkan sifat kompromis dan toleran terhadap kemerdekaan. Kedua, aspek sosio-kultur masyarakat yang mendukung penuh semangat revolusi.
Setibanya di Yogyakarta, seturut catatan M. Alwi Dahlan dalam Istana Presiden Indonesia (1979), Soekarno menempati Gedung Nasional. Itulah mengapa gedung ini akrab disebut "Gedung Kepresidenan". Sementara sang wakil, Mohammad Hatta mendiami Gedung Asisten Residen.
Sejak 1946 hingga 4 tahun kemudian, Yogyakarta menjadi pusat kendali pemerintahan RI di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan. Konflik Indonesia versus Belanda tak kunjung usai meski beberapa perundingan sempat terjadi, sementara kekacauan politik melanda internal RI.
Puncaknya adalah ketika Belanda melancarkan agresi militer II pada 19 Desember 1948. Hari itu, pasukan Belanda menyerbu Yogyakarta. Diawali pengeboman Maguwoharjo, pasukan Belanda lalu mengepung Istana Kepresidenan di Yogya dengan kendaraan lapis baja. Alhasil, kedua pemimpin negara berhasil ditawan Belanda. Soekarno dibuang ke Prapat dan Hatta diasingkan ke Bangka.
Namun, perlawanan pejuang republik tidak lantas padam. Pasukan TNI tetap bergerilya di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sebagian tentara Republik juga masih tetap bertahan dengan bersembunyi di pinggiran Yogyakarta.
Pertempuran paling ikonik yang berlangsung serangkai dengan rentetan konflik ini ialah Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam serangan mendadak itu, pasukan RI berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar 6 jam, fakta yang menunjukkan pada dunia internasional bahwa Republik Indonesia belum lenyap.
Tekanan PBB dan publik internasional akhirnya membuahkan perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Perundingan lantas berlanjut dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di tahun yang sama. Perjanjian KMB menghasilkan kesepakatan, salah satunya adalah kesediaan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Perjanjian Roem-Royen menyepakati gencatan senjata dan pembebasan para pimpinan RI. Setelah memberi mandat ke HB IX untuk pemulihan keamanan Yogyakarta, Sukarno-Hatta kembali ke ibu kota RI 6 Juli 1949. Selepas KMB, tepatnya 16 Desember 1949, wakil-wakil negara bagian memilih Sukarno menjadi Presiden RIS di Kepatihan Yogyakarta.
Usia RIS tidak bertahan lama karena Republik Indonesia segera kembali dipulihkan sebagai negara kesatuan pada 17 Agustus 1950. Bersamaan dengan hari itu, ibu kota RI dipindahkan kembali dari Kota Yogyakarta ke Jakarta.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom