tirto.id - Jauh sebelum Ma’ruf Amin terpilih jadi wakil presiden, dan tentunya juga sebelum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden, Idham Chalid adalah orang pertama dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan tertinggi di pemerintahan.
Dia berkali-kali jadi wakil perdana menteri (waperdam). Pertama dalam kabinet Ali Sastroamidjojo (24 Maret 1956-9 April 1957), kabinet Djuanda (9 April 1957-9 Juli 1959), dan dalam dua kabinet Dwikora (22 Februari 1966-25 Juli 1966). Semua kabinet itu berada di zaman Sukarno jadi Presiden.
Idham Chalid yang lahir di Setui, dekat Kota Baru (Kalimantan Selatan) pada 27 Agustus 1922 ini sudah terlihat cerdas sejak bocah. Ahmad Muhajir dalam Idham Chalid: Guru Politik Orang NU (2007: 21) menyebut Idham yang cerdas langsung dimasukkan ke kelas dua Sekolah Rakyat (SR) Amuntai ketika baru mendaftar dan bakat pidato tanpa teksnya sudah terlihat.
Makin dewasa, bakat pidatonya makin menjadi. Tak heran, penceramah sohor macam Zainuddin M.Z. dan Syukron Makmun pernah berguru padanya.
Tamat dari SR, Idham belajar di Madrasah Al Rasyidiyyah—yang pernah dikenal sebagai Arabisch School—di Amuntai. Setelahnya dia belajar ke Pesantren Gontor Ponorogo. Sempat juga dia belajar di Jakarta. Zaman Jepang membuat Idham belajar bahasa Jepang. Hasilnya, dia fasih berbahasa Jepang. Pada 1943 dia mulai menjadi guru di Gontor, lalu ke kampung halamannya. Di masa mudanya, selain mengajar, dia juga akhirnya berpolitik.
Dia pernah menjadi Sekretaris Panitia Kemerdekaan Indonesia daerah Hulu Sungai Utara (HSU) di Amuntai dan Ketua Masyumi Amuntai. Di masa Revolusi, Idham bergabung dalam Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK) yang dipimpin Hasan Basry dari ALRI Divisi IV.
“Keterlibatannya di SOPIK menyebabkan dia ditangkap dan ditahan tentara NICA pada 27 Maret 1949, dengan tuduhan menjadi penasihat, pelatih, dan mendalangi gerilya,” tulis Ahmad Muhajir (hlm. 36).
Jadi, usia 20-annya tak cuma dihabiskan sebagai tokoh Islam lokal, melainkan juga bagian dari pejuang kemerdekaan alias Angkatan 1945. Dua faktor itu tentu membuatnya dihormati.
Turut Memenangkan NU dalam Pemilu
Setelah kedaulatan Indonesia terpaksa diakui Belanda, masih menurut Ahmad Muhajir (hlm. 37), pada Maret 1950 Idham Chalid diangkat menjadi anggota parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai wakil Kalimantan Selatan untuk menggantikan anggota yang semula dipilih Dewan Daerah Banjar.
Di masa-masa ini, Idham masih orang Masyumi. Ketika NU keluar dari Masyumi pada 1952, Idham ikut NU. Pada 1954, setahun sebelum pemilu pertama, Idham diangkat menjadi Ketua Lajnah Pemilihan Umum NU (Lapunu), yang tugasnya mengawal dan memenangkan pemilu.
Menurut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2003: 198-199), para petinggi NU sebenarnya kurang yakin akan nasib partai mereka dalam Pemilu 1955 itu. Hanya sedikit elite yang yakin NU mampu menggeser Masyumi.
Rupanya berkah meliputi NU. Partai berlambang bola bumi itu berada di urutan ketiga, sedikit lebih mujur dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di urutan keempat. NU mendapat kenaikan kursi parlemen lebih besar dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi. NU mengalami kenaikan 462 persen suara dengan memperoleh 45 kursi di parlemen yang kemudian disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di Konstituante, NU dapat 91 kursi.
Kemenangan NU itu memengaruhi karier politik Idham Chalid. Ketika kabinet Ali Sastroamidjojo dibentuk, tiga besar partai pemenang pemilu masing-masing dapat 5 kursi menteri. Ali jadi perdana menteri, Mohamad Roem wakil Masyumi dan Idham Chalid dari NU menjadi wakil perdana menteri. Di dalam NU sendiri, kepercayaan organisasi kepada Idham pun tak diragukan.
Muktamar NU ke-21 di Medan, Desember 1956, memilihnya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama. Bersama Kiai Haji Wahab Hasbullah, menurut Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Demokrasi Terpimpin (1996: 89), Idham Chalid adalah “figur-figur puncak yang menentukan secara mutlak warna politik NU.”
Dekat dengan Sukarno, Selamat di Zaman Soeharto
Selama di Jakarta, Idham Chalid pernah tinggal di Jalan Mangunsarkoro (yang dulunya Jalan Jokja) ketika menjadi pimpinan NU dan waperdam. Rumahnya itu pernah didatangi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution dan Komandan Polisi Militer Letnan Kolonel Rushan Rusli pada tengah malam awal Juli 1959. Sebelum dua perwira itu datang, Idham Chalid menghubungi K.H. Saifuddin Zuhri. Di sana mereka terlibat percakapan. Rupanya Nasution sedang minta nasihat Idham terkait keinginan kembali ke UUD 1945.
“Isinya terserah pemerintah tetapi hendaklah memperhatikan suara-suara golongan Islam dan Konstituante,” kata Idham Chalid seperti diingat Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, Berangkat Dari Pesantren (hlm. 575).
Nasution bertanya, “apa konkritnya tuntutan golongan Islam itu?”
“Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945,” kata Saifuddin Zuhri.
Nasution tanpa bilang setuju atau tidak bertanya lagi, “bagaimana sikap NU apabila Presiden menempuh jalan Dekrit?”
“Kami tidak bisa katakan, itu hak presiden untuk menyelamatkan negara,” jawab Idham Chalid.
Saifuddin lalu menjelaskan lagi bahwa semua kini kembali ke tangan pemerintah. Maka, masih di awal bulan itu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pun keluar. UUD 1945 kembali berlaku dan Konstituante pun bubar. NU lalu ikut membiarkan Demokrasi Terpimpin bergulir.
Di masa Demokrasi Terpimpin ini, Idham Chalid bersama Saifuddin Zuhri (yang akhirnya dijadikan Menteri Agama), A. Sjaichu, dan Wahab Chasbullah, menurut Syafii Maarif, “mempunyai hubungan akrab dengan Sukarno.”
Idham Chalid tak hanya dipercaya kala Sukarno jaya. Di waktu Sukarno terjepit setelah G30S, Idham Chalid adalah orang yang dua kali dibawa masuk kabinet Dwikora bentukan Sukarno sebagai waperdam.
Setelah Sukarno lengser, Idham Chalid, yang masih menjabat Ketua Umum PBNU, tak bisa begitu saja dibuang Soeharto hanya karena pernah dekat dengan penguasa sebelumnya. Idham Chalid diberi jabatan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dari 1968 hingga 1973. Selain itu, Idham Chalid adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR) dari 1971 hingga 1977.
Di masa Orde Baru, NU tidak lama jadi partai, karena NU harus dilebur lagi ke dalam satu organisasi besar bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di sini Idham pernah lama jadi presiden partai.
Posisi Idham Chalid sebagai Ketua Umum PBNU kemudian digantikan oleh oleh Gus Dur pada 1984. Idham Chalid lalu turun dari gelanggang politik hingga dirinya tutup usia pada 11 Juli 2010, tepat hari ini 9 tahun lalu.
Idham dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 7 November 2011. Dia pun menjadi orang Banjar ketiga yang mendapat gelar tersebut.
Editor: Ivan Aulia Ahsan