Menuju konten utama

Sejarah Kemenangan NU di Pemilu 1955: Pemilik Mobil Mencari Supir

Partai NU diremehkan kaum Islam modernis menjelang Pemilu 1955. Tapi ia berhasil masuk tiga besar.

Sejarah Kemenangan NU di Pemilu 1955: Pemilik Mobil Mencari Supir
Tokoh-tokoh NU menghadiri Muktamar NU 1958. Dari kiri ke kanan: K.H. Bisri Syansuri, K.H. Muhammad Dahlan, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, dan K.H. R. Asnawi. Foto/Istimewa

tirto.id - Pada April 1952 Nahdlatul Ulama (NU) bikin keputusan yang bagi mereka adalah keputusan terbaik: berpisah dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Artinya NU akan menjadi partai sendiri di kancah politik nasional.

Banyak orang Islam dari golongan yang lazim disebut “modernis” meragukan keputusan itu. Mereka menyangsikan kemampuan orang-orang NU, yang biasa disebut sebagai kaum "tradisionalis", menjalankan partai politik sendiri.

Faksi modernis di Masyumi bertanya apakah NU punya sumber daya manusia untuk maju dalam percaturan politik. Tokoh NU, K.H. Wahab Hasbullah, tidak mau ambil pusing soal itu.

“Jika saya membeli sebuah mobil baru maka penjual biasanya tidak akan bertanya apakah saya bisa mengendarai mobil atau tidak,” kata Wahab seperti dikutip Greg Fealy dalam Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (1997). “Pertanyaan seperti itu tidaklah diperlukan karena jika saya tidak dapat mengendarai mobil maka saya bisa saja memasang iklan supir. Tentu saja, akan segera terdapat antrian panjang calon-calon supir di depan rumah saya” (hlm. 38).

Para petinggi NU sebenarnya tidak begitu yakin akan nasib mereka dalam Pemilu 1955, tapi NU seperti kejatuhan bintang dari langit. NU mendapat banyak sekali suara dan menduduki posisi ketiga pemenang pemilu, bahkan jauh mengungguli partainya Sutan Sjahrir, Partai Sosialis Indonesia (PSI).

“Suara terbanyak NU diperoleh di pulau Jawa,” tulis Andree Feillard dalam NU vis-a-vis Negara (1999: 49).

Kursi NU di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seperti dicatat Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2012: 199), “melonjak dari 8 menjadi 45, atau naik sebesar 462 persen.” Di badan Konstituante, NU berhasil menempatkan 91 wakilnya.

Meski perolehan suaranya lebih kecil dari Masyumi, NU bernasib lebih beruntung daripada bekas induknya itu. Jika kursi NU naik dari 8 ke 45, maka Masyumi hanya naik dari 44 ke 57. Dengan perolehan tersebut, NU bisa berpesta merayakan kemenangan yang tidak mereka sangka.

NU lalu kelabakan mencari orang untuk mengisi kursi-kursi yang mereka dapat dalam Pemilu 1955. Akhirnya analogi Wahab soal mobil dan supir pun benar-benar dilakukan. “NU mengajak sejumlah orang luar untuk mewakilinya di parlemen,” tulis Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru (1994: 69).

Di antara orang-orang luar yang pernah diajak bergerak bersama NU adalah: Prof. Sunarjo (yang belakangan pernah jadi Menteri Perdagangan), Mr. Sunarjo (orang departemen Luar Negeri), Burhanuddin (Menteri Keuangan dalam kabinet Ali), Jamaluddin Malik (produser film), serta Asrul Sani dan Usmar Ismail (keduanya sutradara film). Dua orang Tionghoa, Tan Kiem Liong dan Tan Eng Hoang, bahkan diajak bergabung dengan NU.

Baca juga artikel terkait PEMILU 1955 atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan