Menuju konten utama

Sejarah Ketua MPR RI: sejak Chaerul Saleh hingga Bambang Soesatyo

Bambang Soesatyo merupakan Ketua MPR ke-15 dalam sejarah pemerintahan RI.

Sejarah Ketua MPR RI: sejak Chaerul Saleh hingga Bambang Soesatyo
Ketua MPR Bambang Soesatyo terpilih menutup sidang sidang usai pelantikan pimpinan MPR periode 2019-2024 di ruang rapat paripurna MPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/10/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Bambang Soesatyo atau yang akrab disapa Bamsoet secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI periode 2019-2024. Politikus Golkar ini menjadi Ketua MPR ke-15 dalam sejarah republik.

Bamsoet sebelumnya menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Kini Ketua DPR dijabat Puan Maharani.

Pemilihan Ketua MPR RI 2019-2014 digelar dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/9/2019) malam. Rapat itu dihadiri 647 orang wakil rakyat.

Dalam pelantikan, Bamsoet berpidato soal peran MPR dalam bernegara.

“Rumah untuk mengamankan ideologi Pancasila, melaksanakan konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengawal tegaknya kehidupan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika."

Selain Bamsoet, terpilih pula 9 Wakil Ketua MPR RI 2019-2024, yaitu Ahmad Basarah (PDIP), Ahmad Muzani (Gerindra), Lestari Moerdijat (Nasdem), Jazilul Fawaid (PKB), Syarief Hasan (Partai Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS), Zulkifli Hasan (PAN), Arsul Sani (PPP), serta Fadel Muhammad (DPD).

Ketua MPR Orde Lama & Orde Baru

Sejak pertama kali dibentuk setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan nama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), pimpinan salah satu lembaga tinggi negara ini kerap didominasi orang-orang yang berasal dari partai.

Berdasarkan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, MPRS terdiri dari anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Saat pertama kali dibentuk, anggota MPRS berjumlah 616 orang, terdiri dari 257 anggota DPR-GR, 241 utusan Golongan Karya, dan 118 utusan daerah.

Ketua MPR RI pertama atau MPRS ialah Chaerul Saleh. Ia mulai menjabat sejak 1960. Chaerul adalah tokoh dari Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Ia mendirikan Murba bersama Tan Malaka, Sukarni, dan Adam Malik pada 7 November 1948.

Murba berdiri setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) terdepak usai peristiwa Madiun, September 1948. Meskipun Tan Malaka dan kawan-kawan berseberangan dengan orang-orang PKI, dikutip dari Majalah Tempo (2008), Murba tetap dicitrakan sebagai partai komunis baru.

MPRS bertahan hingga satu dekade. Sepanjang periode itu, ada dua orang Ketua MPRS setelah Chaerul Saleh: Wilujo Puspojudo (menjabat beberapa bulan saja pada 1966), dan Abdul Haris Nasution (hingga 28 Oktober 1971 atau saat sudah memasuki Orde Baru).

Wilujo Puspojudo dan A.H. Nasution sama-sama dari kalangan militer. Adapun Ketua MPR selanjutnya berasal dari golongan agamis, yakni tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU) Idham Chalid. Kala itu, posisi Ketua MPR digabungkan dengan jabatan Ketua DPR.

Wimanjaya K. Liotohe dalam Prima Dusta: Dusta Terbesar Abad Ini (1997) menyebut, kedudukan DPR setara dengan presiden, sedangkan MPR berkedudukan di atas presiden. Kendati dalam penerapannya selama era Orde Baru, praktiknya tidak selalu demikian.

Setelah Idham Chalid hingga runtuhnya Orde Baru pada 1998, jabatan Ketua MPR/DPR dikuasai oleh Golkar. Golkar adalah kendaraan politik Soeharto, yang selalu mengalahkan dua parpol kala itu, PPP dan PDI.

Ketua MPR RI pertama dari Golkar adalah Adam Malik yang dilantik pada 1 Oktober 1977. Bekas Menteri Perdagangan dan Menteri Luar Negeri ini menjabat kurang dari setahun. Dikutip dari Wapres: Pendamping atau Pesaing? (2008) karya Binilang Bawatanusa Janis, Adam Malik lantas ditunjuk sebagai Wakil Presiden oleh Soeharto pada 23 Maret 1978.

Sebagai pengganti, Soeharto mengangkat Daryatmo yang pernah menjabat Panglima Kodam II/Bukit Barisan. Daryatmo akhirnya terjun ke kancah politik praktis bersama Golkar selayaknya para pensiunan tentara lainnya di zaman Orde Baru.

Era Daryatmo sebagai Ketua MPR usai pada 30 September 1982. Setelah itu, posisi ini kembali diduduki oleh orang-orang Golkar pilihan Soeharto, berturut-turut adalah Amir Machmud (1982-1987), Kharis Suhud (1987-1992), Wahono (1992-1997), hingga Harmoko.

Harmoko menjabat Ketua MPR sejak 1 Oktober 1997 hingga 30 September 1999. Mantan Menteri Penerangan ini merupakan Ketua MPR terakhir Orde Baru yang bertahan hingga masa-masa awal era reformasi. Sejak itu, MPR dan DPR kembali dipisah.

Ketua MPR Sejak Reformasi-Kini

Orang yang menempati kursi Ketua MPR pertama setelah Orde Baru runtuh adalah Amien Rais. Tokoh Muhammadiyah sekaligus pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) ini disebut-sebut turut berperan dalam mengakhiri kekuasaan Soeharto.

Amien yang menjabat dari 3 Oktober 1999 hingga 30 September 2004 memberikan warna baru di MPR yang selama ini cenderung tunduk kepada presiden atau kekuasaan dan jarang sekali bersuara lantang dalam mengiringi jalannya pemerintahan.

MPR di bawah kendali Amien Rais melakukan sejumlah manuver. Salah satunya adalah mendudukkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden meskipun pemenang Pemilu 1999 adalah PDIP. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, hanya mendapatkan posisi sebagai wakil presiden.

Amien pula yang justru menjungkalkan Gus Dur dan menaikkan Megawati ke pucuk pemerintahan melalui Sidang Istimewa (SI) pada 2001. Menurut Handri Raharjo dalam Sistem Hukum Indonesia (2018), SI MPR dilaksanakan sebagai respons terhadap langkah Gus Dur yang telah membekukan MPR/DPR dan Golkar.

Terhitung tanggal 7 Oktober 2004, Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjabat Ketua MPR menggantikan Amien. Selanjutnya, giliran tokoh PDIP yang juga suami Megawati, Taufik Kiemas, menempati jabatan ini sejak 4 Oktober 2009.

Namun, di tengah-tengah masa baktinya, Taufik Kiemas wafat pada 8 Juni 2013. Pengganti sementaranya juga berasal dari PDIP, Sidarto Danusubroto, yang menjabat sampai 30 September 2014.

Setelah Pilpres 2014 yang dimenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) mengalahkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, yang muncul sebagai Ketua MPR periode 2014-2019 adalah Zulkifli Hasan alias Zulhas.

Terpilihnya Zulhas menarik karena dia adalah elite PAN, partai yang sebenarnya tidak mendukung Jokowi-JK. Bahkan, Hatta Rajasa yang berpasangan dengan Prabowo di Pilpres 2014 adalah Ketua Umum PAN saat itu sebelum digantikan Zulhas sejak 1 Maret 2015.

Jelang Pilpres 2019, Zulhas, juga besannya yang tidak lain adalah Amien Rais, kerap mengkritik rezim Jokowi-JK. Demikian pula dengan sikap unik PAN yang lagi-lagi tidak berada di kubu Jokowi.

Kendati begitu, posisi Zulhas sebagai Ketua MPR tetap aman hingga akhir masa baktinya. Dia lantas digantikan Bamsoet.

Terpilihnya Bamsoet bakal membuat Jokowi dan kubunya kian dominan dalam lima tahun ke depan. Alasannya sederhana: hampir seluruh posisi puncak lembaga tinggi negara ditempati oleh pendukung Jokowi, termasuk Ketua DPR yang dijabat Puan Maharani dan La Nyalla Mattalitti yang menjabat Ketua DPD RI.

Baca juga artikel terkait MPR RI atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz