Menuju konten utama

Sejarah Penemuan Candi Borobudur Hingga Tahap Restorasi & Pemugaran

Berikut ini sejarah penemuan Candi Borobudur hingga tahap restorasi dilakukan dengan pemugaran dua kali.

Sejarah Penemuan Candi Borobudur Hingga Tahap Restorasi & Pemugaran
Candi Borobudur foto/shutterstock

tirto.id - Candi Borobudur dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno, tepatnya saat masa pemerintahan Wangsa Syailendra. Prasasti Karang Tengah dan Tri Tepusan menunjukkan pembangunan candi ini dilaksanakan atas perintah raja Wangsa Syailendra bernama Samaratungga.

Dari segi administrasi wilayah, Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi ini tepatnya di jalan Badrawati.

Secara geografis, Candi Borobudur terletak di selatan lembah Tidar (Magelang), sebuah cekungan yang dibatasi oleh Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di timur, Gunung Telomoyo di utara, serta Gunung Sumbing di barat dan pegunungan Menoreh di selatan. Candi ini berada di ketinggian 266 mdpl, demikian mengutip publikasi Balai Konservari Borobudur di situs borobudurpedia.id.

Pembangunan Candi Borobudur dilakukan pada sekitar tahun 750-850 M. Perkiraan ini berdasarkan pada prasasti Karang Tengah (824 M) dan prasasti Tri Tepusan/Sri Kahulunan (842 M).

Taksiran mengenai tahun pembangunan Candi Borobudur itu selaras dengan hasil penelitian bentuk huruf dalam inskripsi pendek di bagian atas relief Karmawibhangga. Panil relief ini berada di bagian kaki Candi Borobudur yang sekarang tertutup oleh tanah.

Para arkeolog memperkirakan pembangunan Candi Borobudur dimulai dengan meratakan puncak sebuah bukit. Bagian bukit yang tersisa kemudian dipadatkan dengan batu.

Menurut Marsis Sutopo dalam 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur (2014), arsitek Borobudur sengaja mengubah bukit setinggi 30 meter menjadi candi agar berbeda dari bangunan sejenis di zamannya. Perancang Borobudur ingin memanfaatkan bentuk bukit untuk mendesain candi dengan dasar bangunan berundak.

Kemudian, pondasi dan tubuh Candi Borobudur dibangun dengan mengikuti struktur mirip piramida (meruncing ke atas). Namun, di tengah pembangunannya, diduga ada perubahan desain.

Alhasil, bangunan candi diubah menjadi seperti undakan persegi yang dilengkapi undak melingkar. Selain itu, dilakukan pelebaran pondasi dan kaki candi serta penambahan tangga hingga pagar.

Candi Borobudur memiliki punden berundak, dan berbentuk persegi dengan panjang 121.66 meter, lebar 121.38 meter, tinggi 35.40 meter. Candi ini juga memiliki tangga di keempat sisinya. Secara visual, candi ini terlihat seperti sebuah stupa berbentuk teras bertingkat 10, yang melambangkan 10 jalan Bodhisattwa.

Sebagian besar peneliti memperkirakan, sekitar 150 tahun setelah didirikan, Candi Borobudur tidak lagi dipakai sebagai salah satu pusat kegiatan keagamaan di Mataram Kuno. Sebab, pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur. Akibat berbagai bencana alam, termasuk letusan gunung api, serta tidak terawat, Candi Borobudur tertutup oleh hutan lebat dan tanah selama hampir 1 milenium.

Sejarah Penemuan Candi Borobudur

Penemuan kembali Candi Borobudur bermula dari kedatangan Thomas Stamford Raffles ke Pulau Jawa pada Abad 19. Raffles (1781-1826) menerima mandat dari Kerajaan Inggris menjadi Letnan Gubernur Hindia Belanda selama tahun 1811-1816.

Raffles menempati posisi ini setelah pasukan Kerajaan Inggris merebut wilayah jajahan Kerajaan Belanda yang kala itu disetir oleh Prancis era Napoleon Bonaparte.

Raffles merupakan administrator dan pemimpin militer yang unik. Tidak hanya piawai mengelola organisasi pemerintahan dan menundukkan kerajaan-kerajaan lokal, ia pun berminat mempelajari pengetahuan tentang alam, sejarah, dan kebudayaan nusantara.

Dia juga bersemangat mempelajari naskah dan benda-benda peninggalan kuno, terutama di Jawa, meski sebagian ia rampas dan diusung ke Eropa. Tidak heran, informasi tentang keberadaan bangunan kuno sebesar bukit di belantara Magelang segera membetot perhatiannya.

Raffles mendengar kabar tersebut saat sedang melakukan inspeksi di Semarang pada tahun 1914. Tak lama kemudian, Raffles memerintahkan Hermanus Christiaan Cornelius (H.C . Cornelius) untuk memeriksa kebenaran informasi itu.

Benar saja, ketika Cornelius mendatangi tempat yang dimaksud oleh Raffles, insinyur perwira zeni asal Belanda itu menemukan sebuah bangunan batu raksasa. Cornelius lalu mengerahkan ratusan penduduk untuk membersihkan tutupan pohon, semak belukar, dan tanah di sana.

Ada sekitar 200-an orang yang dikerahkan oleh Cornelius. Namun, proses pembersihan itu butuh waktu tidak sebentar, sekitar 45 hari.

Hasilnya, terkuak bangunan besar dengan arsitektur menakjubkan yang kini dikenal sebagai Candi Borobudur. Dalam bukunya yang terbit pada 1817, The History of Java, Raffles mencatat bangunan itu sebagai Candi Boro Bodo.

Marsis Sutopo dalam 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur (2014) mencatat pekerjaan Cornelius kemudian dilanjutkan oleh pejabat pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yakni Hartmann. Residen Kedu itu memerintahkan pembersihan candi dari kotoran dan tanah. Pekerjaan itu selesai di tahun 1835.

Setelah proses perbaikan terhadap bagian-bagian candi yang rusak dilaksanakan, termasuk stupa yang puncaknya dibongkar oleh Hartmann, Candi Borobudur "hidup kembali" dan mulai diteliti.

Restorasi Candi Borobudur: Sejarah Pemugaran Pertama

Candi Borobudur sempat mengalami 2 episode pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan di tahun 1907-1811, di bawah komando insinyur Belanda, Theodore van Erp. Lebih dari 60 tahun berselang, yaitu tahun 1973-1983, pemugaran kedua dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan UNESCO.

Terhitung sampai tahun 1885, penelitian Candi Borobudur terus dilakukan untuk menemukan dan memaknai reliefnya. Salah satu relief yang paling terkenal adalah Karmawibhangga.

Pada tahun 1882, saat Jawa berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, sempat ada usulan agar Candi Borobudur dimuseumkan untuk melindungi reliefnya yang indah. Usulan tersebut lahir karena banyak bagian candi yang rusak dan melapuk.

Namun, usul tersebut ditolak. Lantas, muncul pemikiran untuk mencari usaha penyelamatan candi, yakni dengan restorasi.

Pada 1900, pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk komisi yang terdiri dari J.L.A. Brandes, Theodoor van Erp, dan B.W. van de Kamer. Pada 1902, komisi tersebut mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Candi Borobudur.

Pertama, memperkokoh sudut-sudut bidang candi, menegakkan kembali dinding, dan memperbaiki stupa. Kedua, menyempurnakan sistem saluran air dan menerapkan pemeliharaan bangunan candi secara ketat.

Terakhir, yang ketiga, menyingkirkan batu-batu lepas di candi, menggali kaki candi yang terkubur tanah, dan membongkar bangunan tambahan hingga melengkapi lagi stupa induk, agar Borobudur terlihat utuh kembali.

Menukil buku Kronologi pemugaran Candi Borobudur 1814-1983 karya Ismijono (2017), usulan itu disetujui oleh Kerajaan Belanda yang mau menyediakan biaya pemugaran senilai 48.800 gulden. Pemugaran pertama ini dipimpin oleh van Erp, dan dimulai pada Agustus 1907.

Theodoor van Erp sejatinya seorang insinyur militer. Dia ditempatkan di Hindia Belanda pada tahun 1896 sebagai anggota korps zeni. Setelah sempat bertugas di Cilacap dan Medan, dia kemudian berdinas di Magelang.

Pekerjaan yang berkaitan dengan peninggalan masa lampau ini bukan hal baru untuk van Erp. Dia pernah terlibat dalam berbagai proyek konservasi, seperti di Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Ngawen, Candi Selogriyo, dan Candi Pringapus. Namun, perspektif arkeologis van Erp diragukan.

Saat memimpin pemugaran Candi Borobudur, van Erp membuat rekonstruksi chattra (payung) tiga susun yang ditempatkan di atas yasti stupa induk. Karena dinilai tidak bisa dipertanggungjawabkan keasliannya, chattra tersebut lantas diturunkan kembali.

Kini, chattra tersebut disimpan di Museum Karmawibhangga, Borobudur. Pada tahun 1926, Candi Borobudur sempat dipugar kembali, tetapi dihentikan pada tahun 1949 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.

Restorasi Candi Borobudur: Sejarah Pemugaran Kedua

Pemugaran Candi Borobudur tahap kedua dimulai pada 10 Agustus 1973 dan selesai pada tahun 1983. Pemugaran kedua ini dilakukan pemerintah Republik Indonesia dengan dibantu oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Pemugaran kedua berfokus merekatkan lagi batu-batu, memangkas tumbuhan, serta melakukan dokumentasi. Pemugaran kedua ini dilakukan karena alasan proses pelapukan candi yang bersifat physiochemis, dan juga berkenaan dengan kerusakan struktur yang bersifat teknis-arsitektonis.

Ismijono dalam Kronologi pemugaran Candi Borobudur 1814-1983 (2017) menjelaskan pemugaran kedua dipersiapkan oleh pemerintah RI sejak tahun 1969. Satu tahun kemudian, tenaga ahli dari UNESCO datang ke Borobudur untuk melakukan penilaian.

Hasil penelitian para ahli menyimpulkan, faktor utama penyebab kerusakan Candi Borobudur ialah air. Faktor air memicu kemelesakan pada dinding candi karena lemahnya daya dukung tanah lokasi bangunan Borobudur. Faktor yang sama dan kelembaban lingkungan juga mempercepat pelapukan batu candi.

Maka itu, dalam rencana kerja buatan NEDECO, lembaga yang ditunjuk oleh UNESCO, pemugaran kedua berfokus pada restorasi kondisi Candi Borobudur yang rusak. Upaya ini dilaksanakan melalui pekerjaan rehabilitasi, restorasi, rekonstruksi, konsolidasi dan perawatan.

Guna memulihkan kondisi Candi Borobudur yang rusak, pembongkaran total dilakukan. Kemudian, batu-batu dipasang kembali ke tempat yang semestinya setelah dibersihkan dan diawetkan.

Masih mengutip penjelasan Ismijono, untuk mencegah terulangnya kembali kerusakan yang sama, pondasi setiap tingkatan dinding Candi Borobudur diperkuat menggunakan pelat beton (concrete slab). Pelat itu mengelilingi lorong candi, sistem drainase dan berbagai lapisan kedap air lainnya.

Pemasangan pondasi beton ini bertujuan memperkuat titik-titik lemah di tumpukan batu candi, dan meratakan beban yang tidak sama. Tindakan ini juga bermanfaat menanggulangi kapilarisasi air.

Hingga restorasi selesai pada tahun 1983, biaya pemugaran Candi Borobudur tahap kedua secara keseluruhan menghabiskan anggaran senilai 7,75 juta dolar AS. Dana itu setara Rp19,37 miliar di kurs rupiah saat itu (2.500 per USD 1).

Biaya pemugaran Candi Borobudur bersumber dari bantuan UNESCO dan anggaran pemerintah RI. Dana 5 juta dolar AS berasal dari bantuan UNESCO, sementara 2,75 juta dolar AS lainnya disuplai oleh pemerintah RI.

Baca juga artikel terkait CANDI BOROBUDUR atau tulisan lainnya dari Fadhillah Akbar Zakaria & Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Fadhillah Akbar Zakaria
Penulis: Fadhillah Akbar Zakaria & Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom