tirto.id - Pasukan Cakrabirawa (Tjakrabirawa) dibentuk pada 6 Juni 1962 bertepatan dengan peringatan hari lahir Presiden Sukarno. Resimen Cakrabirawa adalah pasukan pengamanan presiden yang kemudian disebut-sebut terlibat dengan Gerakan 30 September (G30S) 1965 dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Apa hubungan Pasukan Cakrabirawa dengan peristiwa G30S dan PKI?
Resimen Cakrabirawa terdiri dari gabungan pasukan TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian Republik Indonesia. Penamaan pasukan ini diambil dari kata Cakra, nama senjata milik salah satu tokoh berpengaruh dalam pewayangan yakni Krisna, serta Birawa yang artinya hebat atau dahsyat.
Setelah G30S 1965, tepatnya sejak 28 Maret 1966, peran Cakrabirawa sebagai pasukan pengamanan presiden beserta keluarganya dihapuskan. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden RI ke-2 yakni Soeharto, dibentuk Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) yang memiliki tugas seperti Resimen Cakrabirawa.
Sejarah Dibentuknya Pasukan Cakrabirawa
Sejarah Cakrabirawa bermula sejak Presiden Sukarno mengalami beberapa peristiwa percobaan pembunuhan. Sejumlah aksi percobaan pembunuhan tersebut masing-masing terjadi pada 1946, 1957, 1960, serta dua kali pada 1962.
Ketika itu, sebenarnya sudah ada satuan yang bertugas mengawal presiden, yakni Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dan Detasemen Pengawal Chusus/Khusus (DPC). Namun, keberadaan dua satuan ini dirasa belum cukup menjamin keamanan dan keselamatan Presiden Sukarno beserta keluarganya.
Atas usul Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan (Menkohankam) sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB) kala itu, yakni Jenderal Abdul Haris Nasution, serta respons baik dari Presiden Sukarno, maka dibentuklah Resimen Cakrabirawa.
Dikutip dari Tragedi Seorang Loyalis (2007) karya Julius Pour, dijelaskan bahwa Resimen Cakrabirawa diperkuat 3.000 orang prajurit matang dan paham strategi gerilya.
Pembentukan Resimen Cakrabirawa diresmikan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 211/PLT/1962 tanggal 6 Juni 1962. Pasukan pengamanan presiden terdiri dari semua unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yakni AD, AL, AU, dan Kepolisian.
Hubungan Pasukan Cakrabirawa dengan PKI dan G30S 1965
Ada sebagian anggota atau pemimpin Pasukan Cakrabirawa yang ditengarai terlibat dengan peristiwa G30S 1965 atau Gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965 yang menyeret pengaruh PKI.
Beberapa orang di antaranya adalah Letkol Inf Untung Syamsuri (Komandan Batalyon I Cakrabirawa), Lettu Dul Arif (Komandan Resimen Cakrabirawa), Pelda Djahurub, Sersan Mayor Bungkus, Serda Raswad, Sersan Mayor Surono Hadiwiyono, Sersan Mayor Satar, Sersan Dua Giyadi, Kopral Dua Hargiono, dan Sersan Satu Ishak Bahar.
Menjelang malam 30 September 1965, Letkol Untung selaku Komandan G30S dibantu Lettu Doel Arif mengumpulkan sejumlah prajurit dari Resimen Cakrabirawa, yakni sekitar 60 orang.
Artinya, dari total 3.000 orang anggota Pasukan Cakrabirawa, hanya dua persen saja yang terlibat G30S. Bahkan, sebagian dari mereka tidak paham misi sebenarnya yang akan dijalankan. Mereka hanya tahu bahwa ada perintah menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal.
“Saya dapat perintah dari komandan batalyon untuk memberikan briefing. Misi kita adalah menggagalkan kudeta Dewan Jenderal,” kata Dul Arif dalam ingatan Mayor Bungkus, yang kemudian menyampaikannya kepada Ben Anderson dalam sebuah wawancara, yang dimuat dalam Jurnal Indonesia (Oktober 2004).
Bungkus menerangkan bahwa penangkapan itu adalah perintah dari komandannya, Dul Arif, dari atasan tertinggi, Kolonel Untung. Artinya, tidak ada hubungan Cakrabirawa dengan PKI terkait penangkapan itu, menurutnya.
Tengah malam, 30 September 1965 atau dini hari 1 Oktober 1965, puluhan pasukan Cakrabirawa bergerak, menjemput paksa beberapa perwira tinggi AD dengan dalih mereka mendapatkan panggilan untuk menghadap Presiden Sukarno.
Beberapa jenderal AD termasuk Ahmad Yani, M.T. Haryono, R. Soeprapto, D.I. Pandjaitan, Suwondo Parman, dan Sutoyo Siswomiharjo, menjadi korban dan gugur akibat peristiwa G30S 1965. Begitu pula dengan Pierre Tendean, K.S. Tubun, serta Ade Irma Suryani.
Jenazah para jenderal, serta Pierre Tendean ajudan Jenderal A.H. Nasution, yang menjadi korban penculikan dalam peristiwa G30S di ibu kota ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 3 Oktober 1965.
Para pahlawan revolusi ini dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 5 Oktober 1965 bertepatan dengan peringatan hari lahir TNI.
Lantas, mengapa Cakrabirawa membunuh jenderal?
Mayor Bungkus menjelaskan, perintah yang disampaikan Komandan Kompi Dul Arif adalah menangkap Dewan Jenderal hidup atau mati.
"Jika itu adalah pilihan, mungkin kita bisa menangkapnya hidup-hidup. Tapi, jika ada konfrontasi, kami harus menghancurkan mereka, dan tidak ada pertanyaan lanjutan," jelasnya, masih dikutip dari hasil wawancaranya bersama Ben Anderson.
Akan tetapi, seingat Bungkus, dari tujuh jenderal yang disergap oleh Cakrabirawa, hanya dua yang gugur, yakni Jeneral Ahmad Yani dan D.I. Panjaitan. Sisanya masih hidup, termasuk M.T. Harjono, juga Brigjen Sutoyo dan Letjen Suwondo Parman.
"Saya tidak tahu apa yang kemudian terjadi [setelah malam penangkapan itu]. Saya tidak tahu apa perintahnya. Kadang, di militer mereka banyak berubah. Namun, sekitar pukul 9 pagi, ketika saya menuju dusun, mereka tertembak," ungkap Bungkus. Ia sendiri mengatakan tidak tahu siapa yang melakukan penembakan itu, tetapi yang jelas berseragam militer.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Fadli Nasrudin